Abul Hasan Muhammad bin Ismail (Khair bin Abdullah) an-Nassaj dari Samara, seorang murid Sari as-Saqathi dan seorang pengikut Junaid. Di kota Basharh ia diambil orang jadi budak, tetapi kemudian ia dapat meneruskan perjalanannya ke Mekkah. Orang-orang mengatakan bahwa ia mencapai usia seratus dua puluh tahun ketika ia meninggal dunia pda tahun 322 H/924 M.
KISAH KHAIR AN-NASSAJ
Khair an-Nassaj adalah salah seorang ketua di antara tokoh-tokoh sufi yang semasa dengan dia. Sebagai seorang murid Sari as-Saqathi, ia dapat mempengaruhi Syibli maupun Ibrahim al-Kahuwas, dan dia sangat dikagumi oleh al-Junaid. Kisah berikut ini menerangkan mengapa ia dijuluki Khair an-Nassaj.
Ia meninggalkan kora kelahirannya Samarra untuk menunaikan ibdah haji ke Mekkah. Di dalam perjalanan itu, ketika ia sampai di gerbang kota Kufah dengan jubah tambal sulam dan wajah yang hitam, semua orang yang melihatnya akan berkata: “Lelaki itu tampaknya adalah orang dungu!.”, Di kota itu ada seseorang yang memperhatikannya.
“Akan ku suruh dia bekerja selama beberapa hari,” orang itu berkata kepada dirinya sendiri, Setelah itu ia pun menghampiri.
“Apakah engkau seorang budak?.” Tanyanya.
“Ya!.”
“apakah kupelihara engkau sampai engkau dapat kukembalikan kepada majikanmu,” orang itu berkata kepadanya.
“Itulah yang kuinginkan selama ini,” sahut Khair. “Selama hidupku aku ingin bertemu dengan seseorang yang dapat mengembalikan aku kepada majikanku.”
Orang itu lalu membawanya pulang.
“Sejak saat itu namamu Khair,” katanya.
Khair an-Nassaj tidak membantah, Ia benar-benar meyakini ucapan bahwa “Seorang yang beriman tidak boleh berbohong,” Khair an-Nassaj mengikuti orang itu dan bekerja padanya. Dia mengajar Khair an-Nassaj menenun kain. Bertahun-tahun lamanya Khair an-Nassaj bekerja.
Setiap kali orang itu memanggil namanya, dalam sesaat Khair an-Nassaj telah datang menghadap. Akhirnya setelah menyaksikan betapa Khair an-Nassaj memiliki ketulusan hati, tingkah laku yang sempurna, ketajaman instuisi, dan kebaktian yang teguh, orang itu pun bertaubatlah.
“Aku telah melakukan kesalahan,” ia berkata kepada Khair an-Nassaj, “Engkau bukan budakku. Pergilah kemana engkau suka.
Maka, berangkatlah Khair an-Nassaj ke kota Mekkah. Di kota ini ia mencapai derajat kesalehan yang sedemikian tingginya sehingga al-Janaid sendiri menyatakan: “Khair an-Nassaj adalah yang terbaik di antara kita,” Ia lebih suka jika orang-orang tetap memanggilnya Khair dengan dalih:
“Tidak baik apabila aku mengubah nama yang telah diberikan oleh seorang Muslim kepadaku.”
Sekali-kali Khair an-Nassaj mempereaktekkan keahliannya bertenun. Kadang-kadang ia pergi ke sungai Tigris ddi mana ikan-ikan menghampirinya sambi membawakan aneka rupa benda-benda untuk dirinya.
Pada suatu hari ketika sedang menenun kain untuk seorang wanita tua, si wanita bertanya kepadanya: “Jika aku datang membawakan uang sat dirham tetapi engkau tidak ada di teempat ini, kepada siapakah kutitipkan uang itu?.”
“Lemparkanlah ke dalam sungai Tigris,” jawab Khair an-Nassaj.
Ketika wanita tua itu mengantarkan uang satu dirham itu, Khair an-Nassaj sedang tak ada di tempat. Maka dilemparkannya uang tersebut ke sungai Tigris. Ketika Khair an-Nassaj pergi ke tepi sungai, ikan-ikan memberikan uang satu dirham itu kepadanya.
Orang-orang mengatakan bawa Khair an-Nassaj hidup sampai usia seratus dua puluh tahun. Jalnya hampir tiba ketika masuk waktu Shalat ‘Isa.
Malaikat Israil sedang membungkuk di atas tubuhnya ketika Khair an-Nassaj mengangkat kepalanya.
“Semoga Allah melindungimu!.” Khair an-Nassaj berseru. “Tunggulah sebentar. Engkau adalah seorang hamba yang menjalankan perintah, aku pun seorang hamba yang menjalankan perintah.
Kepadamu diperintahkan untuk mengambil nyawaku, dan kepadaku pun di perintahkan: “Apabila telah tiba waktu untuk shalat, maka shalatlah engkau!.” Waktu Shalat telah tiba.
Engkau mempunyai kesempatan luas untuk melaksanakan perintah. Tetapi kesempatanku hanyalah di saat ini. Bersabarlah sehingga aku selesai shalat ‘Isa.”
Kemudian Khair an-Nassaj bersuci dan shalat. Begitu selesai, ia pun meninggal dunia.