Dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang yang dianugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan, dan diberi kemampaun untuk menyatakan kehendak-Nya. Islam, sebagaimana agama-agama langit lainnya, mempunyai Tuhan sebagai penguasanya.
Al-Quran mengatakan:
“Ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan --- Tuhan Yang Mahakuasa telah mengajarnya.”
(QS. 53 – 4-5).
Adalah sangat perlu bagi filosof-filosof Muslim memberikan penghormatan kepada kenabian, merujukkan rasionalis dengan tradisionalisme, dan mewarnai bahasa-bahasa bumi dengan fiman Tuhan. Hal ini telah diupayakan oleh al-Farabi.
Teorinya tentang kenabian dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan agama dengan filsafat. Bahkan dapat juga dianggap sebagai bagian terutama dari sistem yang telah disusunnya, dengan landasan psikologi dan metafisika dan hal itu berkaitan erat dengan ilmu politik dan etika.
Terpengaruh oleh lingkungan politik dan sosialnya, al-Farabi menekankan studi teoritis tentang kemasyarakatan dan kebutuhannya. Ia telah menulis beberapa risalah tentang politik, yang paling terkenal di antaranya adalah “Kota Model”. Ia menggambarkan kiotanya sebagai suatu keseluruhan dari bagian-bagian yang terpadu, serupa dengan organisasi tubuh; bila ada bagian yang sakit, maka yang lainnya akan bereaksi dan mengjaganya. Kepada masing-masing individu diberikan tugas dan pekerjaan yangn sesuai dengan kemampuan dan kecakapan mereka.
Aktivitas-aktivitas sosal masing-masing bereda sesuai tujuan masing-masingl aktivitas yang paling baik adalah aktivitas yang diberikan kepada pemimpin, karena ia berada di dalam kota sebagaimana jantung di dalam tubuh manusia dan ia merupakan sumber seluruh aktivitas, pangkal keselarasan dan keteraturan. Karena itu, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu bagi penempatannya. Pemimpin harus berani, cerdas, pecinta pengetahuan, pendukung keadilan, dan ia harus naik ke tingkat intelegensi agen agar ia memperoleh wahyu dan inspirasi.
Sifat-sifat ini mengingatkan kita kepada raja filosof dalam Republik-nya Plato, tetapi al-Farabi menambahkan kepadanya kemampuan berhubungan dengan dunia langit, seolah kota dihuni oleh para wali dan diatur oleh seorang nabi. Berhubungan dengan intelegensi agen dimungkinkan melalui dua cara perenungan dan inspirasi.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, ruh akan naik, melalui studi dan pencarian, ke tingkat akal yang diperoleh (acquiered intellect) ketika ia menjadi menerima cahaya ketuhanan. Tingkat ini bisa dicapai hanya dengan semangat suci para filosof dan para bijak, yaitu mereka yang dapat melihat kegiatan dan menangkap “cahaya dunia”.
Ruh suci, tak memperhatikan apa yang ada di bawah dan indera luarnya tidak pernah mengatasi indera dalamnya. Dan pengaruhnya melampaui wujud sendiri dengan mempengaruhi wujud-wujud lain dan segala yang terdapat di dunia ini. Ia menerima pengetahuan langsung dari Ruh Tinggi dan para malaikat tanpa perintah manusia pun. Maka, melalui studi-studi spekulatif yang berkesinambungan, orang bijak dapat berhubungan dengan intelegansi agen.
Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi.
Imajinasi menempati kedudukan yang penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecenderungan-kecenderungan dan perasaan-perasaan, dan terlihat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakkan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan yang merupakan sumber mimpi dan visi.
Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar di kala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaan di antara keduanya relatif, perbedaannya hanya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian.
Bila imajinasi telah terlepas dari aktivitas-aktivitas yang dasar seperti dalam tidur, maka ia sepenuhnya ditempati oleh beberapa gejala psikologis. Dengan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan badani tertentu,a tau oleh emosi-emosi dan konsepsi-konsepsi tertentu, ia menciptakan gambaran atau komposisi-komposisi baru, dan dari gambaran-gambaran mental yang tepertahankan, ia menciptakan bentuk-bentuk baru mereka.
Karena itu, kita bermimpi tentang air atau berenang ketika temperamen kita lembab, dan mempi sering demikian mewakili pemenuhan atas suatu hasrat atau penghindaran dari rasa takut, sehingga seseorang yang sedang tidur bergerak di tempat tidurnya dalam rangka menanggapi emosi tertentu, atau meninggalkan tempat tidurnya dan memukul orang yang asing baginya, atau mengejarnya. Tidaklah perlu menunjukkan bahwa pandangan-pandangan ini, meski sederhana, sama dengan gagasan-gagasan para ahli psikologi modern seperti Freud, Horny dan Murray.
