Aku adalah seorang mahasiswa Indonesia yang bersekolah di
Universitas California. Beberapa waktu lalu, aku pernah menulis surat yang
berisi cerita cerita terima kasih kepada orang tua ku, dan ketika aku
memutuskan untuk memperlihatkannya pada dunia, ternyata cerita inspirasi
tersebut mendapatkan tanggapan yang luar biasa dari orang-orang di Eropa,
India, Singapura, Amerika, dan Indonesia. Aku sangat bersyukur dan berterima
kasih atas semua respon yang aku dapat atas surat tersebut.
Setelah penantian yang panjang dan mendebarkan, akhirnya
kelulusan itu pun diumumkan. Aku diterima di Haas School of Business,
University of California Berkeley. Hal ini sebuah pencapaian dan kebanggaan
yang luar biasa bagiku dan juga kedua orang tuaku, pencapaian ini adalah hasil
kerja keras yang telah aku lakukan selama 2 tahun terakhir ini.
5 tahun yang lalu, tidak seorang pun, bahkan tidak juga orang
tuaku, guru-guru dan teman-temanku yang berpikir bahwa aku dapat masuk ke dalam
salah satu dari 10 sekolah bisnis terbaik di Amerika, apalagi Berkeley Haas
School of Business. Saat ini, sekolah ini menduduki peringkat ke-2 di Amerika
berdasarkan Best Colleges Specialty Rankings: Best Undergraduate Business
Programs.
5 Tahun lalu, “Nilai A” hanyalah sebuah mimpi bagi anak
sekolah biasa seperti aku. Sebagian besar nilai-nilaiku di sekolah adalah C,
diikuti dengan B kecil, dan D. Cara
belajar ku sangat kacau. Di sekolah menengah, aku hanya menempati peringkat 186
dari 198 siswa. Yang berarti aku masuk 10% peringkat terbawah dari seluruh
sekolah.
Beruntungnya, aku punya orang tua yang mampu menginspirasi
dan mengubahku. Aku masih dapat mengingat dengan jelas kejadian di malam itu.
Waktu itu, aku pulang ke Indonesia dan berada di kamar orang tuaku. Kedua orang
tuaku duduk di tepi tempat tidur dan aku duduk di lantai.
Mereka benar-benar
terlihat kecewa. Malam itu, mereka mulai membuatku berpikir mengenai apa yang
aku inginkan bagi masa depanku. Mereka tidak memarahiku, tidak berteriak
kepadaku, dan juga tidak memukulku. Mereka hanya memperlihatkan kekecewaan atas
buruknya prestasiku di sekolah.
Bagi orang tuaku, pendidikan sangatlah penting demi masa
depan. Sebagai orang tua, mereka telah terus-menerus memperingatkan aku untuk
belajar. Tetapi, jarak telah memisahkan kami –
aku tinggal di Singapura bersama kakak-kakakku, sedangkan orang tuaku
tinggal di Indonesia untuk menjalankan bisnisnya. Hal ini tentu saja membuat
kedua orang tuaku kesulitan untuk mengawasi kami.
Dengan komunikasi yang hanya melalui telepon dan sms, tentu
sulit bagi kedua orang tuaku untuk mengetahui apakah aku “benar-benar belajar”
jika aku berkata sedang “belajar”. Sulit bagi mereka untuk mengetahui bahwa
“benar-benar tidak ada ujian” jika aku bilang “tidak ada ujian”, dan apakah aku
benar-benar “tidak sedang main game” jika aku bersikeras berkata tidak sedang
bermain game komputer. Mereka benar-benar tidak tahu cara belajar yang aku
terapkan.
Aku kembali ke kamarku dan mulai membayangkan hidup seperti
apa yang telah aku jalani. Lalu aku teringat Jerry, kakak tertuaku yang sekitar
20 tahun lalu menderita kanker. Ia masih sangat kecil waktu itu, usianya baru 2 tahun. Sayangnya, saat itu
kedua orang tuaku tidak berkecukupan.
Maka demi kelangsungan hidup kakakku,
kedua orangtuaku menjual rumah, mobil dan segala yang mereka miliki untuk biaya
berobat Jerry. Bahkan, setelah mengusahakan segala upaya dan telah kehilangan
banyak harta benda, orang tuaku pun masih harus menghadapi kenyataan hilangnya
anak pertama mereka.
