Filsafat moral sangat berkaitan dengan psikologi, sehingga Miskawaih memulai risalah besarnya itu dengan akhlak. Tahdzib al-Akhlaq, dengan menyatakan doktrinnya tentang ruh. Di sini penerapannya kirang filosofis, tetapi sangat terinci.
Masalah peralihan dari psiklologi ke akhlak disajikan pada halaman 18 hingga 21, yang, dengan mengikuti Plato, ia memperssamakan pembawaan-pembawaan ruh dengan kebajikan-kebajikan. Ruh mempunyai tiga pembawaan: Rasional, keberanaian, dan sederhana. Dengan keberkaitan ketiga hal itu, kita dapat memperoleh yang keempat, yaitu: keadilan.
Orang-orang Yunani bersifat teoritis dan spekulatif, sehingga Plato tidak dapat beranjak lebih jauh dari itu. Dengan memakai aturan pribadi moral, Miskawaih membagi kebijaksanaan menjadi tujuh: ketajaman itelegensi, kesigapan akal, kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan, ketepatan dalam membedakan, penyimpanan dan pengungkapan kembali.
Sebelas bagian dalam keberanian, yaitu: kemurah hatian, kebersamaan, kesabaran, kerendahhatian, semangat dan kepengampunan.
Duabelas dalam kesederhaan, yaitu: malu, ramah, benar, damai, menahan diri, sabar, berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan kebebasan (yang dibagi lagi menjadi enam).
Dan sembilan belas bagian dalam keadilan, yaitu: persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih sayang, persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan yang terbuka, ramah tamah, taat, penyerahdirian, pengabdian kepada Tuhan, meninggalkan permusuhan, tidak membicarakan sesuatu yang menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak mengenal ketidakadilan, dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang jahat dan penipuan.
Tetapi, kita tidak dapat menentukan secara pasti apakah pembagian-pembagian dan pembedaan-pembedaan ini hanya dilakukan oleh Miskawaih.
Tentu ia banyak memperoleh manfaat bagi dirinya dari para pendahulunya, terutama dari jalur abu sulaiman al-Sajistani al-Mantiqi, yang gema karya-karyanya kita temukan dalam Muqabasat-nya Tauhid.
Sejauh ini Msikawaih dalah Platonis, tetapi sejak halaman 29, ia menjadi Aristotelian dan menganggap kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan. Ia menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan utama, dan dengan ini pula ia mengakhiri bab pertama.
Pada bab kedua, Miskawaih mulai membahas fitrah manusia dan asal-usulnya, baik yang lahir dalam keadaan baik maupun jahat. Ia mengutip pendapat orang-orang Yunani terdahulu bahwa fitrah itu tak pernah berubah, tetapi ia menolak pendapat itu. Kemudian ia mengambil pendapat Stoa yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan baik, tetapi kemudian menjadi jahat karena kecenderungan mereka kepada nafsu jahat dan memelihara persekutuan jahat itu.
Ada pula pendapat ketiga, yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan buruk dan mereka dapat berubah menjadi baik hanya bila dengan pendidikan. Galen menolak dua pendapat terakhir dan mengatakan bahwa manusia terdiri atas tiga macam : ada yang secara fitrah baik, ada yang secara fitrah buruk dan yang ketiga di antara keduanya.
Akhirnya, Miskawaih menyatakan pendapat Aritoteles dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa “adanya manusia bergantung kepada kehendak Tuhan, tetapi perbaikannya diserahkan kepada manusia sendiri dan bergantung kepada kemauan sendiri.”
Kesempurnaan yagn dapat dicapai ada dua macam: pertama kesempurnaan teoritis dan kedua, kesempurnaan praktis. Dengan kesempurnaan pertama, ia akan memperoleh pengetahuan yang sempurna, dan dengan kesempurnaan kedua, ia akan memperoleh kepribadian yang sempurna. Manusia mempunyai tiga pembawaan yang tertinggi, ialah akal, yang ternedah ialah nafsu, dan diantara keduanya terletak keberanian. Manusia pada mulanya adalah manusia.
Dengan demikian, kesempurnaan manusia terutama bergantung kepada jiwa rasional. Pada setiap pembawaan terdapat banyak tingkatan, yang oleh Miskawaih dijelaskan secara terinci. Di sini (hal. 67-78) kita dapati suatu bab yang panjang tentang pendidikan anak dan remaja.
