Teori psikologi Aristoteles telah lama terkenal sederhana dan tepat; dan sebagai suatu studi obyektif, ia tidak kurang diperhatikan.
Pengelompokan Aristoteles akan unsur-unsur jiwa adalah yang pertama dalam hal ini. Ia menekankah kesatuan meski terdapat kejamakan unsur jiwa dan menjelaskan pertaliannya dengan tubuh. Ia telah mengupayakan teori tentang Akal, meski tak memadai, sehingga menimbulkan masalah yang membingungkan yang modern dan yang kuno. Tetapi tulisannya “Perihal Jiwa”, merupakan karya terbaik di antara karya-karya kuno psikologi, bahkan melebihi beberapa karya modern. Pada abad-abad pertengahan, ia merupakan karya seopupler Organon.
Buku ini diperkenalkan kepada orang Arab melalui terjemahan bahasa Syria dan bahasa Yunani, berikut komentar-komentar kuno, terutama komentar-komentar Aleksander dari Pahridisias, Themistius, Simplicius. Ia merupakan subyek studi ekstensif filosof Muslim yang memberikan komentar dan uraian tentangnya. Terpengaruh oleh Aristoteles dan karyanya, para filosof ini ,menulis berbagai dalil dan uraian tentang psikologi. Mereka terutama memusatkan pada masalah akal yang merupakan salah satu di antara masalah-masalah yang dipelajari oleh para filosof skolastik.
Al-Farabi menyadari sepenuhnya arti masalah ini, dan melihat di dalamnya suatu ringkasan dari sepuluh Teori Ilmu Pengetahuan. Ia dengan baik mengindentifikasikannya dengan filsafatnya sendiri, karena berkaitan dengan Teori Sepuluh Intelegensi dan juga merupakan pondasi Teori Kenabian. Ia telah membahas masalah akal di beberapa tempat dalam karya-karyanya, dan ia telah mengupayakan suatu karya yang menyeluruh. “Perihal Aneka Makna Akal”. Karya ini tersebar luas di kalangan para sarjana Timur dan Barat Abad-Abad Pertengahan, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Al-Farabi mengelompokkan akal menjadi akal praktis yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan; dan teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini dibagi lagi menjadi : yang fisik (material), yang terbiasa (habitual), dan yang diperoleh (acquired).
Akt al-Farabi sebaal fisik, atau sebagaimana sering disebut sebagai akal potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan mencerap esensi kemaujudan. Bila dibandingkan, maka ia hampir seperti materi yang atasnya bentuk-bentuk kemaujudan dapat dilukiskan tepat sebagaimana lilin yang atasnya dapat diukirkan tulisan. Maka pemahaman mewujud dalam bentuk daya dalam hal-hal yang dapat dirasa dan bila pemahaman dibawa ke dalam bentuk, maka akal ditransformasikan dari akal dalam bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi.
Karena itu, akal dalam bentuk aksi, atau kadang disebut akal terbiasa, adalah salah satu tingkat dari tingkat-tingkat pikiran dalam upaya memperoleh sejumlah pemahaman. Karena pikiran tak mampu menangkap semua pengertian, maka akal dalam bentuk aksilah yang memebuat ia mencerap, dan akal dalam bentuk daya mengenai apa yang belum ia serap.
Sedang pemahaman itu sendiri berbentuk daya dalam yang dapat di rasa. Bagitu manusia memperoleh tingkat akal dalam bentuk aksi ini, maka ia dapat memahami dirinya. Pencerapan semacam ini tidak mempunyai kaitan dengan dunia luar, ini adalah pencerapan mental dan abstrak.
Begitu akal mampu mencerap abstraksi, maka ia bnaik lagi ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke tingkat akal yang diperoleh (acuired intellect), yaitu suatu tingkat di mana akal manusia mengabstraksi bentuk-bentuk yang tidak mempunyai hubungan dengan amteri.
Perbedaan antara konsep rasional ini dan persepsi indrawi, yaitu bahwa yang pertama adalah semacam intuisi dan inspirasi, atau dengan kata lain, ia adalah semacam pencerapan langsung. Ini adalah tingkat pencerapan tertinggi manusia, dan ini hanya dapat dicapai oleh beberapa orang tertentu saja, yaitu mereka yang telah mencapai tingkat akal yang diperoleh, yang di dalamnya yang tersembunyi menjadi tersingkap dan langsung berhubungan dengan dunia intelegensi yang terpisah.
