Jiwa, pada tahap awalnya, bukanlah suatu tabula rasa, atau papan tulis kosong. Imaji telah tersirat di dalamnya sejal awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka.
Keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial, sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya di balik kelahiran tiba-tiba Hayy di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai, pengalaman, inteleksi dan ekstase memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dan memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa.
Bukan hanya disiplin jiwa, tapi juga pendidikan semua indera dan akal, yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar (Kant) di satu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi (Bergson dan Iqbal), di pihak lain, membentuk esensi epistemologi ibn Tufail.
Pengalaman suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewani yang ada di dalam hati; dari sana berbagi data-indera yang kacau mencapai otak yang menyebarkannya ke seluruh tubuh lewat jalur saraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi suatu kesatuan persepsi.
Pengalaman memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan alat-alat pembanding dan pembedanya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman, dan hewan. Setiap kelompok benda memperlihatkan fungsi-fungsi jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda.
Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Ibn Tufail juga menyadari keterbatasan metode yang baru didapatnya itu. Mengikuti pendapat al-Ghazali dan mendahului pendapat Hume, ibn Tufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bisa mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya.
Empirisme Hume berakhir dengan skeptisime, tapi ketasawufan ibn Tufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab-akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang dianggap berasal dari Tuhan, tapi oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk a priori pemahaman.
Ibn Tufail sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metode induktif ilmu modern melihat ketidak mampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, dan juga ketidakmampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat dan akhirnya menjernihkan awan skeptisime dengan membuat pernyataan bersama al-Ghazali bahwa rangkaian sebab-akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik indera dan akal serta memperhatikan keterbatasan keduanya, ibn Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa, yang membawa kepada ekstase, sumber tertinggi pengetahuan.
Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intuitif lewat cahaya yang ada di dalamnya, jiwa menjadi sadar diri mengalami “apa yang tak pernah dilihat mata, atau di dengar telinga, atau di rasa hati orang manapun.” Taraf ekstase tak terkatakan atau terlukiskan, sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dilihat, didengar atau di rasa.
Esensi Tuhan, yang merupakan cahaya suci, hanya bisa dilihat lewat cahaya di dalam esensi itu sendiri, yang masuk ke dalam esesnsi itu lewat pendidikan yang tepat atas indera, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.