Rahasia Cerita Sufi
Abul Bakar Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Kattani, lehir di Baghdad. Ia adalah seorang anggota dari kalangan Junaid. Ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap di sana hingga wafatnya pada tahun 322/934 M.
KESALEHAN ABU BAKAR AL-KATTANI
Abu Bakar al-Kattani dijuluki sebagai Pelita Masjidil Haram. Ia menetap di kota Mekkah hingga matinya. Ia selalu melakukan shalat di sepanjang malam dan membaca al-Qur’an hingga tamat.
Ketika tawaf di Ka’bah, ia sempat membaca dua puluh ribu ayat. Selama tigapuluh tahun, ia duduk di bawah air mancur di dalam Masjidil Haram dan selama itu pula ia ckup bersuci sekali dalam dua puluh empat jam. Di samping itu ia pun tak pernah tidur.
Ketika masih rremaja ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi menunaikan ibadah haji.
“Ketika mencapai padang pasir,” Abu Bakar mengisahkan: “Aku bermipi sehingga aku harus bersuci. Di dalam hati aku berkata, mungkin aku tidak mempunyai persiapan yang selayaknya. Maka aku pun kembali pulang. Sesampainya di rumah, kudapati Ibu sedang menantikan di balik pintu.
Aku bertanya kepadanya: Ibu, bukankah ibu telah mengizinkan aku pergi?.”
“Ya,” jawab Ibuku, Tetapi tanpa engkau, aku tak sanggup melihat rumah ini lagi. Sejak engkau pergi, aku duduk di tempat ini. Aku telah bertekad tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum engkau pulang kembali.”
Itulah sebabnya sebelum ibuku meninggal dunia, aku tidak mau mecoba mengarungi padang pasir lagi.
Abu Bakar al- Kattani meriwayatkan, sebagai berikut ini:
Ketika aku berada jauh di tengah padang pasir terlihatlah olehku mayat seseorang. Mayat itu tersenyum’
“He! Mengapakah engkau dapat tersenyum sedangkan engkau sudah mati?.”Aku berseru.
“Karena ksih Allah,” jawab mayat itu.
“Ada sedikit kebencian di dalam hatiku kepada ‘Ali, pangeran manusia-manusia yang beriman (Amirul mu’minin),” Abu Bakar al-Kattani mengakui.
“Lain tidak ada alasan karena Nabi pernah mengatakan: “Tidak ada satria sejati selain dari pada ‘Ali,” Dan karena kekesatriannya itulah, wlaupun golongan Muawiyah berada di pihak yang salah dan dia di pihak yang benar, ‘Ali menyerah kepada mereka agar pertempuran darah tidak terjadi.”
“Aku mempunyai sebuah rumah kecil antara Shafa dan Marwah,”
Abu Bakar al-Kattani melanjutkan. “Di rumah itu aku bermimpi melihat Nabi beserta sahabt-sahabat yang dikasihinya. Nabi menghampiri dan merangkulku.
Kemudian sambil menunjuk ke arah Abu Bakar ia bertanya: “Siapakah dia itu?.” Abu Bakar,” jawabku.
Kemudian Nabi menunjuk ke arah ‘Umar dan aku menjawab: “Umar.”
Setelah itu Nabi menunjuk ke arah ‘Utsman dan aku menjawab: “Utsman.”
Terakhir sekali ketika Nabi menunjuk ke arah ‘Ali, aku merasa sangat malu untuk menjawab karena selama ini aku menaruh benci kepadanya.
Kemudian Nabi mendamaikan aku dengan ‘Ali, dan kami saling berangkulan. Setelah itu semuanya meninggalkan tempat itu kecuali aku dan ‘Ali.
“Ayo, marilah kita pergi ke gunung Abu Qubais,” ‘Ali mengajakku. Maka naiklah kami ke puncak gunung itu dan dari tempat itu kami emandang Ka’bah. Ketika aku terjaga, ternyata diriku telah berada di puncak gunung Abu Qubais. Sedikit pun tidak tersisa kebencianku kepada ‘Ali lagi.”
Abu Bakar al-Kattani mengisahkan pula:
“Aku pernah besahabat dengan seseorang dan dalam perssahabatan itu aku merasa sangat canggung. Aku beri dia suatu hadiah, tetapi kecanggungan itu tidak hilang. Aku bawa ia ke rumahku dan kukatakan kepadanya: “Taruhlah kakimu di mukaku,”.
