Cerpen Karangan: Widya Laksari Sastri
Bukankah berkhayal itu hanya dilakukan oleh anak kecil?
Bukankah dongeng itu hanya untuk anak kecil? Bukankah permainan itu hanya
dimainkan oleh anak kecil? Tapi aku suka berkhayal, aku suka dengan dongeng dan
aku suka bermain. Anak kecil kah diriku? Bukan, aku bukan anak kecil! Tapi aku
akan terus membuat khayalan, khayalan indah untuk anak-anak. Aku juga akan
selalu mendongeng untuk anak anak dan bermain sebuah permainan dengan
anak-anak.
“Bisakah kau berhenti melakukan aktivitasmu dengan anak-anak
itu dan meluangkan seluruh waktumu hanya untukku?” Ucapan itu seketika
membuyarkan semua khayalanku. Ucapan kekasihku yang begitu mengecewakan hatiku.
Dia terlalu melarangku akan setiap kegiatanku. Bukan, bukan karena dia tak
menyukai anak-anak. Hanya saja dia belum memahami mengenai anak-anak.
Kembali aku berkhayal mengenai anak-anak itu. Tertawa, menari
dan bernyanyi bersama. Di sebuah taman yang indah dipenuhi bunga, balon dan
kupu-kupu. Aku senang melihat anak-anak itu bahagia.
“bu guru, ayo kita main!” Ajak seorang anak menghentikan
khayalanku. “ayo! Kita ajak teman-teman kamu ya sayang.”
Aku pun mulai mengajak anak-anak itu bermain bersama. Aku
selalu mengajarkan permainan anak-anak yang mungkin kini sudah jarang dimainkan
oleh anak-anak. Diantara permainan itu, anak-anak ini sangat menyukai permainan
petak umpet.
“aaaa kamu jangan ngumpet disini. Ini tempat aku tahu.” ucap
brian salah satu anak-anakku “tidak mau, aku kan juga mau ngumpet disini. Kamu
saja yang pergi sana.” Balas rival “aku bilangin bu guru nih. Bu guru rival
nakal nih bu.” Mendengar perkataan itu aku tersenyum menghampiri kedua anak
tersebut. “brian, rival. Ayo, kalau main bu guru bilang apa?” “tidak boleh
berantem dan tidak boleh nangis.” Jawab keduanya.
Kejadian seperti tak lagi membuatku gelisah. Itulah khas
anak-anak dan aku menyukainya. Sayang hal tersebut tak terjadi dengan
kekasihku.
“kenapa sih kamu tidak berhenti saja dan cari perkerjaan yang
lebih baik?” “karena aku menyukai anak-anak.” “tapi tidak selalu tentang mereka.”
“kalau bukan kita siap lagi? Nantinya juga kita akan mempunyai anak setelah
kita menikah kan.” “tapi kamu ini sarjana ekonomi.” “ada apa dengan sarjana
ekonomi?” “sudahlah lupakan saja.”
Bukan aku tak peduli dengan predikat yang aku miliki. Aku
hanya menjalankan apa yang membuatku bahagia. Dan aku senang melihat anak-anak
bahagia.
Bagiku anak-anak mungkin tak lagi menjadi anak-anak nantinya.
Tapi ketika mereka masih anak-anak aku ingin mengenalkan dunia khas anak-anak
yang kini telah hampir dilupakan. Permainan, dongeng bahkan musik untuk
anak-anak itu yang kuberikan untuk mereka. Bukan menjadikan mereka sosok dewasa
pada waktu anak-anak. Hanya itulah impianku. Hanya itu…