Filsafat moral al-Razi terdapat hanya dalam karyanya:
Al-Tibb al-Ruhani dan al-Shirat al-Falsafiyyah.
Karya yang kedua ini merupakan pembenar perihidupnya dari sudut pandang filsafat, sebab ia dicela oleh beberapa orang lantaran ia tidak sebagaimana gurunya, Socrates. Ia berpendapat bahwa seorang filosof harus moderat tidak terlalu menyendiri, tidak terlalu memperturutkan hawa nafsu.
Ada dua batas dalam hidup ini: batas tertinggi dan batas terendah. Batas tertinggi adalah batas yang tidak boleh dilampaui oleh para filosof, yaitu berpantang dari kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan melakukan ketidakadilan dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal.
Sedang batas terendah ialah memakan sesuatu yang tidak membahayakan atau menyebabkan sakit dan memakai pakaian yang cukup untuk melindungi kulitnya, dan sebagainya. Di antara kedua batas itu, orang dapat hidup tanpa ketakterlayakan.
Al-Razi menyatakan bahwa dalam hidupnya ia tak pernah melanggar kedua batas ini. Ia tidak mengabdi suatu kerajaan, sebai menteri atau militer, tetapi sebagai dokter dan penasihat. Ia tidak rakus dan tidak bermusuhan dengan orang lain, sebaliknya ia sangat tenggang rasa terhadap hak-haknya sendiri. Ia tidak pernah minum, makan dan hidup berlebihan.
Cintanya kepada ilmu pengetahuan dan belajar, diketahui semua orang. Dari sudut pandang teori, karya-karyanya membuat ia disebut sebagai filosof.
Dalam al-Tibb al-Ruhani, ia membahas, dalam dua puluh bab, masalah-masalah pokok etika. Ia ingin menjelaskan apakah keburukan itu, dan bagaimana cara menghindarinya.
Ia membuka dengan memuji akal, sebagaimana telah kita ketahui di atas. Kemudian dalam medius res, ia bertanya tentang hawa nafsu. Ia berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang tiga aspek jiwa: nalar, kebengkangan, dan hasrat, dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
Perlulah bagi manusia mengetahui kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian ia dapat meminta seorang kawan yang bernalar untuk mengtakan kekurang-kekurangannya. Ia harus mengetahui perihal orang lain, tetangga, teman yang berpikir tentang dirinya.
Di sini al-Razi bertumpu pada tulisan Galen:
“Perihal Mengetahui Kekurangan-Kekurangan Diri Sendiri.” ,dan “Bagaimana Para Bijak Memperoleh Manfaat Musuh Mereka.”
Inilah isi dari bab-bab permulaan. Pada bab lima, ia menjelaskan teorinya tentang kesenangan, suatu teori yang ia bahas lagi dalam sebuah surat khusus. Baginya, kebahagiaan tidak lain adalah kembalinya apa yang telah tersingkir oleh kemudharatan, misal: orang yang meninggaikan tempat yang teduh menuju ke tempat yang penuh sinar matahari dan panas, akan senang ketika kembali ke tempat teduh tadi.
Dengan alasan ini, kata al-Razi, para filosof alami mendefinisikan kebahagiian sebagai kembali kepada alam.
Al-Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada ahawa nafsu. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan kekikiran dan ketamakan.
Orang yang iri hati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh sesuatu kebaikan, meski tak keburukan pun menimpa dirinya. Bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul bukan hanya keirihatian tetapi juga permusuhan. Bila orang menyenangkan dirinya dengan yang dibutuhkannya, maka di dalam jiwanya tiada tempat bagi keirihatian.
Kemarahan muncul dalam diri binatang agar mereka dapat melakukan pembelaan terhadap bahaya yang mengancam. Bila berlebihan, hal itu berbahaya sekali bagi mereka.
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibagi menjadi dua: untuk kebaikan dan untuk kejahatan. Bila dusta dilakukan untuk kebaikan, maka hal itu terpuji; tetapi sebaliknya, apabila untuk kejahatan hal itu tercela. Oleh karena itu, nilai dusta terletak pada niat.
Sifat kikir tidak dapat ditolak sepenuhnya. Nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kekikiran tersebut disebabkan oleh rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka ini tidaklah buruk. Tetapi bila hal ini dilakukan sekedar ingin memperoleh kesenangan, maka hal ini adalah buruk.
Oleh karena itu, harus ada pembenaran terhadap kekikiran seseorang bila hal itu mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan, tetapi jika sebaliknya, maka ini harus diperangi.
Kekhawatiran, bila berlebihan, maka tidak baik, sebab keberlebihannya, tanpa alasan yang baik dapat menyebabkan terjadinmya halusinasi, melankolik dan kelayuan dini.
Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa sakit dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga.
Persetubuhan, bila berlebihan, tidak baik bagi tubuh; ia mempercepat proses ketuaan, menjadikan lemah dan menimbulkan berbagai macam penyakit lainnya. Sebaliknya hal itu dilakukan sesedikit mungkin, karena bila dilakukan berlebihan menyebabkan lebih banyak akibat yang buruk.
Sifat sembrono, dalam banyak hal juga mencelakakan. Mencari harta benda adalah baik bagi kehidupan hanya bila secukupnya. Tak perlu memburu-buru kekayan yang melebihi kebutuhan kecuali sedikit simpanan untuk keperluan mendadak dan untuk keadaan buruk di masa mendatang.
Ambisi bisa menyebabkan berbagai keanehan dan bencana. Adalah sangat baik bila kita dapat memperoleh kedudukan lebih tinggi tanpa melalui berbagai keanehan dan hal-hal yang membahayakan lebih baik meninggalkan atau menghindarinya.
Pada bab terakhir, ia menulis tema yang paling sesuai dala pemikiran Hellenistis dan abad pertengahan awal yaitu tentang takut mati. Di sini, al-Razi mencukupkan dirinya dengan pendapat orang-orang yang berpendirian bahwa bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatu pun terjadi pada manusia, karena ia tak merasakan apa-apa lagi.
Selama hidupnya, manusia selalu merasa sakit, tetapi setelah mati, ia tidak akan merasa sakit selamanya. Sebaiknya orang yang menggunakan nalar menghindari rasa takut mati, karena bila mempercayai kehidupan lain, maka ia tentu gembira, karena melalui mati ia pergi ke dunia lain yang lebih baik.
Bila ia percaya bahwa tiada sesuatu pun setelah mati, maka ia tak perlu cemas. Betapa pun orang tidak perlu merasa cemas akan kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas.