Dongeng sebelum tidur
Buyung dan Upik
Kisah ini adalah kisah dari suatu masa yang telah silam, tentang dua orang kakak beradik. Mengingat cerita ini berawal mula dikisahkan di masa silam, sudah banyak berganti penuturnya. Semuanya ada bermaksud, agar menjadi pengingat akan kampung halaman. Si Buyung dan si Upik adalah dua bersaudara yang tinggal bersama kedua orang tuanya di tepi hutan. Mereka memang tinggal di tepi hutan lebat, di suatu tempat yang sekarang ini disebut sebagai propinsi Jambi. Daerah berhutan itu berbatasan dengan Sumatera Barat. Ayah mereka bekerja di hutan sebagai pencari getah. Sedangkan ibunya, mengurus ladang dan sepetak kebun di tepi hutan. Si Buyung berumur sembilan tahun. Sedangkan adiknya, si Upik, berumur lima tahun. Mereka berdua senang bermain di tepi hutan. Apalagi ibunya bertanam tomat di kebun, yang ada di tepi hutan itu. Hampir tiap sore, mereka bermain di kebun tomat itu. Mereka senang bermain di kebun itu. Selain mereka bisa bermain dengan bebasnya, mereka juga bisa melihat berbagai satwa yang berkeliaran dari hutan di sekitarnya. Satwa yang paling sering mereka lihat di kebun itu adalah SEMBILAN AYAM HUTAN. Sembilan ayam hutan itu berkawan akrab dengan dua kakak beradik itu. Kesembilan ayam hutan itu bahkan pandai bercakap-cakap dengan kedua anak itu. Memang pada masa itu, satwa dapat bercakap-cakap dengan manusia. Selain pandai bercakap, kesembilan ayam hutan itu selalu bertingkah riang gembira. Selalu ada saja ulah mereka, yang membuat si Buyung dan si Upik tertawa terkekeh-kekeh dibuatnya. Ada-ada saja yang mereka lakukan atau mereka ucapkan, dan selalu saja kedua anak itu gembira tidak kepalang. Kesembilan ayam itu berbeda warnanya. Ada yang warnanya merah, ada yang hitam, ada yang kuning emas, dan ada juga yang belang hitam putih. Satu ekor malah berwarna kelabu dengan ekor yang panjang. Tapi biarpun berbeda warnanya, semua senang berceloteh dan semua pandai terbang. Sore itu ayam hutan berdatangan ke kebun tomat. Kebetulan buah tomat hampir dipetik, karena warnanya sudah hijau kekuningan. Si Buyung dan si Upik sudah asyik bermain di kebun itu. Si Upik bertanya pada kakaknya, dia ingin tahu apakah nanti ibu tidak marah bila ayam hutan itu datang ke kebun. Dia khawatir ayam hutan akan mengacak-acak kebun tomat, hingga buah tomat yang ranum akan rusak dibuatnya. Si Buyung menjawab adiknya “Tak apa, ayam itu datang untuk memakan serangga, bukan memakan tomat”. Si adik lalu bertanya pada ayam hutan itu, karena dia kurang yakin. Si ayam yang berbulu kelabu menjawab “Jangan takut ibumu marah, Upik. Kami makan ulat dan belalang. Kami tidak makan buah tomat”. Si Upik baru percaya pada ayam itu, lalu dia dan kakaknya kembali bermain. Bahkan kedua anak itu bermain bersama kesembilan ayam hutan itu. Saking gembiranya, ayam berbulu merah meloncat-loncat sambil mengibaskan sayapnya. Si Upik yang sebenarnya anak yang lucu menggemaskan itu, tertawa kegirangan sambil memegangi perutnya. Di tengah asyiknya mereka bermain, tiba-tiba ayam berbulu kuning emas berbisik pada ayam berbulu merah. Seketika mereka nampak cemas. Ayam lain pun merasa seperti itu. Karena ayam itu ketakutan, kedua anak itu pun seketika berhenti bermain. Si Buyung bertanya”hai ayam hutan, kenapa kalian ketakutan ?”