1. Filsafat Pertama


Bagian terpenting kegiatan filosof Miskawaih ditujukan kepada etika. Ia seorang moralis dalam arti sebenarnya. Tiga bukunya yang penting tentang etika telah sampai kepada kita, yaitu:

(1) Tartib al-Sa’adah,

(2) Tahdzib al-Akhlaq, dan

(3) Jawidan Khirad.


Buku Miskawaih al-Fauz al-Asghar merupakan sebuah risalah umum yang mempunyai konsepsi yang sama dengan bagian pertama buku al-farabi Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berkenaan dengan pembuktian akan adanya Tuhan bagian kedua tentang ruh dan ragamnya, dan bagian ketiga tentang kenabian.

Mengenai filsafat-filsafatnya ia banyak berutang kepada al-Farabi, terutama dalam mempertemukan ajaran-ajaran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Peralihannya kepada pemikiran-pemikiran sejarah telah memberinya manfaat yang bedar, karena pada umumnya ia dapat mengutip sumber-sumber secara tepat.

Misal pada akhir Bab V bagian pertama dari al-Fauz al-Asghar, ia terus terang mengakui berutang kepada Porphyry. Tulisan-tulisannya merupakan penyingkap (hal.553 -55) terbaik pembuktian Plato tentang kekelanan ruh. Ia mengambil manfaat, terutama dai buku-buku Proclus yang berjudul Kitab Syarch Qaul Flatun fi al-Nafs Ghair Maitah.

Bagian pertama di Fauz al-Asghar yagn memaparkan kemaujudan Tuhan adalah jelas, ringkas dan padat. Argumennya di sini menyangkut Penggerak Pertama (First Mover) yang sangat populer pada masa itu. Dalam hal ini, ia sepenuhnya pengikut Aristoteles.

Sifat-sifat dasar Tuhan ialah:
Esa, abadi dan non materi.

Miskawaih menggunakan keseluruhan bab VIII untuk membahas definisi Tuhan secara positif atau pun negatif, dia menyimpulkan bahwa cara negatif adalah cara yagn paling mungkin. Ia juga menunjukkan kecenderungan Neo Platonis yang mencolok pada Bab IX. Ia mengatakan bahwa kemaujudan pertama yang memancar dari Tuhan ialah Integensi Pertama yang (Miskawaih mengatakannya agak ganjil) sama dengan akal aktif. Ia kekal, sempurna dan tak berubah, karena “pemancaran terus menerus berhubungan dengannya dan kekal, sedang sumber pemacaran itu kekal”. Ia sempurna dibandingkan yang lebih rendah daripadanya dan tidak sempurna dibandingkan Tuhan.

Kemudian turunan ruh dari langit ke intelegensi; ia memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan dalam meniru intelegensi. Tetapin ia sempurna dibandingkan benda-benda alam. Lingkungan mewujuud melalui ruh langit. Dibandingkan ruh, ia tidak sempurna dan oleh karena itu ia memerlukan gerak fisik, yaitu gerak dalam ruang. Lingkungan bergerak melingkar menunjukkan kekekalan kemaujudannyayang telah ditentukan oleh Tuhan.

Melalui lingkungan dan bagian-bagiannya tubuh-tubuh kita mewujud. Keberadaan kita sangat rapuh karena adanya rantai penjang perantara antara Tuhan dan kita. Dengan alasan ini pula, maka tubuh kita berubah dan fana. Segala kemaujudan mewujud melalui Tuhan, dan pemancaran serta daya tembus-Nyalah yang memelihara tatanan di dalam kosmos ini. Bila Tuhan tidak memberikan pemancaran-Nya, maka tidak akan ada kemaujudan.

Sebagai pemikir religius sejati, Miskawaih mencoba membuktikan bahwa ciptaan bermula dari ketidak adaan. Ia menyebutkan bahwa Galen mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat ini, tetapi dibantah oleh Alexander dari Aphrodisias dalam uraian khusus.

Alasan Miskawaih sebagai berikut:

Pertama, bentuk-bentuk saling menggantikan, tetapi dasarnya tetap kosntan. Dalam perubahan ini, dari satu bentuk ke bentuk lain, ke manakah perginya bentuk yang pertama itu? Dan bentuk tidak dapat bersatu, sebab mereka itu berbeda.

Kedua, bentuk pertama tidak dapat ke lain tempat, karena gerak di tempat berlaku bagi tubuh dan kemaujudan tak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hanya ada satu kemungkinan, yaitu bahwa bentuk pertama menjadi tiada. Bila terbukti bahwa bentuk pertama menjadi tiada, maka bentuk kedua mewujud.

Demikian bentuk ketiga, keempat dan seterusnya, dari ketiadaan. Karena itu, segala kemaujudan berasal dari ketiadaan.

Aristoteles, memandang alam semesta sebagai suatu proses penjadian. Hakikat setiap sesuatu merupakan suatu daya yang berproses menjadi aktual yang merupakan hakikat akhirnya. Geraknya menuju akhir bersifat tetap. Suatu teori yang keseluruhannya berbeda terdapat pada Surat kelima puluh Ikhwan al-Shafa, yang di dalamnya ditunjukkan proses evolusi dari mineral sampai manusia di bawah bimbingan jiwa untuk kembali kepada Tuhan.

Ikhwan al-Shafa menggunakan teori ini untuk menentukan status kenabian. Miskawaih beranjak lebih jauh dan menemukan di dalamnya suatu dasar yang kukuh bagi teorinya, tentang moral. Sebagaimana Aristoteles, ia menganggap kebahagiaan (sa’adah) sebagai puncak kenabian manusia, tetapi tidak seperti Aristoteles, ia mencirikan kebahagiaan sebagai akhir pencapaian manusia sebagai khilafah Tuhan di muka bumi, tempat manusia mengalami evolusi kosmis di bawah rasionalitasnya.

