Rahasia Cerita Sufi
Abul ‘Utsman Sa’id bin Ismail al-Hiri an-Nisaburi berasal dari Rayy dimana ia berkenalan dengan Yahya bin Mu’adz ar-Razi dan Syah bin Syuja’ al-Kirmani. Kemudian ia pindah ke Nishapur, di sana ia sangat terpengaruh oleh Abu Hafshin al-Haddad. Ia pernah mengunjungi Junaid di Baghdad. Ia meningal tahun 298H/911 M di Nishapur.
Sejak kecil hatiku telah mencari-cari realitas,” Abu ‘Utsman al-Hiri meriwayatkan. “Aku agak enggan kepada penganut-penganut agama yang formal, dan aku merasa yakin bahwa di samping hal-hal yang diyakini oleh orang banyak masih ada perwujudann-perwujudan lahiriah jalan hidup Islam yang mengandung berbagai rahasia.”
Suatu hari Abu ‘Utsman al-Hiri berangkat ke sekolah. Ia ditemani oleh empat orang hamba yang masing-masing berasal dari Ethiopia. Yunani, Kasmir dan Turki. Abu ‘Utsman al-Hiri menjinjing sebuah kotak pena yang terbuat dai emas, mengenakan sorban yang terbuat dari kain halus dan berjubah sutera.
Di tengah perjalanan ia melewati sebuah rumah persinggahan tua yang tiada berpenghuni lagi. Abu ‘Utsman al-Hiri mengintip ke dalam dan terlihatlah olehnya seekor keledai dengan luka-luka di punggungnya. Seekor burung gagak sedang mematuki luka-luka itu dan si keledai tiada berdaya mengusirnya. Menyaksikan hal ini Abu ‘Utsman al-Hiri merasa kasihan.
“Untuk apakah engkau menyertai aku?.” Abu ‘Utsman al-Hiri bertanya kepada salah seorang hambanya.
“Untuk menolongmu memecahkan setiap persoalan yang engkau hadapi,” si hamba menjawab.
Abu ‘Utsman al-Hiri segera melepaskan jubah suteranya dan menyelimuti keledai itu, kemudian ia membalut luka-luka di punggung binatang itu dengan sorbannya. Tanpa mengeluarkan suara, keledai itu memohon kepada Allah Yang Maha Besar agar memberkahi Abu ‘Utsman al-Hiri. Sebelum Abu ‘Utsman al-Hiri sampai di rumah, ia dihadapkan dengan sebuah pengalaman spiritual yang hanya dialami oleh manusia-manusia sejati.
Seperti seorang yang sangat bingung, ia mendapatkan dirinya di antara orang-orang yang sedang mendengarkan khotbah Yahya bin Muadz. Kata-kata Yahya bin Muadz membuka sebuah pintu di dalam hatinya. Kemudian Abu ‘Utsman al-Hiri meninggalkan rumah kedua orag tuanya dan untuk beberapa lamanya mengikuti Yahya sambil mempelajari disiplin para Sufi.
Demikianlah yang dilakukan Abu ‘Utsman al-Hiri, sehingga pada suatu hari tibalah rombongan yang baru berkunjung kepada Syah bin Syuja’ al-Kirmani dan menyampaikan kisah-kisah mengenai manusia suci itu. Kisah-kisah ini membuat Abu ‘Utsman al-Hiri ingin sekali berkunjung kepada Syah bin Syuja’. Setelah direstui oleh pembimbing spiritualnya, berangkatlah ia ke Kirman untuk mengabdi kepada Syah bin Syuja’, tetapi Syah bin Syuja’ tidak mau menerimanya.
“Dirimu penuh dengan keinginan” Syah bin Syuja’ berkata kepada Abu ‘Utsman al-Hiri. “Tempat Yahya adalah keinginan. Kemajuan spiritual tidak akan terdapat di dalam diri seorang yang dibesarkan di dalam keinginan. Kesetiaan buta kepada keinginan menimbulkan kemalasan. Bagi Yahya sendiri, keinginan itu adalah peniruan semata.”
Dengan segala kerendahan hati Abu ‘Utsman al-Hiri bermohon kepada Syah bin Syuja’, Dua puluh hari lamanya ia menanti di depan pintu rumah Syah bin Syuja’, akhirnya si syeikh terpaksa menerimanya. Demikianlah Abu ‘Utsman al-Hiri menjadi murid Syah bin Syuja’ dan banyak memperoleh manfaat dari ajaran-ajarannya, sampai ketika Abu ‘Utsman al-Hiri menyertainya ke Nishapur untuk mengunjungi Abu Hafshin. Pada waktu itu Syah bin Syuja’ mengenakan jubah pendek. Abu Hafshin menyongsong kdatangannya dan memuji-mujinya.
Abu ‘Utsman al-Hiri ingin sekali menjadi murid Abu Ahfshin, tetapi karena hormatnya kepada Syah bin Syuja’ ia merasa segan menyampaikan hasratnya itu. Lagi pula Syah bin Syuja’ seorang guru yang sangat cinta kepada murid-muridnya. Maka Abu ‘Utsman al-Hiri bermohon kepada Alalh supaya dibukakan jalan untuk dapat tinggal bersama Abu Hafshin tanpa mengecilkan hati Syah bin Syuja’. Abu ‘Utsman al-Hiri mengetahui bahwa Abu Hafshin adalah seorang manusia yang banyak memperoleh kemajuan spiritual.
