Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya
tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis mereka berbeda, dan
jenis kesalehan mereka pun berbeda.
Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia
saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif siskamling
meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.
Saleh kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh
memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam arti sebenarnya.
Minimal kata para anggota jamaah masjid kampung itu.Jenggotnya panjang.
Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu juga sarung palekat
abu-abu itu. Tutur katanya lembut. Ia cekatan memberi senyum kepada orang lain.
Alasannya: "senyum itu sedekah". Kepada anak kecil, ia sayang.
Hobinya mengusap kepala bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat jamaah
berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi
bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala diusap, ribut tetap jalan. Seolah
mereka khusus dilahirkan buat bikin ribut di masjid.
"Ramai itu baik saja," katanya sabar, (ketika
orang-orang lain pada marah), "karena ramai tanda kehidupan," katanya
lagi.
"Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam
keramaian itu."
Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di
masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus kegiatan lain.
Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga isya
tiba.
Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi
masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir panjang sampai subuh
tiba.
Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna
dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika salat duha kemudian ia
lakukan. Pendeknya, ia penghuni masjid.
Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua
jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam. Selebihnya zikir,
zikir, zikir....
Pas betul dengan nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah
saleh, plus Habib (nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat
Nabi).
Kalau biasanya kita sulit menemui pejabat karena banyak
acara, maka kita sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid begitu
padat.
Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang
menjadikannya semacam idola.
Namun, ia pun punya kekurangan. Ada dua macam cacat utamanya.
Pertama, kalau dalam salat jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia
tersinggung.
Kedua, kalau orang tak sering "sowan" ke rumahnya,
ia tidak suka.... karena ia menganggap orang itu telah mengingkari
eksistensinya sebagai orang yang ada di "depan".
"Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin
menjadi tokoh?"
Hanya Tuhan dan ia yang tahu.
Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih menanti
zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan bahwa kelak bila punya waktu
banyak, saya ingin selalu zikir di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah
pensiun, saya akan punya waktu macam itu.
"Ya kalau sempat pensiun," komentarnya.
"Maksud Pak Haji?"
"Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita? Memangnya
kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?"
"Ya, ya. Benar, Pak Haji," saya merasa terpojok
"Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela
menghabiskan seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa
jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?"
"Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar
dunia."
"Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan
saya ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan."
Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi
kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu menggarisbawahi
"ancaman".
Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga
haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. Namanya
bukan Saleh melainkan Sanip.
Haji Sanip, orang Betawi asli.
Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita
bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa salatnya sebentar,
dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa
ia tak ingin minta aneh-aneh.
Ia malu kepada Allah.
"Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan
bukankah Ia berjanji akan mengabulkannya?"
"Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah
dengan sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang, dari hari
ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi. Allah memang Maha Pemberi,
termasuk memberi kita rasa malu. Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa
malu-Nya tak kita gunakan?" katanya lagi.
Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa
malu.............................. sebenar-benarnya malu.
Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang
suci.... langsung dibawah komando Allah - seperti serentak mengamini ucapan
orang Betawi ini.
"Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada
Allah kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir Allah
itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita.
Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini
bukan ibadah, tapi dagang.
Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita sembah,
lalu kita perah rezeki dan berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang
harus menyembah..... seperti tekad Al Adawiah itu," katanya lagi.
Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik.
Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan tanda ketuaan itu......
terpancar ketulusan iman.
Kepada saya, Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin.
Tampak di sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri sendiri. Betapa
banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa sedikit saya memberi. Mental
korup dalam ibadah itu, ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya juga.