Teori Miskawaih tentang teori evolusi secara mendasar sama dengan teori Ikhwan al-Shafa. Teori ini terdiri atas empat tahapan evolusi:

Evolusi mineral, tetumbuhan, binatang dan manusia, karang (marjan), kurma dan kera (gird) menunjukkan secara berurutan peralihan dari mineral ke tetumbuhan, dari tetumbuhan ke binatang, dan dari binatang ke manusia. Akhirnya nabi menyempurnakan siklus Kemaujudan dengan mereguk ruh surgawi pada dirinya.

Psikologi Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistis tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis. Ia menulis masalah ini dalam al-Fauz dan al-Tahdzib al-Akhlaq.

Pada karya pertama, ia membahas masalah ini secara lebih menyeluruh. Tetapi beberapa kali ia mengulangi sendiri tentang banyak hal dalam kedua buku itu dalam kedua buku itu kita mempunyai alasan serupa, contoh-contoh serupa dan hampir kata-kata serupa.

Trhadap kaum materialis, ia membuktikan adanya ruh dengan dasar bahwa pada diri manusia terdapat sesuatu yang memberi tempat bagi perbedaan dan bahkan pertentangan bentuk dalam waktu yang bersamaan. Tetapi sesuatu itu tidak dapar berupa materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.

Ruh mencerap hal-hal sederhana dan kompleks, yang ada dan yang tidak ada, yang terasakan dan yang terpikirkan. Tetapi, apakah ia mencerap semua itu melalui satu atau banyak unsur (faculty)? Ruh tidak mempunyai unsur unsur-unsur hanya teradpat pada materi. Apakah ruh, meskipun hanya satu dan tak dapat dibagi-bagi, mencerap sesuatu yang berbeda dengan sikap yang berbeda dan cara yang berbeda pula?

Dalam menjawab pertanyaan ini, Miskawaih memberikan dua jawaban berlainan: pertama dari Plato, yang mengatakan bahwa yang serupa mencerap yang serupa, dan kedua dari Aristoteles, yang mengatakan bahwa ruh mempunyau satu unsur yang mencerap materi yagn kompleks dan non materi yang sederhana, tetapi dengan cara berlainan. Dalam kaitan ini, Miskawaih menyebutkan Themistius dan bukunya Tentang Ruh.

Mengenai keabadian ruh, Miskawaih memberikan jawaban mula-mula dengan doktrin Aristoteles. Kemudian (pada Bab VI) ia memberikan tiga alasan dari Plato pertama ia mengutip Plato sendiri, kedua, tulisan Proclus Komenter terhadap Dontrikn Plato tentang keabadian Ruh, dan ketiga, sesuatu yang telah dikatakan oleh Galen mengenai hal ini.

Miskawaih mengatakan bahwa doktrin Plato sangat panjang dan memerlukan komentar karena itu, ia berusaha meringkasnya sejelas mungkin dengan bantuan Komentar Proclus. Di sini dan pada Bab-bab berikutnya ( VII, VIII) dia sepenuhnya Platonis dan menyebutkan secara khusus Hukum dan Timaeus Plato. Plato mengatakan bahwa esensi ruh adalah gerak, sedang gerak adalah kehidupan ruh.

Miskawaih menerangkan dan berkata:

Gerak ini terdiri atas dua macam: pertama, gerak ke arah intelegensi, dan kedua gerak ke arah materi yang pertama diterangi, sedang yang kedua menerangi. Tetapi gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang, dan oleh karena itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh mendekati intelegensi, yang merupakan ciptaan pertama, sedang lewat gerak kedua, ia keluar dari dirinya. Karena itu, ruh lebih mendekati Tuhan melalui gerak pertama dan menjauh lewat gerak kedua. Yang pertama membawa keselamatan dirinya, sedang yang kedua kebinasaan.

Dengan mengutip Plato, ia mengatakan bahwa fislafat merupakan suatu penerapan berdasarkan kemauan.

Ada dua macam kehidupan:

Pertama, kehidupan yanbg sesuai dengan intelegensi, yaitu “kehidupan alamiah”, dan kedua, kehidupan menurut materi, yaitu kehidupan berdasarkan kemauan.

Demikian pula dengan kematian karena itu Plato mengatakan: Jika Anda mati berdasarkan kemauan, maka Anda hidup secara alamiah. Di sini “kemauan” diartikan sebagai “hasrat”.

Tetapi, Miskawaih sekaligus mengoreksi sendiri dengan mengatakan bahwa mati berdasarkan kemauan ini bukan berarti penolakan terhadap dunia hal itu merupakan sikap mereka yang tak tahu apa-apa tentang dunia ini dan mengabaikan kenyataan bahwa mansuia secara fitrah beradab dan tidak dapat hidup tanpa yang lain.

Mereka, yang mengabaikan masalahdunia, sangat tidak adil, karena mereka menginginkan layanan yang lain tanpa bersedia melayani yang lain, dan inilah ketidak adilan sejati. Beberapa orang menyangka bahwa mereka hanya memerlukan sedikit, tetapi, meskipun hanya sedikit, namun mereka tetap membutuhkan layanan banyak orang.

Karena itu, wajib bagi setiap manusia melayani yang lain bila ia banyak melayani, maka ia dapat menuntut banyak, tetapi bila ia hanya melayani sedikit, maka ia hanya dapat meminta sedikit.

Inilah satu segi penting dari pandangan filosofis Miskawaih dan hal ini menunjukkan perhatiannya yang besar di bidang etika.

Menu