By : Nelson Alwi
KETIKA Insan dan Ibnu berlarian pulang ke rumah dan
berkali-kali meneriakkan bahwa Si Makmur ditabrak sepeda motor, aku kaget bukan
kepalang. Namun kekagetanku mendadak diluruhkan oleh kesadaran yang pelan-pelan
melahirkan rasa sesal: tidak semua lawakan di rumah-tangga layak diketahui
anak-anak.
“Memang susah sekarang,” ujar tetanggaku yang tertimpa
musibah itu pada suatu kali, sewaktu bertandang ke rumahku. “Untung sejak tugas
di bandara aku rajin menabung. Selain dapat mengambil rumah di sudut, aku sempat
pula membeli sawah-ladang serta dua ekor kerbau di kampung. Seratus-lima-puluh
emas. Bunga uang yang kudepositokan… itulah yang meringankan bebanku kini….”
Sepeninggal sang tamu aku dan istriku tertawa-tawa mengulangi
ceritanya. Dan sejak saat itu, entah dorongan setan mana, aku sering
mengolok-olok tetanggaku itu —tentunya tanpa sepengetahuan dia— dengan
panggilan Si Makmur.
“Lekaslah Ayah ke tempat Pak Makmur,” kata Ibnu memenggal
ketermanguanku.
“Hus… jangan sebut-sebut Pak Makmur lagi. Pak Amran….”
Insan dan Ibnu tercengang.
“Kenapa Ayah jadi sewot?” protes Insan. “Pak erte sudah
menunggu Ayah di sana,” lanjutnya. Bergegas aku pun berganti pakaian, kemudian
pergi ke rumah di pojok Blok NN itu. Rumah dengan cat merah bata yang lumayan
besar, jauh lebih sehat dibanding rumah warga sekelilingnya.
Tentang ini Si
Makmur pernah berkata: “Aku suka warna yang kebali-balian, begitu. Lagi pula di
pojokan, kan, Pak Nel. Cerah. Tersendiri. Ada kelebihan tanah sekitar tiga
puluh enam meter. Berapa aku bayar dulu, ya? Kalau aku tak salah ingat 200 ribu
per meter….”
KUDAPATI Si Makmur sedang menjelepak tersandar di pilar beton
teras rumahnya sambil meringis-ringis memegangi paha kaki sebelah kanan.
Beberapa orang yang menggerombolinya, tidak diacuhkannya, termasuk aku yang
selama ini paling diakrabi dan senantiasa setia mendengarkan segala omongannya.
“Di Sub-Seksi Fiskal di bandara jelas enak, Pak Nel,”
sesumbar Si Makmur mengomentari basa-basiku menyangkut keberhasilannya.
“Berapalah gaji pegawai negeri golongan dua-de dengan masa kerja 15 tahun.
Tidak cukup untuk seminggu. Insentif tunjangan habis untuk membayar cicilan
hutang koperasi. Jadi mana mau aku dipindah-pindahkan lagi. Tapi kupikir takkan
ada yang berani mengutak-atik apalagi menggeser posisiku.
Mak Uniang, mantan
sekretaris kabupaten yang kukenalkan tempo hari… ya, pamanku yang ketemu Pak
Nel di rumah dulu, telah menduduki jabatan kepala biro kependudukan dan
pemerintahan di kantor gubernur….”
Perlahan kudekati Si Makmur. Dia melirik sejenak, lalu kembali
meringis sambil memegangi paha kanannya.
“Bagaimana?” tanyaku. “Apa mau diantar ke rumah sakit?”
“Biar nanti saja,” jawab Si Makmur. “Aku tak kuat berjalan.
Ini Si Pipo kok lama sekali pulangnya, ya,” gerutunya entah ditujukan kepada
siapa.
Ketua RT menyarankan agar Si Makmur segera dibawa masuk ke
dalam rumah. Dua orang warga berusaha mengangkat serta memapah Si Makmur yang
tetap meringis-ringis kendati sudah tidak hendak membantah lagi.
Si Makmur tertabrak saat mematut-matut rumahnya yang baru
selesai ditingkat-duakan. Pengendara sepeda motor yang kurang awas, sewaktu
membelok, langsung menghantam tungkai tubuh Si Makmur yang kian tambun.
Akhir-akhir ini, sore-sore, Si Makmur memang sering tampak
berkacak pinggang di jalanan kompleks sembari memandangi rumahnya.
“Sudahlah, Pak,” bercanda aku menyapa Si Makmur saat
berpapasan di muka rumahnya, petang dua hari yang lalu. “Sudah mantap,”
tukukku, senyum dan ikut memandangi rumahnya yang semakin rancak. Tapi senyum
dan candaku tidak digubrisnya. Dengan mimik serius dia menepi, dan sambil
bersandar di pagar besi pekarangan rumahnya dia bercerita panjang lebar tentang
proses renovasi rumah itu.
“Jadi istriku yang mendesak agar rumah ini segera
ditingkat-duakan. Kalau aku sih ingin membeli tanah yang lebih luas saja, biar
leluasa membangun di sana…,” katanya mengakhiri pembicaraan.
Masih bersemangat rupanya Si Makmur, pikirku. Padahal,
sepengetahuan orang-orang, warga kompleks perumahan di mana kami bermukim,
sudah cukup lama dia memelihara kesenangan menutup diri, dan sangat jarang
keluar rumah sepulang dari kantor. Bahkan, dengan berbagai alasan,
kegiatan-kegiatan warga di RT kami selalu dia hindari.
Semula, alasan-alasan Si Makmur tentu saja mengundang simpati
dan keprihatinan, karena sebelumnya dia termasuk salah seorang pengurus RT yang
aktif. Peranannya selaku Ketua Bidang Sosial membuat dia banyak berhubungan
sekaligus sangat dihormati warga. Namun lama-kelamaan orang-orang mulai curiga,
mengingat tingkah laku Si Makmur yang ada kalanya tidak masuk akal.
“Sekujur badan terasa lemas tak bertenaga,” kata Si Makmur
tatkala aku beserta sejumlah pengurus RT dan warga lainnya datang membesuk.
“Seakan tiada bertulang….”
“Makan bagaimana?” tanya Ramli.
“Tak bernafsu saja rasanya….”
“Tapi semakin gemuk kami lihat,” celetuk Azamril bernada
menggoda. “Kayak bos….”
“Ah, ini gemuk karena penyakit barangkali.”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Pak Amran,” nasihat Ketua
RT.
“Nanti benar-benar serius sakitnya,” tukas Azamril. Sekilas,
aku menangkap mimik keterkejutan pada air muka Si Makmur.
“Seperti Bapak-bapak lihat, dalam sepuluh hari belakangan aku
sudah tidak nyetir sendiri,” elak Si Makmur. “Syukur ada Si Pipo yang
mengantarkan….”
“Ha?! Hati-hati, Pak Amran, Si Pipo belum punya SIM, kan?”
kata Azamril.
“Itulah. Tapi dasar anak sekarang.” Si Makmur tampak bangga
membela diri. “Meski baru kelas dua es-em-pe, Si Pipo telah mahir mengendarai
mobil.”
DERU Toyota Avanza berhenti di garasi. Pipo maupun Bu Endang,
istri Si Makmur, terheran-heran menyaksikan orang-orang yang seolah-olah tengah
menantikan kehadiran mereka.
“Ada apa?”
“Pak Amran ditabrak sepeda motor.”
“Ha?!” Bu Endang tergopoh-gopoh panik memasuki rumahnya,
lantas menarik napas lega begitu menyadari suaminya cuma lecet-lecet sedikit
saja.
“Siapa yang nabrak Papa?” Pipo bertanya dengan wajah
beringas.
“Sudah. Sudah diselesaikan secara baik-baik,” Ketua RT
berkata menenangkan.
“Syukurlah,” ujar Bu Endang. “Sebab kami juga nyaris membunuh
orang tadi….”
“Ha?!” Si Makmur seperti terlambung dari sofa, namun kembali
terhenyak dan meringis-ringis memegangi paha kanannya.
“Tapi jelas bukan kami yang salah. Orang itu yang tiba-tiba
menyelonong keluar dari jalan kecil di depan Apotek Madya. Untung Si Pipo cepat
banting stir, kalau tidak mampus dia. Hanya saja…” Bu Endang jeda seketika.
“Hanya saja….”
“Hanya saja apa, ha?!” Si Makmur penasaran.
“Lampu depan mobil yang sebelah kiri pecah menyenggol becak
yang diparkir di trotoar….”
“Ah, ada-ada saja kalian. Mana Si Pipo. Pipoooo…,” teriak Si
Makmur. Si Pipo datang mendekat. Si Makmur mengomeli Pipo sambil
meringis-ringis dan memegangi paha kanannya. Si Pipo menjawab merasa tidak
bersalah. Bu Endang, istri Si Makmur, tidak tinggal diam membela Si Pipo.
Heboh! Orang-orang yang semula ingin memperlihatkan hati yang suci dan muka
yang jernih kepada keluarga yang naas itu, secara diam-diam, ngeloyor pergi
satu demi satu.
Aku sungguh jadi serba salah. Karena itu kuturuti saja
langkah Ketua RT menuju gerbang pagar rumah Si Makmur. Beberapa warga yang
bermaksud menengok keadaan Si Makmur tertegun dan berhenti di sana. Ketua RT
cuma menggeleng-gelengkan kepala menanggapi pertanyaan maupun tatapan ingin
tahu mereka. Dan, aku mungkin menyengir geli, terlebih mengenangkan cerita
istriku tentang ciloteh Bu Endang.
“Yang penting keberanian, Buk Har,” kata Bu Endang pada malam
menjelang Si Makmur membeli mobil. “Sebetulnya Buk Har bisa pula memperoleh apa
yang dimaui. Buk Har juga kerja, kan?! Jadi gampang. Gadaikan salah satu es-ka
di bank….”
Orang-orang yang masih berdiri di gerbang rumah Si Makmur
dikagetkan oleh suara benda pecah-belah terbanting ke tembok. Bu Endang, istri
Si Makmur, terdengar terpekik. Si Pipo berlari ke garasi dan menendang pintu
mobil lalu ngacir ke warung di mana teman-temannya sesama begadang berkumpul.
Aku bertukar pandang dengan Ketua RT, kemudian, seperti telah
berunding, sepakat untuk pulang ke rumah masing-masing, diikuti oleh beberapa
warga yang belum lagi sempat menemui keluarga Si Makmur