by : Yoshe Azura
Kehidupan itu sungguh suatu misteri. Banyak kejadian yang tak
terduga yang terkadang menimpa kita. Itu lah yang aku rasakan, kejadian demi
kejadian yang datang membawa kesedihan.
Aku putra sulung di keluargaku. Sebagai seorang anak aku
ingin selalu bersama kedua orang tuaku, mereka yang menjaga dan mendidikku
sehingga aku menjadi anak yang berbudi baik. Bahkan, dari tahun ke tahun aku
selalu menjadi juara kelas, menjadi kebanggaan guru n di puji kesantunanku oleh
orang-orang di sekelilingku. Itu semua berkat kedua orang tuaku…
Tapi keadaan berubah ketika aku duduk di kelas 2 smp. prahara
rumah tangga yang membuat kedua orang tuaku harus bercerai. Aku tidak lagi bisa
merasakan hangatnya keluarga. Rumah yang dulu bagiku adalah sebuah syurga, kini
berubah jadi tempat gelap yang membosankan. Tak ada lagi kedamaian yang aku
rasa. Tak ada lagi ayah yang dulu selalu mengajariku banyak hal tentang hidup,
mengajariku menjadi lelaki yang tangguh. Tak ada lagi ibuku yang dulu selalu
mengingatkanku untuk mengerjakan PR, menyiapkan buku sekolah. Tak bisa lagi aku
lihat ibuku memasak makanan untukku…
Aku kehilangan semua itu yang harusnya masih aku miliki. Dan
aku pun harus melanjutkan hidup tanpa orangtuaku. aku memilih tuk tidak ikut
ayah atau ibuku, karena saat itu aku kecewa pada keputusan yang mereka ambil.
Entah berapa kali aku menangisi nasibku, aku selalu bertanya kenapa harus
terjadi padaku?
Banyak yang berubah dariku saat itu, pergaulanku makin bebas,
karena yang aku pikirkan saat itu hanya bagaimana aku bisa melupakan masalah
keluargaku. Beberapa guru dari sekolahku juga sempat mencariku karena aku
menghilang 1 bulan dari sekolah. Mereka memberiku semangat dan dukungan. Sampai
aku lulus, aku mendapat tawaran beasiswa tuk melanjutkan sekolahku. Tapi aku menolaknya.
Entah apa yang aku pikirkan saat tu.
Hidup luntang lantung kesana kemari, sudah aku jalani. Kerja
serabutan ikut siapa saja yang mau membawaku. Rasa rindu pada keluarga sering
kali membuatku lemah. Tapi aku belum ingin kembali pada mereka, aku masih ingin
memuaskan diri menikmati pilihanku. Sesekali aku mengunjungi ibuku, tapi lebih
sering ke ayah aku.
Tahun ke tahun makin bertambah usiaku, aku mulai berpikir
masa depan. Aku perbarui hidupku, aku kembali pada ibuku, aku ingin membantu
ibuku. Aku sudah banyak kehilangan hal-hal yang berarti dalam hidupku. Aku
berharap hidupku akan lebih baik. Dan akhirnya aku mulai kembali menjadi diriku
yang dulu. meski tidak lengkap tapi aku kembali punya keluarga…
Aku senang dan bersyukur bisa melalui masa-masa pahitku. Tapi
siapa sangka, Tuhan kembali mengujiku dengan musibah yang jauh lebih besar.
Karena sebuah kecelakaan, aku harus kehilangan satu kakiku. Sedih, marah, putus
asa, menjadi satu melemahkan semangat hidupku. Bagaimana bisa ini terjadi? Dan
kenapa harus aku? Tuhan belum cukupkah ujian yang harus aku lalui? Kenapa harus
dengan cara ini KAU mengujiku? Bagaimana hidupku nanti? Kenapa nasibku begitu
malang? Tangisanku tak henti-henti mnyesali keadaan ini.
Dan yang lebih menyakitkan hatiku adalah sikap ibuku yang
berubah padaku. Di saat aku hanya bisa terbaring menahan sakit, aku juga harus
mendengar kata-kata yang pedas keluar dari mulut ibuku. Kenapa ibuku mengumpat
seolah-olah aku yang menginginkan musibah ini.