Mula-mula ia menolak, tetapi aku terus mendesak. Akhirnya ia menaruh kakinya ke mukaku sedemikian lamanya sehingga kecanggunganku itu sirna dan berubah menjadi cinta.
Pada suatu ketika, dari sebuah sumber yang halal, aku menerima uang dua ratus dirham. Uang itu ku bawa untuk sahabatku itu dan kutaruh di atas sajadahnya. “Pergunakanlah uang itu untuk keperluanmu,” aku berkata kepadanya.
Dengan lirikan matanya ia meandang dan menjawab: “Hidupku yang seperti sekarang ini telah ku beli dengan harga tujuh puluh ribu dninar.”
Apakah engkau hendak menghanyutkanku dengan uangmu itu?.”
Kemudian ia bangkit menepiskan sajadahnya dan meninggalkan tampat itu. Seumur hidup belum pernah aku menemukan manusia yang bermartabat seperti dia, dan belum pernah aku malu seperti ketika aku memunguti kepingan-kepinga dirham itu.”
Abu Bakar al-Kattani mempunyai seorang murid yang sedang sekarat menantikan ajalnya. Si murid membuka matanya dan memandang ke arah Ka’bah. Tepat pada saat itu seekor unta yang lewat di tempat itu menyepak mukanya sehingga biji matanya tercungkil keluar.
Sesaat kemudian, terdengar oleh Abu Bakar al-Kattani sebuah suara yang berkata di dalam dirinya:
“Di dalam keadaan yang seperti ini katika rahasia-rahasia dari Yang Ghaib hendak dibukakan kepadanya ia malah berpaling ke arah Ka’bah. Oleh karena itulah ia dihukum. Apabila berhadapan dengan Pemilik Rumah janganlah engkau berpaling memandangi rumah-Nya.”
Seorang tua berwajah cerrah berseri-seri, mengenakan sebuah jubah yang anggun, pada suatu hari ia melewati gerbang Banu Syaibah dan menghampiri Abu Bakar al-Kattani yang sedang berdiri dengan kepala merunduk.
Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata:
“Mengapakah engaku tidak pergi ke Maqam Ibrahim? Seorang guru besar telah datang dan ia sedang menyampaikan hadits-hadits yang mulia. Marilah kita ke sana untuk mendengarkan kata-katanya.”
“Siapakah perawi dari haduts-hadits yang di khotbahkannya itu?.” Abu Bakar al-Kattani bertanya.
“Dari Abdullah bin Ma’marm, dari Zhuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad,” jawab orang tua itu.
“Sebuah rantai perawi yang panjang,” Abu Bakar al-Kattani berkata. “Segala sesuatu yang mereka sampaikan melalui rantaian panjang para perawi di temepat itu dapat kita dengarkan secara langsung di tempat ini.”
“Melalui siapakah engkau mendengar?.” Orang tua itu bertanya.
“Hatiku menyampaikannya padaku langsung dari Allah,” jawab Abu Bakar al-Kattani.
“Apakah kata-katamu itu dapat dibuktikan?.” Orang tua itu bertanya.
“Inilah buktinya,” Abu Bakar al-Kattani menjawab,” hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Khidir.”
“Selama ini aku mengira tiak ada sahabat Allah yang tidak kukenal,”
Khidir berkata. “Demikianlah halnya sebelum aku bersua dengan Abu Bakar al-Kattani. Aku tidak mengenal dia tetapi dia mengenalku. Maka sadarlah aku bahwa masih ada sahabt-sahabat Allah yang tidak kukenal tapi kenal kepadaku.”
Abu Bakar al-Kattani meriwayatkan pula: di dalam sebuah mimpi aku bertemu dengan seorang remaja yang sangat tampan.
“Siapakah engaku ini?.” Aku bertanya kepadanya.
“Kesalehan,” jawabnya.
“Dimanakah tempatmu,” tanyaku.
“Di dalam hati orang-orang yang berduka.”
Kemudian aku bertemu dengan seorang perempuan hitam yang sangat mengerikan.
“Siapakah engaku ini? Aku bertanya kepadanya.
“Gelaktawa, sukaria, dan foya-foya,” jawabnya.
“Dimanakah tempatmu?.” Tanyaku.
“Di dlam hati orang-orang yang berbuat sesuka hati mereka dan orang-orang yang bersenang-senang.”
Ketika aku terbangun, aku bertekad, bahwa seumur hidupku aku tidak akan tertawa kecuali apabila aku sudah tiadak kuasa menahannya.