Bagian utama etika Miskawaih dimulai dari bab ketiga *(hal 90, dan seterusnya). Petama-tama, ia mengikuti Aristoteles, sebagaimana dikomentari oleh Porphyry. Tampaknya ia sepenuhnya bergantung kepada komentar Porphyry terhadap tulisan Aristoteles Nicomachean Ethics yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq ibn Hunain dalam dua belas jilid.
Tetapi sayang komentar ini hilang, baik yang berbahasa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Tapi dapat kita kumpulkan sesuatu dari bentuknya dari Tahdzib al-Akhlaq-nya Miskawaih.
Mengikuti Aritoteles, Miskawaih mengatakan (hal. 90) bahwa kebaikan terletak apda segala yang menjadi tujuan. Definisi ini diperkirakan mungkin berasal dari Eudoxus (sekitar tahun 25 S.M.), yang disajikan di bagian awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya Miskawaih mengatakan bahwa apa yang berguna magi mencapai tujuan ini adalah baik, misalnya sarana-sarana dan tujuan itu sendiri dapat disebut baik.
Tetapi kebahagiaan atau kebaikan merupakan suatu kebaikan yang relatif – bagi pribadi. Itu hanyalah satu macam kebaikan yang tidak mempunyai hakikat tersendiri dan berdiri sendiri.
Miskawaih, sebagaimana Aristoteles, mengelompokkan kebahagiaan, tetapi menambahnya secara lebih terperinci, yang mungkin diambil dari komentar Porphyry. Pengelompokkan ini terdiri atas, (1) kesehatan, (2) kekayaan, (3) kemasyhuran dan kehormatan, (4) keberhasilan dan (5) pemikiran yang baik.
Setelah memaparkan pendapat-pendapat Hypocrates, Pythagoras, Plato, kaum Stoa dan beberapa dokter yang percaya bahwa tubuh adalah bagian dari manusia dan bukan alat bagi manusia; karena itu kebahagiaan ruh tidak akan lengkap bila tidak disertai kebahagiaan tubuh.
Miskawaih membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan menyimpulkan dengan mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang mengatakan bahw kebahgiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dicapai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan akhirat. Di sini ia menegaskan lagi Anschauung-nya. Tetapi sebagai seorang religius sejati, ia lebih memilih akhirat.
Untuk menguatkan ini, ia mengutip suatu artikel diterjemahan Abu Utsman al-Dimasqi yang berjudul Keutamaan Ruh yang ditulis oleh Aritoteles. Kita tidakd apat menemukan tulisan Aristoteles ini di tempat lain.
Ada dua macam kebahagiaan di akhirat, tetapi tak seorang pun dapat memeproleh kebahagiaan yang kedua tanpa melalui kebahagiaan yang pertama. (Hl. 111), karena, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, kebahagiaan ukhrawi mekipun kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia, memerlukan kebahagiaan dunia, jika tidak ia akan tetap tak teraih.
Bab empat, terutama memuat keadilan dan penjelasan secara terinci tentang arti keadilan itu. Di sini ia kembali mengikuti bagian-bagian dalam Nicomachean Ethics-nya Aritoteles.
Pada bab lima, ia membahas persahabatan dan cinta. Hal yang menarik pada bagian ini ialah tentang dua macam cinta. Hal yang menarik kepada Tuhan, dan (b) cinta murid kepada guru.
Cinta macam pertama sangat sulit dicapai oleh makhluk yang fana, dan cinta ini hanya bagi sebagian kecil. Sedang untuk cinta macam kedua, Maskawaih mempersamakan cinta anak kepada orang tuanyadengan cinta murid kepada guruny, dan ia berpendapat bahwa cinta yang terakhir ini lebih mulia dan lebih pemurah. Karena guru mengajar ruh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagiaan sejati.
Guru adalah “bapak ruhani dan orang yang dimuliakan; kebaikan yang diberikan kepada muridnya merupakan kebaikan ilahiah, karena ia membawanya kepada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan yang tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi.” (hal.175).
Pershabatan, secara umum, merupakan hal paling suci dan bermanfaat bagi manusia. Penghianat lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain juga merupakan teman baginya ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat.
