Menurut al-Biruni, abu Bakr Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi lahir di Rayy, pada tanggal satu Sya’ban, tahun 251 H/865 M.
Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan (Baihaqi), penukar uang (ibn abi Usaibi’ah), atau lebih mungkin sebagai pemain kecapi (ibn Juljul, Sa’id, ibn, Khalikan, Usaibi’ah, al-Safadi) yang pertama meninggalkan musik untuk belajar alkimia, dan pada usia tiga puluhan atau (seperti dikatakan Safadi) setelah umur empat puluhan ia meninggalkan alkimia, karena matanya terserang penyakit akibat eksperimen yang dilakukannya (al-Biruni), yang menyebabkannya mencari dokter dan obatan-obatan.
Itulah sebabnya, sebagaimana kata mereka (al-Birunim Baihaqi dan lain-lainnya), ia mempelajari ilmu kedokteran (obat-obatan). Ia sangat rajin belajar dan bekerja siang dan malam hari.
Gurunya, ‘Ali ibn Rabbana al-Thabari (al-Qifti, Usaibi’ah), adalah seorang dokter dan filosof yang lahir di Merv pada tahun 192 H/808 M dan meninggal beberapa tahun setelah 240 H/855 M. Ia belajar ilmu kedokteran keapda ibn Rabban al-Thabari,d an kemungkinan juga ilmu fisika. Mungkin minat al-Razi pada fislfat agama disebabkan oleh gurunya, yang ayahnya adalah seorang pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci.
Di kota kelahirannya, al-Razi terkenal sebagai dokter. Karena itu, ia memimpin rumah sakit di Rayy (ibn Juljul, al-Qifti, ib Abi Usaibi’ah) ketika Mansur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Asad menjadi Gubernur Rayuy, darit ahun 290 – 296 H / 902 – 908 M, atas nama kemenakannya Ahmad ibn Ismail ibn Ahmad, sebagai pemerintah Samaniah kedua.
Razi menulis kitab al-Tibb al-Mansur, untuk dipersembahkan kepada Manusr ibn Ishaq ibn Ahmad, sebagaimana dibuktikan oleh naskah kitab ini, sebagai penolakan atas asumsi al-Nadim, yang diulang oleh Qifti dan abi Usaibi’ah, bahwa manusr ini adalah Mansur ibn Isma’il yang meninggal pada tahun 365 H / 975 M.
Al-Razi dari Rayy pergi ke Baghdad pada masa khalifah Muktafi (289 H /901 M – 295 H / 908 M), dan di sana ia memimpin rumah sakit pula.
Setelah al-Muktafi meninggal tahun 295 H / 907 M, al-Razi kembali ke Rayy. Di Rayy ia mempunyai banyak murid. Sebagaimana ditunjukkan oleh al-Nadim dalam Fihrist, bahwa al-Razi kemudian menhjadi syekh dengan kepala besar menyerupai karung ia bisa dikelilingi oleh banyak murid.
Jika seseorang betanya tentang sesuatu, maka pertanyaan itu dilemparkannya kepada lingkaran pertama untuk di jawab bila tak ada dari mereka yang dapat menjawab, kemudian diserahkan kepada lingkaran kedua, dan seterusnya sehingga sampai kepada al-Razi sendiri biula semua telah gagal menjawsabnya. Dari para murid itu, setidaknya satu di antaranya ada yang kita kenal, yaitu abu Bakr ibn Qarin al-Razi yang menjadi dokter.
Al-Razi adalah orang yang murah hati, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin, karena itu ia memberikan pengobatan sepenuhnya kepada mereka tanpa meminta bayaran sedikit pun, dan ia juga menggunakan perolehan-perolehan itu secara berkala untuk mereka.
Jika tidak bersama murid dan pasiennya, ia selalu menggunakan waktunya untuk menulis dan belajar. Mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya ia menjadi buta. Beberapa orang mengatakan bahwa sebab-sebab kebutaannya adalah karena terlalu banyak makan buncis (baqilah).
Penyakitnya bermula dengan rabun dan akhirnya menjadi buta sama sekali. Mereka mengatakan bahwa ia menolak diobati dengan mengatakan bahwa ia sudah terlalu banyak melihat dunia, dan telah banyak menikmatinya. Tetapi hal itu tampaknya lebih merupakan anekdot dariapda kenyataan sejarah.