Ketika Syah bin Syuja’ merasa telah tiba saatnya bagi mereka untuk kembali ke Kirman, ia menyuruh Abu ‘Utsman al-Hiri mempersiapkan perbekalan mereka. Kemudian pada suatu hari, dengan sangat ramah Abu Hafshin berkata kepada Syah bin Syuja’.:
“Biarkanlah anak muda ini bersamaku karena aku sengat senang kepadanya.
Syah bin Syuja’ berpaling kepada Abu ‘Utsman al-Hiri dan menasehatkan : “Taatilah perrintah-perintah syeikh!.”
Setelah itu berangkatlah ia tanpa Abu ‘Utsman al-Hiri. Ditinggalkannya Abu ‘Utsman al-Hiri untuk memulia kehidupan baru.
Kemudian di hadapn rumah Abu Hafshin aku bangun sebuah tempat kediaman dan kubuat sebuah lobang dari mana aku dapat melihat Abu Hafshin. Aku bertekad tidak akan meninggalkan tempat itu kecuali syeikh sendiri yang memerintahkan demikian. Ketika Syeikh mengetahui tempatku itu dan melihat keadaanku yang sangat menyedihkan, ia lalu memanggilku dan memberkahiku dengan menikahkan puterinya kepadaku.”
Abu ‘Utsman al-Hiri berkata : Selama empat puluh tahun, betapa pun keadaan yang ditakdirkan Allah kepadaku, tak pernah ku sesali, dan betapaun ia merubah keadaanku, tak pernah membuatku marah.”
Kisah berikut ini merupakan bukti kebenaran kata-kata Abu ‘Utsman al-Hiri di atas. Seseorang yang tidak mempercayai kata-kata Abu ‘Utsman al-Hiri mengirimkan sebuah undangan kepdanya. Undnagan itu diterima oleh Abu ‘Utsman al-Hiri, maka ia pun pergilah ke rumah orang itu. Tetapi sesampainya di sana orang itu berteriak kepadanya : “Wahai manusia rakus! Di sini tidak ada makanan untukmu. Pulang sajalah!.”
Abu ‘Utsman al-Hiri beranjak meninggalkan tempat itu tetapi belum jauh ia melangakah orang tadi berteriak memanggilnya : “Syeikh, kemarilah!.”
Abu ‘Utsman al-Hiri berbalik tetapi orang itu terus menggodanya : “Engkau sangat rakus. Tidak pernah merasa cukup. Pergilah dari sini!.”
Si Syeikh pun pergi meninggalkan tempat itu. Orang itu memanggilnya lagi dan Abu ‘Utsman al-Hiri pun menghampirinya pula.
“Makanlah batu atau pulang sajalah!.”
Sekali lagi Abu ‘Utsman al-Hiri beranjak pergi. Tiga puluh kali orang itu memanggil dan mengusirnya, dan tiga puluh kali pula syeikh Abu ‘Utsman al-Hiri datan dan pergi tanpa sedikit pun menunjukkan kejengkelan hatinya. Akhirnya orang itu berlutut di depan Abu ‘Utsman al-Hiri, dengan air mata bercucuran ia meminta maaf kepadanya. Dan sejak itu ia menjadi murid Abu ‘Utsman al-Hiri.
“engkau benar-benar manusia yang sangat kokoh!.” Katanya kepada Abu ‘Utsman al-Hiri. “Tiga puluh kali engkau kuusir dengan kasar tetapi sedikit pun engkau tan menunjukkan kemangkelan hatimu.”
Abu ‘Utsman al-Hiri menjawab : “Hal itu adalah sepele. Anjing-anjing juga berbuat seperti itu. Apabila anjing-anjing itu engkau usir mereka pun egi dan apabila engkau panggil mereka pun datang tanpa sedikit pun menunjukan rasa jengkal. Sesuaut hal yang dapat dilakukan anjing, sama sekali tidak ada artinya. Lain halnya dengan perjuangan manusia.”
“Kita harus bersyukur seribu kali karena kita yang seharusnya dihukum dengan api dibebaskan dengan abu.”
“Jangan kuatir,” kat Abu ‘Utsman al-Hiri, “orang-orang yang bersaudara adalah satu.”
Mendapat perlakuan seperti ini, si pemuda bertaubat dan menjadi murid Abu ‘Utsman al-Hiri. Pemuda itu disuruhnya mandi dan diberinya pakaian, kemudian ia menegadahkan kepdanya dan berdoa.”
“Ya Allah, telah ku lakukan kewajibanku. Selanjutnya adalah urusan-Mu.”
Sesaat itu juga si pemuda mengalami suatu pengalaman mistik yang sedemikian menakjubkan sehingga Abu ‘Utsman al-Hiri sendiri terheran-heran. Pada waktu shalat ‘Asharr, datanglah Abu ‘Utsman al- Maghribi.
Abu ‘Utsman al-Hiri berkata kepadanya : “Syeikh, haitku terbakar oleh api cemburu. Yang selama hidup ku dambakan telah dilimpahkan kepda pemuda yang masih mengeluarkan bau anggur dari dalam perutnya ini. Maka tahulah aku kini, bahwa manusialah yang ber usaha tetapi Tuhan yang menetukan.”