Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat Muslim ia menerangkan dua dunia, langit dan bumi. Ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah pemecahan masalah Yang Esa dan yang banyak dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap.
Al-Farabi berpendapat bahwa Yang Esa, yaitu Tuhan, Yang Ada Dengan Sendiri-Nya karena itu. Ia tidak memerlukan yang lain bagi ada-Nya atau keperluan-Nya. Ia mampu mengetahyuu Diri-Nya sendiri. Ia mengerti dan dapat dimengerti. Ia sangat unik karena sifatnya memang demikian. Tak ada yang sama dengan-Nya. Ia tidak memiliki perlawanan atau persamaan.
Bila prinsip-prinsip di atas bisa diterima, lantas apakah pengaruh Tuhan terhadap alam semesta ini, dan bagaimana hubuingan antara Dia dan yang banyak? Al-Farabi telah berupaya keras menyelesaikan masalah-masalah ini dengan semacam pemancaran. Ia berpendapat bahwa dari Yang Esalah memancar yang lain., berkat kebaikan dan pengetahuan sendiri-Nya. Pemancaran ini merupakan kecerdasan pertama. Dengan demikian pengetahuan sama dengan ciptaan, karena cukuplah melukiskan sesuatu untuk mengadakannya.
Kecerdasan (Intelegensi) pertama mungkin dengan sendirinya, perlu oleh yang lain, dan ia memikirkan Yang Esa dan dirinya. Ia adalah satu dalam dirinya, dan banyak berkat pertimbangan-pertimbangan ini. Dari sinilah al-Farabi memulai langkah pertama ke arah pelipatan. Dari pemikiran oleh intelegensi pertama Yang Esa, lahirlah intelegensi lain. Karena pemikirannya tentang dirinya sendiri bisa terjadi pada dirinya memancarkan materi dan bentuk “langit pertama”, sebab setiap lingkungan (sphere) mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya.
Beginilah rantai pemancaran berlangsung hingga melengkapi sepuluh intelegensi sembilan lingkungan dan sembilan ruh mereka. Intelegensi kesepuluh dan terakhir, atau intelegensi agen, adalah yang mengatur dunia fana ini. Dan dari intelegensi inilah mengalir ruh-ruh manusia dan empat unsur.
Intelegensi-intelegensi dan ruh-ruh ini merupakan susunan hirarkis Intelegensi pertama dalam hirarki yaitu yang paling tinggi, kemudian ruh-ruh lingkungan itu sendiri. Susunan terakhir yaitu bumi dan dunia materi yang berada pada urutan keempat. Orang Yunani kuno berpendapat bahwa segala yang bercorak langit adalah suci, dan segala yang bercotak bumi adalah tidak suci.
Ajaran Islam menerangkan bahwa langit merupakan kiblat shalat, sumber wahyu dan tujuan akhir mi’raj. Segala yang dilangit adalah suci dan tersucikan. Di sini al-Farabi, menyesuaikan ajaran agama dan filsafat, tetapi kesulitan utama terletak pada penekanannya bahwa ketidak sucian bumi timbul dari langit yang suci itu.
Jumlah intelegensi adalah sepuluh, terdiri atas intelegensi pertama dan sembilan intelegensi planet dan lingkungan, karena al-Farabi mempergunakan teori-teori yang sama digunakan oleh ahli-ahli astronomi Yunani, terutama Ptolomeus yang berpendapat bahwa kosmos terdiri atas sembilan lingkungan yang kesemuanya bergerak mengelilingi bumi secara tetap. Setiap lingkungan mempunyai intelegensi dan ruh.
Intelegensi dan ruh merupakan asal gerak. Intelegensi kesepuluh mengatur hal-hal yang berkaitan dengan bumi. Ruh adalah penggerak lingkungan, tetapi ia memperoleh kekuatan dari intelegensi. Ia bergerak sesuai dengan kehendak intlegensi. dan menuju kesempurnaan dengan menggerakkan lingkungannya. Karena itu, hasratnya merupakan sumber geraknya. Sedang intelegensi dalam perputarannya merupakan hasrat abadi. Yang rendah menghasratkan Yang Tertinggi, dan segalanya menghasratkan Yang Satu, yaitu penggerak Pertama (Prime Mover) meskipun ia tak tergerakkan.
