Di sebuah desa hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada
pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian,
nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.
"Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus
menyesalinya. .." demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil
keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe
yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh.Tempe yang
akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang kedelai, sebagian
berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu
masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan,
hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli
kacang kedelai, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.
Di tengah putus asa,terbersit harapan di dadanya. Dia tahu,
jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di
tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. "Ya Allah, Engkau
tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini.
Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu
kuserahkan nasibku..." Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan
doanya.
Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe.
Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung.
Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan... dia kecewa.
Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semua menyatu oleh
kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Diayakin,
Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi.
Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang
setia beribadah. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam
keranjang,dia berdoa lagi. "Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang
mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain
berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah.Bantulah aku, kabulkan
doaku..."
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka
lagi daun pembungkus tempe.Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan
berdebar, dia intip dari daun itu, dan... belum jadi. Kacang kedelai itu belum
sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai
tersebut. "Keajaiban Tuhan akan datang... pasti," yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia
yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses
peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa...
berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.
Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan
keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe!" batinnya.
Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan... dia
terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama
kali dia buka di dapur tadi.
Air mata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak
dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Apakah Tuhan ingin aku menderita? Apa
salahku? Demikian batinnya berkecamuk.
Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas
plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada
yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar... merasa
sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya.
Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat
berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan. Dilihatnya kesibukan pasar,
orang yang lalu lalang, dan "teman-temannya" sesama penjual tempe di
sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit,
karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya, tak pernah
dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras.
Dia merasa cobaan itu terasa berat...
Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi
pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah
tersenyum, memandangnya. "Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah
jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya.
Ibu punya?"
Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya
pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan
tangan. "Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau
kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan
jadikan tempe..." Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu,
dia letakkan lagi. "jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe..."
"Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah
jadi?" tanya perempuan itu lagi.
Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini?
Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan
dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang
dia lihat, sahabat?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih
sama. Belum jadi! "Alhamdulillah!" pekiknya, tanpa sadar. Segera dia
angsurkan tempe itu kepada si pembeli.
Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik
itu. "Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?"
"Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya yang kuliah S2 di
Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai
sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa
besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?"
Sahabat……Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan
"memaksakan" Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok
untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa
kecewa dan merasa ditinggalkan Padahal, Allah paling tahu apa yang paling cocok
untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah SEMPURNA