Hayy ibn Yaqzan merupakan ciptaan unik pemikiran filosofis mistis ibn Tufail. Bagaimana pun, gagasan roman ini tidak seluruhnya baru. Ibn Sina (meninggal tahun 428 H/1037 M), di antara para pendahulunya, telah menulis suatu kisah kiasan dengan judul serupa. Tapi persamaannya, sampai di situ saja.
Cerita ibn Sina yang didramatisasi mengisahkan bagaimana dia suatu hari, bersama beberapa teman, pergi berkelana di sekitar sebuah kota dan tiba-tiba bertemu seorang lelaki tua.
Hayy ibn Yaqzan, dan minta kepadanya agar diijinkan menemuinya dalam pengembaraannya yang tiada akhir. Tapi orang tua itu menyahut bahwa mustahil bagi ibn Sina dikarenakan oleh teman-temannya yang tak mungkin ditinggalkannya.
Dalam kisah kiasan ini ibn Sina sendiri mencerminkan jiwa rasional, teman-temannya mencerminkan berbagai indera, dan orang tua itu, Hayy ibn Yaqzan, akal aktif.
Dalam karya ibn Sina, dengan demikian, tokoh Hayy menggambarkan Spirit Manusia Super, tetapi tokoh utama dalam roman karya Tufail tampaknya merupakan personifikasi spirit alamiah manusia yang disinari dari atas, dan bahwa Spirit itu mesti sesuai dengan Ruh Muhammad bila dipahami secara benar, yang ucapan-ucapannya mesti ditafsirkan secara kiasan.
Begitu pula, nama-nama Salaman dan Absal, dua tokoh lain dalam roman ibn Tufail, bukan merupakan tokoh baru dalam kesusastraan filosofis. Keduanya juga diambil dari kisah karya ibn Sina Salaman wa Absal, yang kita kenal lewat parafrase. Tusi dalam uraiannya atas Isyarat.
Kisah itu menceritakan Absal, adik laki-laki Salaman. Yang ingin maju ke medan perang demi menghindari hasrat amoral istri kakaknya, tapi dia ditinggalkan oleh pasukannya gara-gara ulah iparnya itu dan tubuhnya yang terluka diseret seekor binatang semacam rusa ke sebuah tempat yang aman.
Ketika pulang ke rumahnya, dia membentuk pasukan sendiri yang kuat dan merebut kembali kerajaan yang kalah itu demi Salaman, yang istrinya, karena putus asa, meracuni Absal hingga meninggal. Salaman yang tenggelam dalam kesedihan kehilangan gairah hidup dan menjadi pertapa.
Akhirnya, seorang ahli mistik menceritakan kepadanya bahwa istrinya sendirilah yang telah menyebabkan bencana itu. Maka dibunuhhnya perempuan itu dan semua kaki-tangannya. Salaman dalam kisah ini, meggambarkan ruh rasional, Absal menggambarkan nalar teoritis dan istri Salaman menggabarkan tubuh yang memuja nafsu. Meski ada persamaan nama dan bagian cerita mengenai rusa, namun tema dasar dari kedua risalah ini pada hakikatnya berbeda.
Dalam karya ibn Sina, tujuan utamanya yaitu menunjukkan bagaimana penderitaan seseorang (dia sendiri adalah seorang narapida di penjara bawah tanah dari sebuah benteng ketika dia menulis cerita kiasan itu) mendatangkan karunia Tuhan dan menyebabkan terjadinya permurnian jiwa, sedang tujuan ibn Tufail tidak lain mendramatisasi perkembangana nalar teoritis dari persepsi-rasa yang masih kasar menjadi visi indah tentang Tuhan.
Pengaruh yang sangat dalam dan nyata sekali, yang tampak telah mewarnai struktur dasar roman ibn Tufail, yaitu pengaruh ibn Bajjah, pendahulunya, seorang rasionalis. Tokoh Hayy, yang sendirian dan berpikiran metafisikal, hanyalah bentuk ekstrem dari “manusia sendirian” dalam karya ibn Bajjah Tadbir al-Mutawahhid.
Bagaimana pun, meski ia mengakui pentingnya kesendirian untuk mengembangkan nalar teoritius, ibn Tufail merasa agak tak puas atas penandasan sepihak ibn Bajjah atas peranan nalar dalam memperoleh kebenaran sejati. Agak simpatik keluhannya tentang “ketidaksempurnaan” Tadbir al-Mutawahhid-nya ibn Bajjah.
Keinginannya untuk meniadakan ketidaksempurnaan inilah yang mendorong ibn Tufail menciptakan Hayy ibn Yaqzan. Dan karena pengaruh al-Ghazali (meninggal tahun 505 H/1111M) dan barangkali juga pengaruh Surahwardi Maqtul, tokoh Persia yang hidup sezaman dengannya, yang membuat dia menambah nalar dengan ekstase dalam menuju dunia surgawi.
Mengenai kelahiran Hayy ibn Yaqzan di sebuah pulau kosong, ibn Tufail menyodorkan dua versi. Versi ilmiah kelahirannya yang tiba-tiba sepenuhnya atas pengaruh ibn Sina. Versi legendaris kelahiran itu dialcak oleh Gracia,” Madrid, 1926) sampai kepada Kitab Dhu al-Qarnain wa Qissat al-Sanam wal-Malak wa Bintuhu, suatu kisah dari Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Hunain ibn Ishaq.
Kisah itu menceritakan bagaimana, dalam ketidakbahagiaannya sebagai keluarga raja, putri raja itu membang anak perempuannya sendiri, hasil hubungannya dengan putra Wazir ayahnya, ke laut. Ombak laut yang buas menghempaskannya ke pulau kosong yang di sana ia diberi makan oleh seekor rusa. Ia tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik kemudian hari, Alexader yang Agung bertemu dengannya secara kebetulan di pulau Oreon.
Bahwa mulanya kehidupan Hayy sama dengan kehidupan gadis itu, tak perlu diragukan, tapi persamaannya hanya sama di situ saja. Di samping itu, kisah dari Yunani itu tampaknya bukanlah merupakan satu-satunya sumber legenda ini. Badi’ al-Zaman Foruzanfar baru-baru ini telah mendapati bahwa kisah itu berasal dari kisah Persia tentang Musa o Dara-o Nimrud.
Kerangka romantis kisah Hayy ibn Yaqzan memang tidak asli dan berasal dari Alexandria; bahkan mungkin dari Persia. Bagaimana pun, ibn Tufail-lah yang mengubah sebuah kisah sederhana menjadi sebuah roman yang mengandung makna filosofis yang unik.
Ketajaman filosofislah, bukannya ketajaman imajinasi puitis, yang menandai kebaruan risalah itu dan membuatnya menjadi “salah satu dari buku-buku paling asli Jaman Pertengahan.”