2. Syirik Khafi (Tersembunyi)
Yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin men-dapatkan pujian manusia, misalnya dengan memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain, sehingga mereka menyanjung atau memujinya.
Suatu amal apabila tercampur dengan riya’, maka amal tersebut tertolak, karena itu Allah memperintahkan kita untuk berlaku ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia sepertimu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Allah Yang Esa.’’ Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Maksudnya, katakanlah (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kepada orang-orang musyrik yang mendustakan ke-Rasulanmu: “Sesung-guhnya aku ini hanyalah manusia seperti juga dirimu.” Maka barangsiapa yang menganggap diriku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah pendusta, hendaklah ia mendatangkan sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib, yaitu tentang perkara-perkara terdahulu yang pernah disampaikan beliau, seperti tentang Ashhaabul Kahfi, tentang Dzul Qarnain, atau perkara ghaib lainnya, melainkan (sebatas) yang telah diwahyukan Allah Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilah (sesembahan) yang mereka seru dan mereka ibadahi, tidak lain adalah Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan-Nya -yaitu mendapat pahala dan kebaikan balasan-Nya- maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih yang sesuai dengan syari’at-Nya, serta tidak menyekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabb-nya. Amal perbuatan inilah yang di-maksudkan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kedua hal tersebut (amal shalih dan tidak menyekutukan Allah) merupakan rukun amal yang maqbul (diterima). Yaitu harus benar-benar tulus karena Allah (menjauhi perbuatan syirik) dan harus sesuai dengan syari’at (Sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Diringkas dari Tafsiir Ibni Katsir (III/120-122)]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu riya'.” [18]
Termasuk juga dalam syirik, yaitu seseorang yang melakukan amal untuk kepentingan duniawi, seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau berjihad untuk mendapatkan harta benda.
Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah, celakalah hamba khamilah [1]. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”[2]
Footnote
[1] Khamishah dan khamilah adalah pakaian yang terbuat dari wool atau sutera dengan diberi sulaman atau garis-garis yang menarik dan indah. Maksudnya -wallaahu a’lam- celaka bagi orang yang sangat ambisius dengan kekayaan dunia-wi, sehingga menjadi hamba harta benda. Mereka itu adalah orang-orang yang celaka dan sengsara.
[2] HR. Al-Bukhari (no. 2886, 2887, 6435) dan Ibnu Majah (no. 4136). Lihat ‘Aqii-datut Tauhiid (hal. 78-79), oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.