Rahasia Cerita Sufi
Dan matamu yang manakah yang mulai kabur? Kesedihan mencekan batinnya dan kegelisahan tak dapat diatasinya. Dalam keadaan seperti inilah ia belajar di bawah bimbingan Abu Hanifah. “apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?”, tanya Abu Hanifah kepadanya. Daud Ath-Tha’i pun mengisahkan pengalamannya,. Kemudian dia menambahkan: “Dunia ini tidak dapat menarik hatiku lagi. Sesuatu telah terjadi di dalam ddiriku, sesuatu yang tak dapat kumengerti, yang tak dapat dijelaskan oleh buku-buku atau pun keterangan-keterangan para ahli yang ku temukan.” “Hindarkanlah manusia-manusia lain,” Abu Hanifah menyarankan. Maka Daud Ath-Tha’i berpaling dari manusia-manusia lain dan mengucilkan diri di dalam rumahnya. Setelah lama berselang barulah Abu Hanifah datang mengunjunginya. “Wah, caranya bukan dengan bersembunyi di dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga. Yang harus engkaulakukan adalah duduk di kaki para imam dan mendengarkan ajaran-ajaran mulia yang mereka kemukakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata jua pun engkau harus mencamkan segala sesuatu yang mereka kemukakan itu. Dengan berbuat demikian engkau akan lebih memahami masalah-masalah yang mereka perbincangkan itu daripada mereka sendiri.” Setelah menyadari maksud dari kata-kata Abu Hanifah itu, Daud Ath-Tha’i kembali mengikuti pelajaran-pelajarannya. Setahun lamanya ia duduk di kaki para imam, tanpa mengucapkan sepatah kata, menerima keterangan-keterangan mereka dengan tekun, dan cukup dengan mendengarkan saja tanpa memberi atau mengajukan tanggapan. Setelah berakhir masa setahun itu Daud berkata: “Ketekunaku dalam setahun itu adalah sama dengan tiga puluh tahun bekerja keras.” Kemudian ia bertemu dengan Habib ar-Ra’i yang membawanya ke jalan para mistik. Jalan ini ditempuhna dengan tawakal, buku-buku yang dimilikinya dilemparkannya ke dalam sungai, kemudian ia mengasingkan diri dan membuang segala harapan dari manusia manusia lain. Daud menerima uang sebanyak dua puluh dinar sebagai warisan. Jumlah ini dihabiskannya dalam waktu dua puluh tahun. Beberapa aorang syeikh mencela perbuatannya itu. “Di atas jalan ini kita harus memberi, bukan menabung untuk diri sendiri,” kata mereka. Dengan uang sebanyak ini aku dapat menenangkan diri diriku. Uang sebanyak ini cukup bagi diriku hingga mati nanti,” jelas Daud Ath-Tha’i. Daud Ath-Tha’i menjalani kehidupan yang sedemikian prihatin sehingga untuk makanannya ia sering mencelupkan roti ke dalam air, kemudian mereguk air itu, sambil berdalih: “Sebelum memakan roti ini aku masih sempat membaca lima puluh ayat al-Quran. Mengapa harus ku sia-siakan hidupku ini?” Abu Bakr bin ‘Iyasy meriwayatkan: “Pada suatu ketika aku masuk ke dalam kamar Daud Ath-Tha’i. Ku lihat ia sedang memegang sepotong roti kering dan menangis. “Apakah yang telah terjadi Daud Ath-Tha’i? Tanyaku. Daud menjawab : “Aku hendak memakan roti ini tetapi aku tidak tahu apakah roti ini halal atau tidak.” Yang lain meriwayatkan: “Aku pergi ke rumah Daud Ath-Tha’i dan ku lihat satu kendi air sedang terjemur di terik matahari. Aku bertanya kepadanya, “Mengapakah engkau tidak menaruh kendi air itu di tempat yang teduh? Daud Ath-Tha’i menjawab: “Ketika tadi ku taruh di situ tempat itu masih teduh. Tetapi sekarang untuk memindahkannya aku merasa malu untuk melakukan kesibukan di depan Allah.”
“Aku tidak mau mendustai seorang wanita yang beriman.”
“Mengapa demikian.?”
“Andaikanlah aku melamar seorang wanita, hal itu berarti bahwa aku sanggup untuk menafkahinya. Tetapi karena pada waktu yang berssamaan aku tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban agama dan dunia, bukankah hal itu berarti bahwa aku telah mendustianya?”
“Baiklah, tetapi setidak-tidaknya engkau perlu menyisir janggutmu,” kata mereka.
“Hal itu berarti aku sempat berlalai-lalai,” jawab Daud Ath-Tha’i.
“Pasukan siapa?,” tanya mereka.
“Penghuni –penghuni kubur,” jawab Daud Ath-Tha’i.
“dua dirhamm,” jawab orang itu. “Setiap hari Daud Ath-Tha’i membelanjakan satu sen uang perak.” Abu Yusuf membuat perhitungan. Beberapa hari kemudian di dalam masjid di depan semua jama’ah ia mengumumkan: “Hari ini Daud Ath-Tha’i meninggal dunia.”
Setelah diselidiki ternyata bahwa kata-kata Abu Yusuf itu benar. “Bagaimanakah engkau mengetahui kematian Daud Ath-Tha’i?” orang-orang bertanya kepada Abu Yusuf. “Aku telah memperhitungkan bahwa pada hari ini Daud Ath-Tha’i tidak mempunyai uang lagi. Aku tahu bahwa doa Daud Ath-Tha’i pasti dikabulkan Allah.