Ketika salah seorang muridnya datang dari Tabaristan untuk mengobatinya, ia menolak, tetapi sebagaimana kata al-Biruni, ia menolak diobati dengan mengatakan bahwa pengobatan itu akan sia-sia belaka, karena sebentar lagi ia akan meninggal dunia. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia pada 5 Sya’ban 313 H / 27 Oktober 925 M.
Sebagaimana disebut di atas, alRazi belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban al-Thabari. Ibn al-Nadim mengatakan bahwa ia belajar filsafat kepada al-Balkhi.
Menurut ibn al-Nadim, al-Balkhi adalah orang yang banyak melakukan perjalanan, mengenai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Beberapa orang mengatakan bahwa al-Razi menghubungkan dengan dirinya sendiri buku-buku filsafat al-Balkhi. Kita tak tahu lagi tentang al-Balkhi ini, bahwa nama alengkapnya pun kita tak tahu.
Sebaliknya, lawan-lawan al-Razi, dikenal dengan baik, mereka adalah sebagai berikut:
1. Abu al-Qasim al-Balkhi, pemimpin kaum Mu’tazilah di Baghdad (tahun 319 H / 931 M) yang hidup semasa dengan al-Razi, ia banyak menulis penolakan terhadap buku-buku al-Razi, terutama buku ‘Ilm al-Iahi. Ia berbeda dengan al-Razi terutama tentang waktu.
2. Syuhaid ibn al-Husain al-Balkhi, dengannya al-Razi mempunyai banyak perbedaan, salah satu dari perbedaan tersebut adalah teori tentang kesenangan. Teorinya tentang kesenangan ini diterangkan dalam kitabnya Tafdhil Ladzdzat al-Nafs yang disarikan kembali oleh abu Sulaiman al-Mantiqi al-Sajistani dalam Siwan al-Hikmah. Al-balkhi meninggal sebelum tahun 319 H/ 940 M.
3. Abu Hatim/ 934 M) dan salah seorang ahli da’wah Isma’illiah terbesar. Ia menulis perbedaan-perbedaannya dengan al-Razi dalam buku A’lam al-Nubuwwah. Kita patutu berterima kasih kepada buku ini, karena berkat jasanya, pendapat-pendapat al-Razi tentang kenabian dan agama dapat ikita nikmati.
4. ibn Tammar, menurut Kraus, mungkin adalah abu Bakr Husain al-Tammar, tabib yang mempunyai beberapa perbedaan dengan al-Razi sebagaimana dilaporkan oleh abu Hatim al-Razi dalam A’lam al-Nubuwwah. Ibn al-Tammar menolak tulisan al-Razi al-Tibb al-Ruhani dan al-Razi menjawab sanggahan ini.
Sebenarnya, al-Razi menulis dua sanggahan:
(a) sanggahan terhadap penolakan al-Tammar atas Misma’i tentang materil (b) Sanggahan terhadap pendapat al-Tammar tentang atmosfir bawah tanah.
5. Mereka yang kita kenal dari judul buku yang ditulis oleh al-Razi:
(a) al-Misma’i, seorang mutakallim yang menulis untuk menentang kaum materialis dan terhadap mereka al-Razi menulis sebuah risalah.
(b) Jarir, seorang dodkter yang berteori tentang ‘makan mulberry hitam setelah air labu.
(c) al-Hasan ibn Mubarik al-Ummi, kepadanya al-Razi menulis dua buah surat.
(d) al-Kayyal, seorang Mutakallim, yang terhadap teorinya tentang Imam, menulis sebuah kitab.
(e) Mansur ibn Thalhah, yang menulis buku tentang “Kemaujudan” yang ditolak oleh al-Razi.
(f) Muhammad ibn al-Laith al-Rasa’ili yang tulisannya terhadap ahli alkimia dijawab oleh al-Razi.
6. Ahmad ibn al-Thayyib al-Sarakhsi (meninggal tahun 286 H/899 M), senior al-Razi menolaknya atas masalah rasa pahit, Al-Razi juga menolak gurunya, yaitu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindim, yang menulis sanggahan terhadap ahli-ahli alkimia.
7. Akan kita tambahkan lagi mereka yang tak dikenalyang telah ditolak pendapatnya oleh al-Razi trutama dari kalangan Mu’tazikah dan Mutakallim lainnya.