Kita selalu berhutang banyak cinta kepada anak-anak. Tidak
jarang, kita memarahi mereka saat kita lelah. Kita membentak mereka padahal
mereka belum benar-benar paham kesalahan yang mereka lakukan. Kita membuat
mereka menangis karena kita ingin lebih dimengerti dan didengarkan.
Tetapi
seburuk apapun kita memperlakukan mereka, segalak apapun kita kepada mereka,
semarah apapun kita pernah membentak mereka... Mereka akan tetap mendatangi
kita dengan senyum kecilnya, menghibur kita dengan tawa kecilnya, menggenggam
tangan kita dengan tangan kecilnya... Seolah semuanya baik-baik saja, seolah
tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya... Mereka selalu punya banyak cinta untuk
kita, meski seringkali kita tak membalas cinta mereka dengan cukup.
Kita selalu berhutang banyak kebahagiaan untuk anak-anak
kita. Kita bilang kita bekerja keras demi kebahagiaan mereka, tetapi kenyataannya
merekalah yang justru membahagiakan kita dalam lelah di sisa waktu dan tenaga
kita. Kita merasa bahwa kita bisa menghibur kesedihan mereka atau menghapus air
mata dari pipi-pipi kecil mereka, tetapi sebenarnya kitalah yang selalu mereka
bahagiakan... Merekalah yang selalu berhasil membuang kesedihan kita,
melapangkan kepenatan kita, menghapus air mata kita.
Kita selalu berhutang banyak waktu tentang anak-anak kita.
Dalam 24 jam, berapa lama waktu yang kita miliki untuk berbicara, mendengarkan,
memeluk, mendekap, dan bermain dengan mereka? Dari waktu hidup kita bersama
mereka, seberapa keras kita bekerja untuk menghadirkan kebahagiaan sesungguhnya
di hari-hari mereka, melukis senyum sejati di wajah mungil mereka?
Tentang anak-anak, sesungguhnya merekalah yang selalu lebih
dewasa dan bijaksana daripada kita. Merekalah yang selalu mengajari dan
membimbing kita menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Seburuk apapun
kita sebagai orangtua, mereka selalu siap kapan saja untuk menjadi anak-anak
terbaik yang pernah kita punya.
Kita selalu berhutang kepada anak-anak kita... Anak-anak yang
setiap hari menjadi korban dari betapa buruknya cara kita mengelola emosi.
Anak-anak yang terbakar residu ketidakbecusan kita saat mencoba menjadi manusia
dewasa. Anak-anak yang menanggung konsekuensi dari nasib buruk yang setiap hari
kita buat sendiri. Anak-anak yang barangkali masa depannya terkorbankan
gara-gara kita tak bisa merancang masa depan kita sendiri.
Tetapi mereka tetap tersenyum, mereka tetap memberi kita
banyak cinta, mereka selalu mencoba membuat kita bahagia.
Maka dekaplah anak-anakmu, tataplah mata mereka dengan kasih
sayang dan penyesalan, katakan kepada mereka, "Maafkan untuk hutang-hutang
yang belum terbayarkan... Maafkan jika semua hutang ini telah membuat Tuhan tak
berkenan. Maafkan karena hanya pemaafan dan kebahagiaan kalianlah yang bisa
membuat hidup ayah dan ibu lebih baik dari sebelumnya... Lebih baik dari
sebelumnya."
Fahd Pahdepie
Sydney 2015