Dengan demikian, akal mampu meningkat secara bertahap dari akal dalam bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi dan akhirnya ke akal yang diperoleh. Dua tingkat berurutan ini berbeda satu sama lain meskipun tingkat yang lebih rendah selalu bertindak sebagai pendahulu bagi tingkat yang lebih tinggi. Akal dalam bentuk daya hanyalah penerima bentuk-bentuk yang dapat di rasa, sedang akal dalam bentuk aksi mempertahankan pengertian-pengertian cerapan-cerapan. Dan akal yang diperoleh naik ke tingkat komuni ekstase dan inspirasi.
Konsepsi-konspesi mempunyai tingkatan yang berbeda mula-mula mereka merupakan pemahaman-pemahaman dalam benetuk daya yang maujud dalam materi, begitu tarabstrasi dari materi, maka mereka menjadi pemahaman-pemahaman dalam bentuk aksi. Yang lebih tinggi lagi ialah bentuk-bentuk abstraksi yang tidak pernah ada dala materi.
Tetapi peningkatan bertahap ini tidak terjadi secara spontan, sebab tahap pertama adalah yang dapat dimengerti akal dalam bentuk daya dan peralihannya dari daya menjadi aktual tidak pernah dapat terjadi kecuali dipengaruhi oleh aktualitas pendahulu yang tindakannya sesuai dengannya. Aktualitas ini adala intelegensi agen yang terakhir dari sepuluh intelegensi.
Pengetahuan manusia bergantung kepada radiasi intelegensi-intelegensi yang terpisah, dan intelegensi agen mempunyai hubungan dengan akal manusia sebagaimana hubungan matahari dengan mata kita, untuk dapat melihat, mata kita bergantung kepada sinar matahari, begitu pula akal kita, ia dapat mencerap hanya bila ia tersibakkan oleh intelegensi agen yang menerangi jalannya. Karena itu, mistisme berlebur dengan filsafat, dan pengetahuan rasional terjadi bersamaan dengan ekstase dan inspirasi.
Teori al-Farabi tentang akal sebagaimana disebutkan di atas secara jelas didasarkan pada Aristoteles. Al-Farabi sendiri secara tegas menyatakan bahwa teorinya itu bertumpu pada bagian ketika dari De Anima-nya Aristoteles, tetapi ia sendiri mempunyai andil dalam teori ini.
Konsepsinya tentang akal yang diperoleh (acquired intelect) berbeda dari Aristoteles, karena teori itu hampir tercirikan dengan intelegansi-intelegensi yang terpisah, dan bertindak sebagai penghubung antara pengetahuan manusia dan wajyu. Dengan demikian, berbeda dari teori Aleksander dari Aphrodisias dan al-Kindi dan itu adalah hasil dari kencenderungan mistis al-Farabi dan penyandarannya pada sistem Plotinus.
Fakta ini menjadi lebih jelas jika kita perhatikan pengaruh intelegensi agen dalam meraih pengetahuan, karena itu adalah haisl dari visi dan inspirasi itu juga memberi akal bentuk-bentuk abstrak dan mencerahkan jalan untuk itu. Teori ini membantu meleburkan psikologi dengan kosmologi, tetapi ia mengecilkan aktivitas akal manusia, karena ia menjadi mampu mencerap hanya bila dicerahkan oleh langit tetapi, apakah kaum Sufi memperhatikan ketaksempurnaan akal manusia?
Penerimaan secara umum atas teori ini pada Abad-abad Pertengahan tampak jelas dari kenyataan bahwa ibn Sina tidak saja memakai teori ini, tetapi juga menguatkan dan memperjelasnya dan ibn Rusyd, meski berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Aristoteles, tetapi ia juga berada di bawah pengaruh teori itu.
Di antara orang-oran Yahudi, Maimonid-lah yang mengambil teori ini hampir secara harfiah. Dengan orang-orang kristen, teori ini berada di puncak masalah-masalah filsafat, karena ia menyangkut teori tentang pengetahuan dan berkaitan erat dengan doktrin kekekalan ruh.
Teori ini juga menyebabkan terjadinya berbagai macam aliran, beberapa di antaranya menerima dan beberapa yang lain menolaknya. Ringkasnya, Teori al-Farabi tentang akal adalah yang paling berarti di antara semua teori yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Muslim, dan telah memberikan pengaruh yang besar pada filsafat Kristen.