Gerak lingkungan disebabkan oleh semacam tarikan spiritual: lingkungan yang lemah selalu ditarik oleh linbgkungan yang lebih kuat, proses ini merupakan proses dinamis spiritual yang serupa dengan proses Leibniz, meskipun ia bergantung kepada kekuatan spiritual yang tidak sama. Tampaknya al-Farabi sebagai pemusik berupaya memasukkan sistem keselarasan musikal ke dalam dunia lingkungan.
Tetapi, kesimpulan-kesimpulan al-Farabi, tentang fisika berhubungan erat dengan teori-teori astronomi. Dari intelegensi kesepuluh, lahirlah materi-materi utama atau hyle, yang merupakan asal dari empat unsur, dan dari intelegensi itu pula lahirlah bentuk-bentuk berlainan yang menyatu dengan hyle untuk membentuk wadah.
Dunia bumi hanyalah serangkaian aneka bentuk berlainan yang menyatu dengan materi atau terpisah darinya. Pertumbuhan merupakan hasil pemisahan mereka. Gerak matahari menghasilkan panas dan dingin yang perlu bagi perubahan. Semua intelegensi yang terpisah menghasilkan gerak yang bermanfaat bagi dunia bumi. Di sini fisika berbaur dengan kosmologi dan dunia bumi diatur oleh dunia langit.
Betapapun al-Farabi menolak apa yang disebut astrologi yang berkembang luas pada masanya, dan dikembangkan oleh para filosof Stoic dan sarjana-sarjana Alexandria pada masa-masa sebelumnya.
Al-Farabi tidak menolak hukum sebab akibat dan hubungan antara sebab dan akibat. Karena sebab mungkin terjadi secara langsung atau tidak langsung dan bila menemukan hal pertama merupakan perkara yang mudah, maka untuk hal terakhir lebih sulit. Karena itu, kejadian-kejadian terjadi atau kebetulan, dan tak ada jalan untuk mengendalikan kebetulan.
Bagaimanakah seorang ahli astrologi mengaitkan kematian seorang amir dengan gerhana matahari? Bagaimana pun, kepercayaan kepada kejadian kebetulan itu hakiki dalam politik agama, karena hal itu memberikan rasa takut, harapan serta pendorong untuk patuh dan berupaya.
Al-Farabi melalui ajaran sepuluh intelegensi ini, memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori itu pula ketika memecahkan masalah. Yang Esa yang banyak, dan dalam memadukan teori materi, Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan.
Materi itu tua, setua sepuluh intelegensi, tetpi ia tercipta karena ia memancar dari intelegensi agen. Untuk mengukuhkan keesaan Tuhan, al-Farabi memilih menengahi sepuluh intelegensi ini antara Tuhan dan dunia Bumi.
Beberpa unsur Teori Sepuluh Intelegsi dapat dilacak pada sumber asal mereka yang berbeda-beda. Aspek astronominya identik sekali dengan penafsiran Aristoteles tentang gerak lingkungan. Teori Pemancaran diperoleh dari Plotinus dan aliran Alexandria.
Tetapi secara keseluruhan, hal itu merupakan stu teori al-Farabi, yang ditulis dan diformulasikan untuk menunjukkan kesatuan kebenaran dan metodenya tentang pengelompokan dan sintetis. Ia memadukan Plato, Aristoteles, Agama dan Filsafat. Teori ini berhasil baik di kalangan filosof Timur dan Barat abad pertengahan.
Tetapi usaha pemaduan seperti itu memaksa beberapa konsesi dari satu pihak atau beberapa pihak dan apabila hal ini menyenangkan beberapa orang, maka terdapat pula orang-orang lain yang menyesalkannya. Kemudian teori ini dipegang kuat oleh ibn Sina yang merangkumkannya dan memaparkannya, sedangkan al-Ghazali menolak keras.
Di antara sarjana-sarjana Yahudi, ibn Gabriol sedikit pun tak mengacuhkannya, sedang Maimonides secara antusias berpegang padanya. Meski sarjana-sarjana Kristen keberatan terhadap teori ini, namun teori ini membuat mereka hormat dan menghargainya.