Di dalam daya imajinasilah tercipta gambaran-gambaran mental yang sesuai dengan pola dunia spiritual. Karena itu, orang yang sedang tidur bisa menyaksikan surga dan para penghuninya dan bisa merasakan kenikmatan dan kesenangannya. Imajinasi bisa juga naik ke dunia langit dan berhubungan dengan intelegensi agens sehingga ia bisa menerima keputusan langit tentang masalah-masalah dan kejadian-kejadian tertentu.
Melalui hubungan ini, yang bisa terjadi siang atau pun malam hari, kenabian dapat diterangkan karena ia merupakan sumber mimpi yang benar dan wahyu.
Menurut al-Farabi:
“bila daya imajinasi begitu kuat dan sempurna pada diri seseorang dan sepenuhnya teratasi oleh perasaan-perasaan luar ..... maka ia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, yang darinya tercerminlah gambaran-gambaran tentang yang paling indah dan sempurna. Siapapun melihat gambaran-gambaran tersebut, ia akan menyaksikan keagungan Tuhan ....... begitu daya imajinasi manusia benar-benar sempurna – di kala jaga --- mungkin ia bisa menerima pra-visi, tentang apa yang sedang dan akan terjadi dari intelegensi agen .... dan dengan demikian, melalui apa yang telah diterimamnya itu, ia bisa meramalkan masalah-masalah ketuhanan. Ini adalah tingkat tertinggi yang bisa dicapai oleh imajinasi dan manusia dapat mencapainya melalui daya ini.
Jadi, sifat utama seorang nabi ialah memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang melaluinya ia dapat berhubungan langsung dengan intelegensi agen di kala tidur atau jaga, dan dapat mencapai visi dan inspirasi. Adapun wahyu hanyalah suatu pemancaran (emanasi) dari Tuhan melalui intelegensi agen.
Beberapa orang, meskipun lebih rendah daripada nabi, memiliki daya imajinasi yang kuat, yang melaluinya ia bisa menerima visi dan inspirasi yang tingkatannya juga lebih rendah. Dengan cara ini al-Farabi menempatkan para wali di bawah para nabi. Imajinasi massa sangta lemah, sehingga tidak memungkinkan berhubungann dengan intelegensi agen, baik pada waktu malam maupun siang hari.
Usaha al-Farabi untuk melakukan perujukan bukanlah satu-satunya motivasi di balik teori ini. Pada abad ke-3 dan 4 H/ ke-9 dan 10 M terjadi gelombang besar skeptikisme yang menolak peramalan dan kenabian. Para juru bicara mereka mengetakan menyatakan beberapa alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang tidak percaya kepada kenabian. Yang berada di puncak skeptikisme itu ialah ibn al-Rawandi yang pernah menjadi pengikut Mu’tazillah, tetapi kemudian menolak ajaran mereka, dan Muhammad bin Zakaria al Razi yang dokter itu, adalah lawan yang tangguh.
Al-Razi terutama menolak setiap upaya merujukan agama dan filsafat, dengan anggapan bahwa filsafat adalah satu-satunya jalan untuk memperbarui pribadi dan masyarakat, sedangkan agama adalah sumber konflik dan perselisihan. Serangan ini membuat seluruh pusat-pusat keislaman mempertahankan dogma-dogma mereka. Al-Farabi merasa perlu ikut membela mereka. Ia menerangkan kenabian secara rasional dan menafsirkannya secara ilmiah.
Ia menerangkan hl itu atas dasar teori mimpi Aristoteles yang diperkenalkan kepada dunia Arab. Al-Kindi – pendahulu al-Farabi – berpegang pada teori tersebut. Ia beranggapan bahwa mimpi adalah gambaran yang dihasilkan oleh imajinasi yang kapasitasnya bertambah selama tidur setelah lepas dari aktivitas-aktivitas sadar.
Tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari Tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa mendatang. Di sini al-Farabi berbeda dengan gurunya dan menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan.
Menurut al-Farabi, hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran Islam. Kemampuan berhubungan dengan intelegensi agen dapat terdapat hanya pada nabi atau filosof, kalau nabi dengan imajinasi, sedangkan filosof dengan spekulasi dan perenungan. Hal ini dapat dimengerti karena keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan mereka dari atas sana. Sebenarnya kebenaran agama dan filsafat merupakan pancaran pencerahan dari Tuhan melalui imajinasi atau penerangan.
Teori al-Farabi tentang kenabian mempunyai pengaruh yang jelas, tidak hanya pada Barat dan Timur, tetapi juga pada abad pertengahan dan sejarah modern. Ibn Sina mengikuti sepenuhnya teori ini. Pengupayaannya atas teori ini serupa benar dengan al-Farabi.
