Banyak pasangan, terutama perempuan, yang tidak siap dengan kehadiran seorang anak, lalu mereka pun memasang alat kontrasepsi (KB). Ada pula karena alasan kesehatan dan sebagainya. Lalu, bagaimana Islam sendiri memandang soal KB ini?
MUSLIMAH- Menurut pendapat mayoritas para ulama, hukum memasang alat kontrasepsi adalah boleh-boleh saja selama masih sejalan dengan cara-cara Islam. Misalnya, untuk menjaga jarak kelahiran antara satu anak dengan anak berikutnya. Sebab, jarak kelahiran yang terlalu dekat memang kurang baik untuk kesehatan anak, ibu, dan janin. Mengapa?
Pertama, anak akan kekurangan suplai ASI. Ketika seorang ibu hamil kembali dan ada anak yang masih berada dalam masa penyusuannya, maka produksi ASI yang dihasilkannya akan berkurang. Menurut dokter, sekurang-kurang 6 bulan jika Anda ingin hamil kembali setelah Anda melahirkan.
Kedua, kondisi ibu belum pulih benar. Setelah hamil selama lebih dari 9 bulan, kemudian melahirkan, maka seorang ibu membutuhkan waktu untuk membuat tubuhnya kembali fit. Apalagi jika masih ada bayi yang membutuhkan perhatian ekstra seorang ibu. Memang, inilah perjuangan seorang ibu. Tapi, pastikan juga Anda tetap menjaga kesehatan Anda dan keluarga Anda.
Ketiga, janin yang dikandung memiliki resiko lebih besar dan lebih tinggi untuk lahir prematur, bayi meninggal, dan bayi cacat lahir. Karena itu, tunggulah sampai setahun dua tahun untuk kembali hamil.
Alasan lain diperbolehkannya KB adalah karena pertimbangan kesejahteraan penduduk yang diidam-idamkan oleh bangsa dan negara. Sebab kalau pemerintah tidak melaksanakannya maka keadaan rakyat di masa datang, diprediksi akan menderita. Inilah yang dalam nalar fiqih Islam disebut dengan ‘Sadd al-Dzarî’ah’ (upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif).
Oleh karena itu, pemerintah menempuh suatu cara untuk mengatasi ledakan penduduk yang tidak seimbang dengan pertumbuhan perekonomian nasional dengan menyelenggarakan program KB, untuk mencapai kemaslahatan seluruh rakyat. Upaya pemerintah tersebut, sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijaksanaan imam (pemerintahan) terhadap rakyatnya bisa dihubungkan dengan (tindakan) kemaslahatan.”
Yang diperbolehkan untuk pemasangan alat kontrasepsi bagi wanita adalah IUD (ADR), pil, obat suntik, susuk, cara-cara tradisional dan metode yang sederhana, seperti minum jamu.
Sedangkan bagi pria biasanya mengenakan kondom ketika berhubungan intim. Ini juga bagian dari cara untuk mencegah terjadinya kehamilan pada sang istri. Dan soal kondom ini dibolehkan dalam Islam, merujuk pada hadits Nabi tentang ‘azl (mengeluarkan sperma di luar) ketika berhubungan intim. Nabi Saw. bersabda,“Kami pernah melakukan ‘azal (coitus interruptus) di masa Rasulullah s.a.w., sedangkan al-Quran (ketika itu) masih (selalu) turun.” (H.R. Bukhari-Muslim dari Jabir).
Pada hadis lain,“Kami pernah melakukan ‘azl (yang ketika itu) nabi mengetahuinya, tetapi ia tidak pernah melarang kami.” (H.R. Muslim, yang bersumber dari ‘Jabir juga).
Alat kontrasepsi yang dilarang dalam Islam adalah bila wanita melakukan Menstrual Regulation (MR atau pengguguran kandungan yang masih muda); Abortus atau pengguguran kandungan yang sudah bernyawa; Ligasi Tuba (mengikat saluran kantong ovum) dan tubektomi (mengangkat tempat ovum). Kedua istilah ini disebut sterilisasi.
Sedangkan larangan untuk pria adalah vasektomi (mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar).
Demikian tentang hukum pemasangan alat kontrasepsi. Kesimpulannya: memasang KB atau alat kontrasepsi itu boleh hukumnya selama adanya beberapa alasan yang dibolehkan dalam syariat, seperti untuk menjaga kesehatan ibu dan anak serta untuk menjamin kesejahteraan rakyat.