6. Filsafat dan Agama


Filsafat merupakan pemahaman akal secara murni atas kebenaran konsep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Bahasa merupakan hasil dari kebutuhan-kebutuhan material lingkungan sosail dan karena itu hanya dapat menyentuh dunia fenomena semata.

Dunia angkasa, yang abstrak dan non bendawi, tidak dapat dijangkau. Bila dilukiskan dengan lambang bendawi, maka ia akan kehilangan esensinya, dan bisa-bisa orang menganggapnya tidak sebagaimana yang sebenarnya.

Kalau begitu mengapa Al-Quran melukiskan dunia-atas itu dalam ibarat-ibarat, sehingga pandangan yang lebih jelas terkesampingkan dan orang bisa jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan fatal karena menganggap pemenuhan kebutuhan jasmaniah sebagai esensi Tuhan, padahal Dia lepas dari itu? Dan mengapa Kitab Suci tidak hanya sekedar memberikan ajaran-ajaran dan tatacara pemujaan, dan memberi manusia ijin untuk mengumpulkan kekayaan serta memberinya kebebasan mencari makan, yang dengan cara itu mereka mengejar tujuan yang sia-sia dan berpaling dari kebenaran? Tidakkah kebutuhan yang sangat penting dari jiwa itu ialah membebaskan diri dari hasrat-hasrat serta ikatan-ikatan duniawi sebelum dia memulai perjalanannya menuju surga? Apakah manusia mau mengesampingkan tujuan-tujuan duniawi untuk mengikuti kebenaran, jika mereka mencapai pengetahuan murni sehingga mampu memahami segala suatu dengan benar? Kegagalan menyedihkan Hayy dalam upaya memberi penerangan kepada massa dengan jalan memberikan konsep-konsep murni itu, membuka jalan bagi menjawab pertanyaa-pertanyaan di atas.

Nabi berlaku bijak dengan memberi mereka bentuk-bentuk yang dapat ditangkap oleh indera dan bukannya penerangan melulu, sebab mereka tidak memiliki jalan keselamatan yang lain. Bila mencapai pengetahuan murni, mereka akan terguncang dan jatuh dan berakhir dengan buruk.

Bagaimanapun, meski ibn Tufail menyuarakan kebijaksanaan Negara Muwahhid tentang penahanan pengajaran filsafat kepada orang kebanyakan, namun dengan jelas dia mengakui adanya sekelompok orang berbakat yang patut mendapatkan petunjuk-petunjuk filosofis dan kepada mereka paling baik ditanamkan pengetahuan serta kebijaksanaan dengan jalan mengemukakan kiasan-kiasan.

Agama diperuntukan bagi semua orang tapi filsafat hanya bagi orang-orang berbakat yang sedikit jumlahnya. Kelebihan mereka harus dipisahkan secara hati-hati.

Tak pelak lagi, filsafat harus dipahami secara bersamaan dengan agama keduanya membawa kepada kebenaran yang sma, tapi dengan cara-cara yang berbeda. Mereka berbeda bukan hanya dalam metode dan lingkup, tapi juga dalam taraf rahmat yang mereka anugerahkan kepada para pengikut setia mereka.

Agama melukiskan dunia atas dengan lambang-lambang eksoteris. Dia penuh dengan perbandingan, persamaan dan gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih mudah dipahami oleh orang-orang, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka kepada kebajikan dan moralitas.

Filsafat, di lain pihak, merupakan bagian dari kebenaran esoteris. Ia berupaya menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep dan imaji-imaji murni yang berpuncak pada suatu keadaan yang disitu esensi ketuhanan dan pengetahuannya menjadi satu.

Persepsi rasa, nalar, dan intuisi merupakan dasar-dasar pengetahuan filsafat. Para nabi pun memiliki intuisi sumber utama pengetahuan meraka adalah wahyu Tuhan. Pengetahuan Nabi didapat secara langsung dan pribadi, sedangkan pengetahuan para pengikutnya didapat dari wasiat.

Filsafat merupakan masalah khusus individu ia mensyaratkan perangai dan bakat tertentu untuk menangkap penerangannya. Agama, sebaliknya, merupakan suatu disiplin sosial. Pandangannya bersifat melembaga, bukan individual. Tujuannya kurang labih yaitu kebaikan massa secara umum, tanpa menghiraukan perbedaan-perbedaan individu dalam kemampuan dan ketercerahan batiniah.

Filsafat menghadapkan kita kepada realitas. Ia menuntut perenungan terus-menerus atas kebenaran, visi jelas cahaya utama, sumber segala kemaujudan, dengan melepaskan semua ikatan duniawi. Agama tidak demikian tegar dalam ketentuan-ketentuannya. Ia mengutuk kepertapaan dalam arti apa pun, sebab manusia pada umumnya tidak mampu mencapai hal itu.

Oleh karena itu, agama menetapkan syarat mutlak yang paling mudah dilaksanakan dan memberikan kepada manusia ijin untuk menjalani kehidupan duniawi, asal tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan. Dengan demikian para filosof, mampu mencapai kebahagiaan yang tinggi. Sedangkan orang kebanyakan harus merasa puas dengan kebahagiaan kedua dan tidak dapat meningkat lagi, dikarenakan keterbatasan diri mereka. Kemudian teori ini, di bawah pengaruh ibn Rusyd, mempersenjatai para Sarjana Eropa terhadap Gereja dengan doktrin “Kebenaran lipat dua,” John dari Brescia dan Siger dari Brabant menjadi duta wakil utamanya.

Cerita ini tampaknya belum berakhir di sini sebab sikap individualistik yang menguntungkan dari filsfat modern, suatu sikap yang membedakannya dari pandangan jaman pertengahan dan jaman kuno, ternyata juga merupakan suatu dasar yang khas dari teori itu.

Menu