Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja
menyelesaikan kuliah saya di sebuah Universitas di Jerman. Kelas terakhir yang
harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan
kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.
Tugas terakhir yang
diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling.” Seluruh siswa diminta untuk
pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya
dan mendokumentasikan reaksi mereka.
Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan
didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu
tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu
saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoran
McDonald’s yang berada di sekitar kampus.
Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami
saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang
menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.Ketika saya
sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar
kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya
ikut menyingkir keluar dari antrian.
Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan
melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya
membaui suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di
belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya
bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap
laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia
sedang “tersenyum” kearah saya.
Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga
memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya
dapat menerima ‘kehadirannya’ ditempat itu.Ia menyapa “Good day!” sambil tetap
tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar
makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika
teringat oleh saya ‘tugas’ yang diberikan oleh dosen saya.
Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh
berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu
menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah
“penolong”nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata
dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2
saja sudah sampai didepan counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang
ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.
Lelaki bermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona.” Ternyata
dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah
menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan
menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu).
Tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku
beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk
yang jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang
mengamati mereka..
Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu
semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga
melihat semua ‘tindakan’ saya.
Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa
saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum
dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan
terpisah. Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang
ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk
suami dan anak saya.
Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari
sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya
letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya
di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya
berucap “makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.
”Kembali mata biru
itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia
hanya mampu berkata “Terima kasih banyak, nyonya.”
Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk
bahunya saya berkata “Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,
Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya
untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian.” Mendengar ucapan saya, si Mata
Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak.
Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya
sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan
bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.
Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan
berkata “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku,
yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak-anakku! ” Kami
saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur
dan menyadari,bahwa hanya karena ‘bisikanNYA’ lah kami telah mampu memanfaatkan
‘kesempatan’ untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat
membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang
akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu
persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin ‘berjabat tangan’ dengan
kami.
Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap
“Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada
disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan
seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.” Saya hanya bisa berucap
“terima kasih” sambil tersenyum.
Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk
melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan
bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu
melambai-lambaikkan tangannya kearah kami.
Dalam perjalanan pulang saya
merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma
tadi, itu benar-benar ‘tindakan’ yang tidak pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa ‘kasih
sayang’ Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali! Saya kembali ke college, pada
hari terakhir kuliah dengan ‘cerita’ ini ditangan saya. Saya menyerahkan
‘paper’ saya kepada dosen saya.
Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya
saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata,
“Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan senang hati
saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas
untuk membacakan paper saya.
Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama
cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang
dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir
di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu
berlangsung,
sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat saya
diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya. Diakhir
pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip
salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya .
“Tersenyumlah dengan ‘HATImu’, dan kau akan mengetahui betapa
‘dahsyat’ dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”
Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah ‘menggunakan’ diri saya
untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald’s, suamiku, anakku, guruku,
dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai
mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya
dapatkan di bangku kuliah manapun,
yaitu:
“PENERIMAAN TANPA SYARAT.” Banyak
cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para
pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini
diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara
MENCINTAI SESAMA, DENGAN
MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI
HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!