Rahasia Cerita Sufi
“Kebahagiaan yang merupakan bakat sejak lahir,” jawab Abu Yazid.
“Jika kebahagiaan seperti itu tidak ada?”
“Sebuah tubuh yang sehat dan kuat.”
“Jika tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat?”
“Pendengaran yang tajam.”
“”Jika tidak memiliki pendengaran yang tajam?”
“Hati yang mengetahui.”
“Jika tidak memiliki hati yang mengetahui?”
“Mata yang melihat.”
“Jika tidak memiliki mata yang melihat?”
“Kematian yang segera.”
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari al-Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surah Lukman yang berbunyi : “Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu,” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid melerakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya: “Izinkan aku pulang! Ada yang hendak kukatakan kepada ibuku.” Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata: “Thaifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah suatu kejadian yang istimewa?” “Tidak”, jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai pada ayat di mmana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua buah rumah dalam waktu bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata.” “Anakku”, jawab ibunya. “aku serhkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajiban terhadapku. Pergilah engau dan jadilah sorang hamba Allah.” Di kemudian hari Abu Yazid berkata: “Kewajiban yang kukira sebagai kewajiban yang paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah ku peroleh segala sesuatu yang ku cari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut: Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong. Oleh karena itu pergilah aku ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan iar. Ketika aku pulang, ternyta ibuku sudah tertidur.” “Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?”, ibu bertanya, “Aku takut ibu terjaga sedag aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku: “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka.” “Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali.” Setelah si ibu memasrahkan anaknya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya. “Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.”
“Jendela? Jendela mana?” tanya Abu Yazid.
“Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.”
“Jika demikian,” kata si guru, “kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai.”
“Anakmu yang terbuang,” sahut Abu Yazid.
Dengan menangis si ibu membukakan pintu. Ternyata penglihatan ibunya sudah kabur. “Thaifur,” si ibu berkata kepada puteranya. “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur seperti ini?” Karena aku telah sedemikian banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah denganmu. Dan punggungku telah bongkok karena beban duka yang kutanggungkan itu.”
“Engkau,” jawabku.
“Siapakah yang memiliki kekuasaan?”
“Siapakah yang memiliki kehendak?”
“Engkau,” jawwabku.
Karena jawaban-jwabanku itu persisi seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukan-Nya kepadaku betapa jika bukan karena belaskasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah di binasakan oleh kemahaperkasaan-Nya. Dia memandang ku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat. Di dalam kemabukan itu setiap lembah ku terjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Ku pacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada kepapan dan tidak ada yang lebih baik daripada ketidakberdayaan. Tiada pelita yang lebih terang daripada keheningandan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada kebisuan. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai ke akar-akarnya. Dia amelihat bertapa jasmani dan rohaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan. Kini telah ku miliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur Ilahi, dan mata yang telah ditempa oleh tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaan-Nya-lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, maka aku tidak akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan. Aku tidak berbicara melalui diriku sendiri sebagi seorang pemberi peringatan. Dia-lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya sedangkan aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku. Setelah memuliakan diriku, Dia berkata: “Hamba-haba Ku ingin bertemu denganmu.” “Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka.” Jawabku. “Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menetang kehendak-Mu. Hiasilah diriku dengan ke Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini.” Keinginanku ini dikabulkanNya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku. Setelah itu Dia berkata: “Temuilah hamba-hamba-Ku itu.” Aku pun berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya, Tetapi pada langkah yang ke dua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah olehku seruan: “Bawalah kembali kekasih-Ku kemari. Ia tidak dapt hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalan pun yang diketahuinya keculi jalan yang menuju Aku.” Setelah aku mencapai taraf peleburan ke dalam keesaan ... itulah saat pertama aku menatap Yang Esa --- bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki bukit pemahaman : Kisah Abu Yazid. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari keesaan dan dengan sayap keabaddian. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun berkata: “Aku telah sampai kepada Sang Pencipta.” Kemudian ku tengadahkan kepala ku dari lembah kemuliaan. Dahagaku ku puaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang jaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam keleburan-Nya yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan-Nya dan selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan-Nya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun terlihatlah olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku sendiri. Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai ke akhir penjelajahan itu terlihatlah olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka ku lanjutkan pula pengebaraan yang tak berkwsudahan itu untuk beberapa lama, aku katakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah ku capai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini.” Tetapi ketika ku tajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat ku bayangkan. Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukan kepada ruhku itu tetapi ia tidak perduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya perduli? Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak diperdulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad saw. Terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kucercahkan kaki ke dalam yang pertama di antara lautan-alutan api itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku jadi sirna. Tetapi betapa pun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad, Rasulullah. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad. Kemudian Abu Yazid berkata: “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus ke akuan ini. Apakah yang harus ku lakukan.?” Maka terdengarlah perintah: “Untuk melepaskan ke akuan itu, ikutilah kekasih Kami, Muhammad si orang Arab. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.”
“Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri,” jawab Abu Yazid.
“Apakah yang harus ku lakukan?, tanya si murid pula.
“Jika ku katakan, pasti negkau tidak mau menerimanya.”
“Akan ku terima! Katakanlah kepadaku agar ku lakukan seperti yang engkau petuahkan.”
“Baiklah!, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan ini dan gantilah dengan cawat ayng terbuat dari bulu domba Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan kepada mereka: “Akan ku berikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku.” Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat-tempat di mana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan.” “Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah,” cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
“Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim,” kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah.” “Mengapa begitu?”, tanya si murid. “Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah ku katakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukan bahwa engkau adalah seorang penting, bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah.” “saran-saran mu tadi tidak dapat ku laksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain.” Si murid berkeberatan. “Hanya itulah yang dapat ku sarankan,” Abu Yazid menegaskan. “Aku tak sanggup melaksanakannya,” si murid mengulangi kata-katanya. “Bukankah telah kau katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku?, kata Abu Yazid.
“Ke Tanah Suci” jawabku.
“Berapa banyakkah uang yang engkau bawa?”
“Dua ratus dirham.”
“Berikanlah uang itu kepadaku,” lelaki itu mendesak. “Aku adalah seorang yang telah berkeluarga. Kelilingilah diriku sebanyak tujuh kali, maka selesasilah ibadah hajimmu itu.”
Aku menuruti kata-katanya kemudian kembali ke rumah.
“Yang kalian saksikan sekarang inilah Abu Yazid, yang tadi bukan Abu Yazid.
“Carilah jika ada barang berharga di dalam rumah ini.” Murid-muridnya mencari-cari lalu menemukan setengah tandan anggur. Kemudian Abu Yazid memerintahkan:
“Bawalah anggur-anggur itu dan berikan kepada orang-orang lain. Rumahku ini bukan toko buah-buahan.” Setelah itu Abu Yazid dapat melakukan shalat dengan khusyuk.
“Barang siapa di antara kamu yang tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari Berbangkit nanti, ia bukan muridku,” Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu Yazid. Kemudian Abu Yazid menambahkan: “Barang siapa yang berdiri di tebing neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian mengantarkannya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, maka ia adalah muridku.”
“Abu Yazid,” jawab lelaki itu.
“Orang malang! Aku sendiri telah mencari Abu Yazid selama tiga puluh tahun tetapi tiada jejak atau tanda-tanda mengenai dirinya yang dapat kutemui,” sahut Abu Yazid.
Ketika pernyataan Abu Yazid itu disampaikan kepada Dzun Nun, ia berkata: “Ya Allah, limpahkanlah kasih-Mu kepada saudaraku Abu Yazid! Ia telah hilang beserta orang-orang yang telah hilang di dalam Allah.”
“Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu,” jawab Abu Yazid.
“Engakau dapat terbang di angkasa!.”
“Seekor burung pun dapat melakukan itu.”
“Engkau dapat pergi ke Ka’Bah dalam satu malam!.”
“Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.”
“Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid.
Abu Yazid menjawab: “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapa pun kecuali kepada Allah.”
“Tahta itu adalah aku,” jawab Abu Yazid.
“Apakah yang dimaksud dengan ganjalan kaki Allah?”
“Ganjalan kaki itu adalah aku.”
“apakah yang dimaksud dengan luh (tanda peringatan) dan pena Allah?”
“Luh dan pena itu adalah aku.”
“Allah mempunyai hamba-hamba seperti Ibrahim, Musa dan Isa.”
“Mereka itu adalah Aku.”
“Allah mempunyai hamba-hamba seperti Jibril, Mikail dan Israfil.
“Mereka itu adalah aku.”
Lelaki yang bertanya itu terdiam. Kemudian Abu Yazid berkata: “Barang siapa yang telah lebur di dalam Allah dan telah mengetahui realitas mengenai segala sesuatu yang ada, maka segala sesuatu baginya adalah Allah.”