Masa penyembuhanku membutuhkan waktu yang lama, dan aku harus
melewatinya sendiri, Aku berusaha tegar di depan smua orang. tapi saat aku
sendiri, aku tak mampu menahan tangisku. Saat aku lihat pahaku yang berbalut
perban setelah di amputasi. Dimana kakiku? rasanya masih teringat jelas saat
aku jalan dengan dua kakiku, tapi kenapa sekarang jadi seperti ini?
Begitu berat menerima kenyataan ini. Kadang aku berharap ini
hanya mimpi. Hari-hariku penuh kesedihan. Kurangnya perhatian membuat aku makin
terpuruk. Aku merasa mereka menganggapku sampah. Aku hanya bisa berdoa semoga
aku di beri kekuatan. Aku berjuang melawan sakitku. Aku ingin sembuh, aku tidak
mau terlalu lama membebani mereka.
Setelah aku sembuh, aku bergabung dengan orang-orang yang bernasib
seperti aku di sebuah yayasan. Disini lah aku belajar membiasakan diri dengan
keadaanku. pelan-pelan percaya diriku mulai tumbuh. Tapi terkadang aku iri
melihat mereka yang selalu dikunjungi keluarganya tiap minggu. sedangkan aku,
hanya bisa memperhatikan satu persatu mereka yang datang, aku berharap ada
keluargaku… walau akhirnya aku kecewa. kemudian aku lebih memilih menyendiri di
kamar menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca.
Hanya sesekali telepon dari ayahku yang bisa sedikit
menenangkan aku. Dan teman-teman yang sudah seperti saudaraku yang membuat
hariku terasa menyenangkan. Membuatku tersenyum dan dalam hatiku berkata, aku
bisa melewati semua ini.
Sebagai penyandang cacat, aku butuh kaki palsu untuk
memudahkan aku beraktifitas. Harganya cukup mahal bagi aku. Aku gak mungkin
lagi minta orang tuaku, sudah terlalu banyak yang mereka keluarkan untuk aku.
Dengan bantuan teman-temanku, aku dapatkan proposal dari Dinas Sosial dan Rumah
Sakit. Proposal itu lah yang aku gunakan untuk meminta sumbangan dari toko ke
toko.
Dengan rasa malu dan takut, aku datangi satu per satu toko…
rasanya mau nangis kalau ingat kejadian itu, Di bawah terik matahari aku
berjalan tertatih dengan satu tongkat penyangga. Dalam hatiku bertanya “apakah
aku pengemis?” Oh tuhan… aku tak pernah membayangkan hidupku akan begini.
Hari itu banyak toko-toko yang aku masuki, sebagian bisa
memahami, bahkan memberi suport, tapi ada juga yang ketus… dia lemparkan uang
seribu ke mukaku, astaghfirullah tuhan kuatkan aku, dalam hatiku. Sehina ini
kah aku? Inilah perjuanganku, aku harus kuat.
Aku selalu berusaha menguatkan diriku. Ternyata meminta
adalah hal yang bisa merendahkan diri kita. Aku berdoa pada tuhan, ‘tuhan,
sungguh aku terpaksa melakukan ini, hanya ini yang aku mampu lakukan saat ini,
tuhan jadikan lah ini awal yang baik’.
Setelah sore aku pulang dengan hati yang sedikit lega, karena
sudah ngantongin uang tuk beli kaki palsu. Tapi aku tidak menceritakan hal ini
pada keluargaku. Besoknya aku bawa uang itu ke rumah sakit dan kekurangan
biayanya di tanggung oleh donatur.
Ternyata benar, di setiap musibah ada hikmah yang bisa di
ambil. Kita harus ikhlas dan bersabar menghadapinya.
Aku bisa belajar banyak hal, banyak pengalaman yang aku dapat
dari sana. Sekarang, meski fisikku tidak sempurna, aku bisa menjalani hidup
seperti biasa. Aku bekerja di sebuah laundry. Walaupun gajiku terbilang di
bawah rata-rata, aku tetap bersyukur masih ada orang yang mau memperkerjakan
aku. Selalu yakin dan berusaha sekuat tenaga, tak ada yang tak mungkin.