Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah pada perkara yang merupahan hak istimewa-Nya. Hak istimewa Allah seperti: Ibadah, mencipta, mengatur, memberi manfaat dan mudharat, membuat hukum dan syariat dan lain-lainnya.
Yang dimaksud dengan ibadah adalah semua amal perbuatan lahir maupun batin yang diridhai dan dicintai oleh Allah.
Contoh-contoh ibadah seperti: Do’a, menyembelih hewan kurban, nadzar, ruku’, sujud, al-mahabbah (kecintaan), al-khauf (rasa takut), tawakkal, istighatsah (minta pertolongan di saat kesusahan, isti’adzah (meminta perlindungan) dan lain-lainnya.
Setiap orang yang memalingkan salah satu daripada hak-hak istimewa Allah tersebut kepada selain-Nya, seperti memalingkan ibadahnya kepada selain Allah, maka ia tergolong orang yang melakukan syirik.
Dari situ jelaslah, bahwa hakikat syirik adalah memalingkan ibadah dan hak istimewa Allah yang lainnya kepada selain Allah, baik kepada nabi, malaikat, wali dan lain-lainnya. Ataupun kepada benda mati, seperti bebatuan, pepohonan dan lain-lainnya.
Bukan sebagaimana anggapan sebagian kaum Muslimin, bahwa syirik itu hanyalah dengan menyembah bebatuan dan pepohonan atau lainnya seperti yang dilakukan kaum Paganisme (penyembah berhala). Anggapan keliru itu berpangkal dari kesalahpahaman tentang pengertian “berhala” (watsan), sebagian orang beranggapan bahwa (berhala) hanyalah berupa patung-patung yang disembah.
Padahal yang benar, bahwa (berhala) dapat berlaku untuk apa saja, baik berupa makhluk hidup, benda-benda mati seperti patung, pohon dan lain-lainnya, ataupun berupa benda-benda yang abstrak seperti hawa nafsu, pemikiran dan lain-lainnya.
Hal ini dilihat dari objek yang disembah. Adapun ditinjau dari perilaku syirik itu sendiri, banyak sekali kesalahpahaman masyarakat umum tentang hal tersebut. Mereka menganggap bahwa meminta perlindungan kepada benda-benda dan tempat keramat bukan termasuk perilaku syirik. Demikian pula anggapan bahwa “ngalap berkah” ke kuburan para wali (atau yang dianggap wali) dibolehkan dan lain-lainnya.