Ibn Rusyd mengakui keabsahan teori ini dan sangat heran atas kritik al-Ghazali karena teori ini memperkuat ajaran agama dan mengukuhkan bahwa kesempurnaan jiwa dapat diperoleh hanya melalui keberhubungan manusia dengan Tuhan. Ketika teori ini diperkenalkan kepada pemikiran-pemikiran filosofis Yahudi, maimonides mengambilnya dan menunjukkan banyak minat.
Dalam Tractatus Theologico Politicus-nya Spinoza, dapat dicatat bahwa spinoza menerangkan suatu teori serupa yang mungkins ekali dikutip dari Maimonides. Teori itu kemudian digunakan oleh para filosof Muslim modern, seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh.
6. Penafsiran atas Al-Quran. Beberapa ajaran agama bersifat tradisional (sam ‘iyyat), dan tak dapat ditunjukkan lewat akal, seperti keajaiban, dan Hari Penentuan yang meliputi Hari Kiamat, Kebangkitan, Pengadilan dan Hukuman. Menerima sam’iyyat ini merupakan tiang agama. Orang-orang beriman menerima isinya dengan ketulushatian.
Tetapi, sebagian pemikir dalam upaya memberikan keterangan rasional, menafsirkannya dengan cara tertentu atau menganggapnya sekedar hukum alam. Dalam hal ini kaum Mu’tazilah telah berusaha, karenra sedemikian jauh dalam menafsirkan ini sehingga mereka menentang kaum Transfiguris yang menyamakan Tuhan dengan sifat-sufat tertentu yang bertentangan dengan keesaan, kesucian dan ketinggian-Nya.
Al-farabi melakukan penafsiran yang berbeda. Ia mengakui keabsah keajaiban, karena hal itu merupakan alat untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat bahwa keajaiban, meski bersifat adialami, tidak bertentangan dengan hukum alam. Karena sumber hukum ini terdapat pada dunia lingkungan dan intelegensi yang mengatur dunia bumi dan begitu kita berhubungan dengan dunia itu, maka kejadian-kejadian yang tak biasa akan terjadi pada kita.
Nabi, sebagaimana diterangkan di atas, mempunyai kekuatan jiwa yang dapat menghubungkannya dengan intelegensi agen. Melalui perhubungan inilah ia dapat menyebabkan hujan turun, tongkat dapat berubah jadi ular atau orang buta dan orang sakit lepra dapat disembuhkan. Dengan begini al-Farabi mencoba – sebagaimana kaum Stoic telah melakukan sebelumnya ---- menjadikannya sebagai kejadian- kejadian sebab-sebab yang berada di luar kebiasan alam dan bahkan bertentangan dengannya.
Al-Quran menunjuk kepada bermacam-macam sam’iyyat, seperti Tablet dan Pena. Al-Farabi berpendapat bahwa hal-hal ini hendaknya jangan dimengerti secara harfiah, karena Pena bukan lah alat untuk menulis, demikian pula Tablet, ia bukanlah halaman tempat mencatat kata-kata, tetapi keduanya hanyalah simbol ketetapan dan kelestarian. Al-Quran juga menerangkan secara luas akhirat, Hari Kiamat, pahala dan siksa.
Tak seorang beriman pun dapat mengingkari kejadian-kejadian ini tanpa merusak prinsip sangsi ketuhanan dan tanggung jawab individu. Meskipun al-Farabi mengakui secara penuh kebahagiaan yang kekal dan siksaan di akhirat, tetapi ia menjelaskan hal itu sebgai kejadian jiwa yang tidak mempunyai hubungan dengan tubuh atau materi, karena jiwa bukan tubuh yang merasakan kebahagiaan atau penderitaan, bahagia atau susah.
Penafsiran ini sesuai dengan kecenderungan al_Farabi kepada spiritualisme. Ibn Sina menambil dan menggunakannya secara luas. Ibn Sina berpendapat bahwa Tahta dan Kursi adalah simbol-simbol dunia lingkungan. Shalat bukanlah sekedar gerakan fisik, tetapi bertujuan meniru dunia langit. Seolah kedua filosof ini ingin meletakkan landasan suatu agama filosofis dan filsafat religius.
Namun, al-Ghazali tidak puas dengan usaha ini dan ia menyerangnya, dengan mengambil tkes-teks Kitab Suci secara harfiah.
Ibn Rusyd, meskipun menyetujui kesesuaian antara agama dan filsafat, namun ia juga tidak puas dengan usaha-usaha itu, karena menurutnya, demi keselamatan keduanya, agama dan filsafat harus dipisahkan. Bila dicampur tidak akan dapat dimengerti oleh orang-orang biasa dan bisa menyesatkan bahkan orang-orang yang mampu berpikir secara mendalam.