Orang yang bahagia adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Miskawaih mengutip pendapat Aritoteles yang mengatakan bahwa manusia itu membutuhkan teman dalam hidupnya, dalam keadaan baik ataupun dalam keadaan buruk. Bahkan seorang raja pun memerlukan teman.
Karena ia tidak akan dapat mengetahui kebutuhan rakyatnya kecuali melalui teman-teman dekatnya, sebab mereka itu akan memberikan keterangan dan membantu melaksanakan perintah-perintahnya. Manusia harus bekerja sebaik-baiknya untuk membahagikan teman-temannya dan selalu beruat baik kepada mereka tanpa beruat munafik dan mengambil muka.
Secara umum, tulisan Miskawaih tentang keadilan (‘adl)bersifat Aristoteles – meskipun baginya – kebajikan ini merupakan suatu bayangan dari keesaan tuhan, keseimbangan sejati. Pengetahuan tentang cara atau batas setiap persoalan merupakan prasyarat dari keadilan, tetapi berbeda dengan Aristoteles, ia berpedanapat bahwa keadilan merupakan fungsi kehendak Ilahiah bukan sekedar pemikiran rasional dan sikap kehati-hatian.
Seorang raja, sebagai khalifah Tuhan, dapat melaksanakan kebijaksanaan secara terinci sesuai dengan keadaan waktu dan tempat tanpa merusak nilai-nilai kehendak ilahiah. Aristoteles mengakui kebajikan secara samar-samar dalam bentuk kebebasan yang tidak sempurna. Ia berpendapat bahwa hal itu berarti memberi “orang yang layak, dalam proporsi dan waktu yang tepat.”
Sedang bagi ibn Miskawaih, hal itu merupakan keberlihan terhadap keadilan dan dapat menghilangkan segala kemungkinan meremehkan keadilan itu sendiri, asalkan efek prasangkanya terbatas pada aorang yang baik itu saja, dan penerima itu sendiri merupakan suatu pilihan yang layak untuk itu.
Dengan demikian, kemurahhatian merupakan suatu bentuk keadilan yang aman dari gangguan. Begitu pula cinta, menurutnya, bukanlah perluasan dari cinta diri, sebagaimana dikemukakan Aristoteles, tetapi suatu batasan dari cinta diri dan cinta untuk yang lain.
Ia memandang rasa cinta (mahabbah)sebagai kapasitas fitrah untuk bersekutu dengan manusia secara umum, tetapi membatasi persahabatan (shadaqah) pada beberapa individu, dengan mendasarkan pada pertimbangan kuntungan, kesenangan, atau kebaikan sebagaimana dicerap oleh Aristoteles.
Cinta (‘Isyq) yang merupakan hasrat berlebihan terhadap kesenangan - pertimbangan keuntungan bertentangan dengan cinta - tak dapat melampaui dua individu. Obyek cinta hewani yakni kesenangan, sedang obyek cinta spiritual yakni kebajikan atau kebaikan. Cinta hewani adalah tercela dan diharamkan, sedang cinta ruhani patut dipuji.
Dia menyebutkan secara spesifik cinta manusia kepada Tuhan, cinta murid kepada guru dan cinta anak kepada orang tua secara bertingkat-tingkat sebagaimana ditunjukkan di atas. Ia menyimpulkan bahwa keadilan dapat mewujud melalui rasa takut dan kekuatan, sedang cinta kasih merupakan suatu sumber alami kesatuan, sehingga, keadilan tidak diperlukan bila cinta kasih telah unggul.
Dengan demikian, cinta kasih berdaulat, sedangkan keadilan adalah wakilnya.
Sebagaimana dalam al-Fauz al-Asghar, dalam Tahdzib al-Akhlak (Hal.195 – 96) pun, Miskawaih menentang segala bentuk kehidupan kepertapaan, karena kepertapaan “menjauhkan diri dari segala kebajikan moral yang telah disebut di atas.
Bagaimana bisa orang ayng memisahkan diri dari orang lain dan hidup menyendiri menjadi bersahaja, adil, murah hati atau berani? Apakah ia itu bukan organik dan tidak mati?” kebahagiaan ilahiah merupakan tujuan akhir dan kebaikan manusia. Kebahagiaan ilahiah dimiliki oleh bagian suci manusia. Ia merupakan kebaikan sejati, sedang akal merupakan kebaikan pertama.