3. Tujuan Risalah


Sebagaimana telah dikatakan oleh al-Marrakhushi, ahli sejarah itu, Hayy ibn Yaqzan adalah sebuah risalah yang bertujuan memberikan penjelasan ilmiah tentang permulaan kehidupan manusia di bumi.

Sebagai pembukaan kisah Hayy ibn Yaqzan, dikisahkan bahwa cuaca yang baik dari pulau kosong itu, dan juga persesuaian antara unsur-unsur di tempat itu, menyebabkan kelahiran tiba-tiba manusia pertama, yang mendapati bahwa sebatang tongkat bisa menjadi senjata untuk mempertahankan eksistensinya, dan dengan demikian dia merasa yakin bahwa dia mengungguli binatang-binatang lain.

Tapi sebenarnya permulaan ini dimaksudkan semata-mata untuk memaparkan latar-belakang pertumbuhan akal induktif, yang tak bergantung kepada pengaruh sosial apa pun.

Bertentangan dengan pendapat al-Marrakushi, tapi sesuai benar dengan pendapat de Boer, Dr. Muhammad Ghallab berpendirian bahwa risalah itu pada dasarnya bertujuan menunjukkan kemampuan individu manusia untuk hidup sendiri, dengan hanya memanfaatkan sumber-sumber alam saja tanpa bantuan masyarakat, dan berusaha memperoleh kebenaran sejati, asalkan dia memiliki kecerdasan untuk itu.

Kebenaran Quran dan Hadits terbuka bagi pencerapan akal murni, tapi harus dilindungi dari orang awam yang buta huruf yang urusannya bukanlah untuk berpikir melainkan untuk percaya dan patuh. Sebenarnya, pandangan ini merupakan gema dari sikap ibn Bajjah, yang di kemudian hari dianggap sebagai sikap resmi yang tepat di bawah pemerintahan Muwahhid.

Muhammad Yunus Farangi Mahalli melihat tujuan yang lebih tinggi yang tersirat dalam risalah itu. Agama bagi masyarakat yang maju sama pentingnya dengan filsafat dan tasawuf suatu tesis yang dengan sangat gemilang ditunjukkan oleh kerja sama ketiga tokoh watak dramatis itu: Hayy in Yaqzan, sang filosof, Absal, ahli tasawuf, dan Salaman, ahli teologi.

Tujuan utamanya bukan hanya menunjukkan bahwa fislafat sekalgus dengan agama harus dipahami secara tepat, tapi bahwa aspek-aspek eksoteris dan esoteris agama dan filsafat itu merupakan ekspresi kebenaran kekal yang sma yang disingkapkan kepada setiap individu sesuai dengan kemampuan mereka.

Secara filosofis, risalah itu merupakan suatu pemaparan yang hebat tentang teori ibn Tuafil mengenai pengetahuan, yang berupaya menyelaraskan Aristoteles dengan Neo Platonis di stu pihak, dan al-Ghazali dengan ibn Bajjah di pihak lain. Al-Ghazali sangat kritis dan dogmatis terhadap rasionalismenya Aristoteles, tapi ibn Bajjah adalah pengikut sejati Aristoteles.

Ibn Tufail, mengikuti jalan tengah, menjebatani jurang pemisah antara dua pihak itu. Sebagai seorang rasionalis, dia memihak ibn Bajjah dalam melawan al-Ghazali dan mengubah tasawuf menjadi rasionalisme sebagai seorang ahli tasawuf dia memihak al-Ghazali dalam melawan ibn Bajjah dan mengubah rasionalisme menjadi tasawuf. Ekstase merupakan bentuk tertinggi pengetahuan, tapi jalan menuju pengetahuan semacam ini itu diperlicin dengan pengembangan nalar, diikuti dengan pemurnian jiwa melalui praktek-praktek kezuhudan.

Metode-metode al-Ghazali dan ibn Tufail keduanya sebagian sama, tapi, tidak seperti al-Ghazali , ekstase ibn Tufail ditandai dengan suatu tekanan Neo-Platonik.

Al-Ghazali yang setia kepada sikap teologis-mistisnya, menganggap ekstase sebagai sarana untuk melihat Tuhan, tapi bagi ibn Tufail, sang filosof, visi indah mengungkapkan akal aktif dan rangkaian sebab Neo-Platonik sampai ke unsur-unsurnya dan kembali lagi kepada diri.

Menu