SUARANYA sedikit serak dan matanya berkaca-kaca. Ia
menuturkan betapa gembira istri dan anak-anaknya waktu mereka diajak makan
malam di sebuah restoran di Bandung Utara. “Rasanya sudah lama sekali saya
tidak berbincang-bincang dengan istri dan anak-anak saya,” tuturnya.
“Sekali-sekali makan di luar bersama keluarga sangat
menyenangkan. Istri dan anak-anak saya kelihatan sangat berbahagia. Anak-anak
saya banyak bercerita tentang berbagai kegiatannya dan juga banyak bertanya
tentang berbagai macam hal. “Yang terpenting, kata teman saya itu, biaya untuk
membahagiakan keluarga ternyata murah, tidak mahal”.
Lalu ia membandingkan dengan berbagai kegiatannya sebelumnya.
Ia bukan pemabuk, hanya sekali-sekali ia mabuk, kalau kelewat
batas meminum minuman beralkohol. Pada restoran sedikit di atas kelas menengah,
satu gelas single Whiskey dan Tequila adalah Rp 30.000. Kalau ingin gaya
sedikit, sebotol Champagne harganya lebih dari Rp 1 juta.
“Dengan uang sebanyak itu, saya dapat membahagiakan istri dan
anak-anak saya untuk makan-makan di restoran lebih dari lima kali,” katanya.
Ia juga bukan penyanyi, tetapi ia pintar menyanyi dan
suaranya lumayan bagus. Pernah ia berseloroh, “Kalau saya lelah jadi pengusaha,
saya akan menjadi penyanyi”. Biasanya, ia minum-minuman keras di karaoke. Biaya
yang dikeluarkan untuk menyewa ruang karaoke kelas VIP adalah Rp 1 juta dan
untuk lebih meriah ia menyewa pemandu lagu (PL) dengan harga Rp 200.000 per
jam.
“Mas tahu sendirilah,” katanya. “Seringkali saya kebablasan.
Dari ruang karaoke pindah ke kamar hotel”. Jumlah uang yang dihamburkannya
dalam semalam, menyamai gaji guru besar dalam sebulan.
“Itu belum seberapa mas,” katanya. Suaranya terdengar bangga
namun terselip ada nada pahit. “Pada diskotek yang elite dan mewah, teman saya
menyewa hostes dua juta tiap jamnya. Dan Mas dapat memperkirakan berapa besar
uang yang harus dibayar teman saya kalau ia membawa hostes itu ke kamar hotel.”
“Itu adalah bagian dari masa lalu saya Mas,” tambahnya. “Kini
saya kembali ke pangkuan keluarga. Kembali kepada istri dan anak-anak saya.”
“Mungkin inilah yang dinamakan hidayah,” katanya dengan mata
menerawang jauh. “Saya hampir bangkrut karena judi. Mula-mula hanya iseng,
recehan, seribu dua ribu rupiah, agar main gaplenya lebih serius. Namun, sekali
lagi saya kebablasan, sebagian perusahaan saya sudah hilang dalam perjudian
itu. Saya diselamatkan oleh rasa letih yang luar biasa, saya istirahat dan
berhenti berjudi sehingga tidak semua perusahaan saya lenyap”.
Saya hanya sedikit berkomentar, untunglah ia tidak seperti
Pendawa Lima yang menjadikan negara sebagai taruhan dalam perjudian dan Pendawa
Lima kalah.
“Ya, untunglah saya tidak seperti Pendawa Lima. Masih ada
harta yang tersisa untuk hidup bahagia,” katanya sambil menarik napas lega.
“Hidup ini aneh,” tambahnya. “Semua yang saya lakukan dahulu
itu, seperti mabuk-mabukan, melacur, dan berjudi, adalah tiket menuju neraka
yang menyengsarakan. Kenapa lumayan banyak orang mau membeli tiket ke neraka
yang harganya sangat mahal?”