Bukan kebahagiaan duniawi, melainkan penyatuan sepenuhnya dengan Tuhanlah yang merupakan Kebaikan Tertinggi etika. Perwujudannyam setelah pengembangan akal induktif dan deduktif, akhirnya bergantung kepada aturan tiga pokok disiplin jiwa, yang menurut de Boer memiliki suatu “corak Phytagoras.” Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan.
Karena itu, pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa, dan Tuhan.
Mengenai peniruannya, pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani.
Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan dan esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase. (Ibn Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan).
Terakhir, dia harus melengakpi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negatif, yaitu pengetahuan, kekuasaanb, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas, merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial.
Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.