Renan berpendapat benar bahwa ibn Bajjah memiliki kecenderungan kepada tasawuf, tapi tentu salah ketika dia menganggap bahwa ibn Bajjah menyerang al-Ghazali karena dia menandaskan intuisi dan tasawuf. Sesungguhnya ibn Bajjah mengagumi al-Ghazali dan menyatakan bahwa metode al-Ghazali memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan bahwa metode itu didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi Suci. Sang Sufi menerima cahaya di dalam hatinya.
Cahaya di dalam hatinya ini merupakan suatu spekulasi, yang lewast spekulasi itu hati melihat hal-hal yang dapat dipahami seperti orang melihat obyek yang tertimpa sinar matahari lewat penglihatan mata dan lewat pemahaman hal-hal yang dapat dipahami ini dia melihat semua yang , melalui implikasi mendahului mereka atau menggantikan mereka.
Ibn Bajjah menjunjung tinggi para Wali Allah (Auliya ‘Allah) dan menempatkan mereka di bawah para Nabi. Menurutnya, sebagian orang dikuasai oleh keinginan jasmaniah belaka – mereka berada di tingkat paling bawah – dan sebagian lagi dikuasai oleh spiritualitas – kelompok ini sangat langka, dan termasuk dalam kelompok ini Uwais al-Qarni dan Ibrahim ibn Adham.
Terhadap Tuhan dan ketentuan-Nya, ibn Bajjah hampir menyatakan dirinya sebagai seorang fatalis. Dalam satu risalahnya, dia menyatakan bahwa seandainya kita berpaling kepada ketetapan Tuhan dan kekuasaan-Nya maka kita benar-benar memperoleh kedamaian dan kebahagiaan.
Segala yang ada berada dalam pengetahuan-Nya dan hanya Dia yang mampu mendatangkan kebaikan kepada mereka. Karena Dia mengetahui segala sesuatu secara esensial, maka Dia memberikan perintah-perintah kepada suatu perantara untuk menemukan suatu bentuk seperti yang ada dalam pengetahuan-Nya dan kepada penerima bentuk-bentuk untuk menerima bentuk itu. Inilah yang terjadi pada semua yang ada, bahkanb pada materi yang fana serta akal manusia.
Untuk menunjang pandangannya bahwa Tuhan adalah Pencipta Utama segala tindakan, ibn Bajjah mengacu pada pandangan al-Ghazali yang dikatakannya pada bagian akhir dari karyanya Misykat al-Anwar, bahwa Prinisp Pertama itu menciptakan agen-agen dan obyek-obyek tindakan dan dia selanjutnya mengambil penun jang lain untuk pandangannya ini dari pengamatan al-Farabi dalam ‘Ujun al-Masa’il, bahwa semuanya berkaitan dengan Prinsip Pertama sebab Yang Pertama itu merupakan pencipta mereka.
Ibn Bajjah juga menyatakan bahwa Aristoteles mengatakan dalam bukunya Physics bahwa Agen Pertama adalah agen sebenarnya, dan agen yang dekat tidak bertindak kecuali lewat yang pertama. Yang pertama membuat aksi yang dekat dan obyek tindakan. Yang dekat itu dikenal sebagai agen oleh sebagian besar orang hanya dalam masalah-masalah material.
Raja yang adil, misalnya, pantas menerima sebutan adil, meskipun dia jauh tingkatannya dari dia yang ada di bawahnya dalam rangkaian agen itu. Siapa pun yang menganggap bahwa suatu tindakan berasal dari agen yang dekat sama saja dengan seekor anjing yang menggit sebuah batu yang membenturnya.
Tapi penganggapan bahwa tindakan itu berasal dari agen yang dekat adealah mustahil dalam masalah-masalah yang tidak bersangkut-paut dengan materi-materi fisik. Akal yang aktif yang mengelilingi benda-benda angkasa itu merupakan agen dekat dari hal-hal yang tak kekal. Tapi Dia yang menciptakan akal yang aktif dan benda-benda angkasa itulah agen kekal yang sejati.
Tuhan menyebabkan keberadsaan suatu benda berlanjut tanpa akhir setelah ketakberadaan fisiknya. Bila suatu yang ada mencapai kesempurnaan, maka dia tidak ada lagi dalam zaman tetapi ada selamanya dalam keterus-menerusan masa (dhar).
Ibn Bajjah di sini mengingatkan kita akan salah satu sabda Nabi Suci:
“Jangan menyalahgunakan Dahr karena dahr itu Allah.”
Dengan penafsiran begitu, perkataan itu mengandung makna bahwa akal manuisa itu kekal. Untuk menunjang penafsiran kata dahr ini, ibn Bajjah menyebutkan para pendahulunya seperti al-Farabi dan al-Ghazali.