Tetapi hal itu tidak pernah membuat kedua orang tuaku
menyerah. Mereka memang pernah mengalami masa-masa hancur dan sedih. Dan, yang
menakjubkan adalah mereka mampu kembali percaya diri, tekun, dan optimis memulai hidup baru.
Ayahku adalah seorang lulusan MBA dan ibuku bergelar sarjana.
Tetapi mereka pernah menjadi pengangguran dan miskin. Mereka harus mau berjalan
jauh untuk menjual teh botol dan makanan kecil di pasar demi memenuhi kebutuhan
hidup. Tidak lama kemudian, mereka mulai membuka warung makan dan tetap yakin
bahwa mereka akan mendapatkan masa depan yang lebih cerah.
Kini, setelah bertahun-tahun, akhirnya mereka memiliki bisnis
yang sukses dan mampu mengirim ketiga anak mereka ke Amerika untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih baik. Jika saja saat itu orang tuaku mengakui kekalahan
mereka dan menyerah, tentunya saat ini aku tidak akan mempunyai kesempatan
untuk kuliah, atau tinggal dibawah atap rumah yang terbuat dari batu bata, atau
memiliki sebuah mobil untuk dikendarai.
Jika saja orang tuaku menyerah, aku pasti akan tinggal di
jalan dan mencari-cari cara untuk tetap bertahan hidup seperti pemandangan khas
yang sering ditemui di jalanan kota-kota besar di Indonesia. Pada saat kakakku
Jerry meninggal, mereka hampir tidak memiliki apapun, tidak ada uang, mobil,
ataupun rumah. Tidak satu pun! Kecuali
semangat dan dorongan untuk berubah.
Ayah… ibu… jika bukan karena kalian berdua yang mengubah
hidup anakmu, mungkin aku tidak akan pernah mempunyai kesempatan hidup
berkecukupan. Sekarang, aku tidak perlu lagi berpikir tentang makanan, bahkan
orang tuaku memberikan sebuah mobil dan menyediakan pendidikan terbaik untukku.
Inilah yang menjadi alasan mengapa sekitar 3 tahun setelah
aku berada di peringkat 10% terbawah di sekolah menengah, aku datang ke
perguruan tinggi di Amerika dengan prinsip bahwa tidak ada hal yang mustahil.
Memang,“tidak ada hal yang mustahil” adalah kata-lata yang usang, namun jika
mengingat cerita orang tuaku yang berhasil bangkit setelah keterpurukan, maka
kata-kata itu bisa dipercaya. Aku mulai mengubah diri dan mempunyai satu tujuan
agar dapat diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia untuk
menunjukkan rasa terima kasihku kepada orang tua.
Aku sama sekali tidak gentar walau hanya 6,8% dari pendaftar
yang akan diterima menjadi anak sekolah di Haas School of Business, dan
keinginan yang luar biasa untuk sukses menjadi salah satu faktor yang membuatku
menjadi satu dari tujuh orang yang diterima untuk setiap 100 orang pendaftar.
Dan sekarang aku ingin mendedikasikan pengakuanku ini kepada
orang tuaku. Orang tua yang paling hebat yang telah mengubah hidupku. Aku tidak
tahu akan menjadi apa jika tanpa mereka berdua. Terima kasih Ayah. Terima kasih
Ibu. Aku berhutang sangat banyak kepada kalian dan aku tidak dapat membayangkan
apakah aku mampu untuk membalasnya.
Kepada para sahabat yang sedang membaca CeritaInspirasi.net ,
ingatlah bahwa keadaan yang kita miliki sekarang tidaklah mencerminkan apa yang
akan terjadi di masa depan. Seperti yang terjadi pada diriku. Aku mampu menjadi
salah satu yang terbaik walaupun aku pernah berada di peringkat terbawah.
Aku
yakin, semua itu membutuhkan dorongan dan ketekunan, sama seperti seorang yatim
piatu yang kukenal – yang berhasil menduduki peringkat 5% teratas dari
kelasnya, padahal ia tidak memiliki meja atau kursi, atau bahkan kebutuhan
sekolah yang memadai. Ia hanya memiliki semangat yang membara untuk mengubah
masa depannya.
Berjanjilah kepada diri sendiri untuk mendapatkan masa depan
yang lebih cerah!