. Ayam berbulu merah menjelaskan bahwa mereka mendengar suara gemerisik dari binatang besar yang sedang berlari ke arah mereka. Mereka sudah paham sekali binatang yang membuat mereka takut itu. Binatang itu tidak lain adalah harimau, si raja hutan ! Kelompok ayam itu ketakutan karena mereka tak akan berdaya menghadapi harimau. Apalah daya mereka menghadapi harimau itu. Mereka ingin segera berlari untuk bersembunyi di sela dahan pohon. Tapi sebelum ayam itu berhamburan pergi, mereka mengingatkan kedua anak itu untuk segera pulang, agar terhindar dari bahaya. Sesudah itu kelompok ayam hutan lenyap dari pandangan ditelan rimbunnya daun pepohonan. Si Buyung dan si Upik pun segera bergegas untuk menghindari si raja hutan. Tapi belum sempat kedua anak itu beranjak, muncul si Kancil dari pepohonan hutan menghampiri mereka sambil berlari sekuat tenaga. Di hadapan kedua anak itu, si Kancil mengiba, meminta pertolongan. Tentu saja si Kancil meminta agar kedua anak itu menolongnya dari kejaran harimau. Si Buyung dan si Upik kebingungan karena mereka tak mampu menolong kancil malang itu. Bahkan mereka bisa jadi mangsa mahluk buas itu. Tapi belum sempat ada sesuatu yang bisa mereka kerjakan, sekonyong-konyong muncullah si raja hutan itu dari sela pepohonan hutan. Tanpa ada suara sedikit pun, harimau sudah muncul sedemikian dekatnya. Dengan satu loncatan, sampailah harimau itu di depan si Kancil dan kedua anak itu. Lalu dengan satu ayunan kaki depannya, terasa tiupan angin menghembus di wajah si Kancil dan kedua anak. Si Upik menangis karena takut, sementara kakaknya tak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkannya. Wajah si Kancil pucat pasi. Akan tetapi, sebelum harimau raja hutan itu sempat mengancam ketiga mahluk yang akan jadi santapannya itu, terdengar suara keras dari sela pepohonan. Suara itu sedemikian kerasnya. Bahkan suara itu terasa keras, hingga tidak hanya calon korbannya, tapi harimau si raja hutan pun terkejut. Harimau itu terkejut karena suara terkeras yang pernah dia dengar itu ternyata mirip suara harimau mengaum. Padahal, hidung harimau yang sebegitu tajamnya itu tidak merasa adanya harimau lain di bagian hutan itu. Dia terkesima, lalu seketika muncul rasa takut di hatinya. Ternyata ada rasa takut di hati raja rimba yang tiada kenal ampun itu. Entah kenapa, dia jadi takut pada apa yang dia tidak tahu apa sebenarnya. Kemudian, dengan langkah yang teramat berhati- hati, tapi tanpa sikap beringas lagi, dia pergi. Harimau itu mendadak pergi meninggalkan calon korbannya. Calon korbannya, si kancil, si Buyung dan si Upik pun tak kurang terpananya. Baru kali ini mereka tahu ada harimau pergi dengan teramat ketakutan. Tapi tak lama ketiganya dalam rasa terkejut, karena segera saja mereka gembira telah lolos dari satu bahaya teramat dahsyat. Mereka gembira telah lolos dari terkaman harimau. Dan tanpa mereka sadar, sudah berdatangan lagi kesembilan ayam hutan yang selalu riang gembira itu. Si Kancil bertanya pada kesembilan ayam itu, apakah benar ada harimau lain yang baru saja mengaum hingga harimau yang akan menangkapnya itu pergi. Tapi semua ayam itu hanya tersenyum simpul saja. Mereka berpura-pura tidak mendengar pertanyaan si Kancil. Ayam berwarna hitam berkata pada si Buyung “Lebih baik kalian pulang saja, karena hari sudah sore. Nanti ayah ibu kalian mencari !”. Tapi si Upik ingin agar mereka menunggu ayah dan ibu datang menjemput saja. Itu yang mereka anggap lebih baik. Si Kancil segera pamit untuk pulang, lalu berangkat pergi. Kelompok ayam hutan masih bermain di kebun tomat bersama kedua anak. Sambil bermain, ayam itu asyik memakan serangga dan ulat di sela-sela daun tomat. Memang benar apa kata si Upik, karena segera nampak ayah dan ibu datang. Si Buyung dan si Upik kegirangan. Semua ayam hutan pun melepas kedua anak itu pulang bersama kedua orang tuanya. Semua ayam mengepakkan sayapnya tanda suka cita, dan ajakan agar esok lusa, kedua anak itu kembali bermain bersama di kebun tepi hutan itu. Sebelum jauh keempat orang itu berjalan, si ayam hutan berwarna merah berseru “Kenali harimau, kalau ingin selamat dari harimau”.