Risiko gharar dan maysir
RISIKO, bagi sebagian orang merupakan satu kata yang menakutkan. Respon pertama terhadap risiko adalah HINDARI. Tidak ada yang salah terhadap respon tersebut karena secara naluri manusia cenderung menginginkan hasil yang baik dan menghindari akibat yang buruk.
Masalahnya adalah manusia dalam mempertahankan eksistensi kehidupannya harus melakukan aktivitas. Tanpa aktivitas, tidak mungkin diperoleh hasil yang baik. Sebaliknya, pada setiap aktivitas terkandung risiko terjadinya akibat yang buruk. Sebagai contoh, untuk memperoleh kehidupan yang baik seseorang harus bekerja. Aktivitas bekerja memberikan keuntungan finansial, karir, prestise pada gilirannya membutuhkan sesuatu yang dikorbankan, seperti hilangnya waktu untuk bersenang-senang, gangguan kesehatan, hingga kemungkinan hilangnya pekerjaan. Pengorbananan yang mungkin diderita itulah yang disebut sebagai risiko. Dalam hal ini risiko merupakan konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan.
Risiko diawali dengan adanya ketidaksempurnaan informasi atas berbagai aspek dalam proses pengambilan keputusan dan hasilnya. Sehingga, dikatakan bahwa “risk comes from not knowing what you are doing” ketidak sempurnaan informasi akan mendatangkan ketidak pastian. Bahkan, ketidak pastian itu sendiri melekat pada hidup dan kehidupan kita didunia. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi besok bukan hanya masalah untung atau rugi didunia, bahkan kepastian apakah akan masuk surga sebagai puncak keberuntungan manusia atau masuk neraka sebagai puncak kerugian pun juga tidak ada yang tahu. Tidak ada jaminan bahwa usaha atau ikhtiyar pasti selalu mendatangkan keuntungan. Pasti ada setelah terjadi. Ketika belum terjadi, yang ada adalah ketidakpastian. Dengan pemahaman ini, maka benarlah bahwa “risiko adalah takdir Allah”, hanya Allah semata yang mengetahui apa yang akan terjadi besok. “setiap manusia harus menyadari bahwa risiko dan ketidakpastian yang menyebabkan terjadinya risiko adalah bagian dari rahasia Allah Ta’ala.
Manusia diberikan kelapangan seluas-luasnya untuk melakukan transaksi muamalah selama tidak ada dalil yang melarang nya. inilah indahnya islam. Manusia diberikan koridor dalam melakukan transaksi muamalah. Kebebasan yang ada bukanlah kebebasan yang mutlak, seperti pada sistem ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koridor batasan yang ditetapkan oleh syariat tidak menghilangkan kebebasan manusia dalam bermuamalah, seperti pada sistem ekonomi sosialis. Batasan-batasan yang diberikan islam adalah dalam rangka menghilangkan dan mencegah kemudharatan. Segala unsur yang berpotensi menciptakan kemudaratan dan kedhaliman pasti dilarang dalam islam. apalagi jika nyata-nyata menimbulkanya, seperti larangan adanya riba, gharar, (ketidakjelasan), maysir(judi), tadlis(penipuan), batil, dan pemaksaan.
Penjelasan tentang risiko, gharar dan maysir diharapkan akan memberikan pencerahan dalam bersikap untuk menghadapi resiko. Oleh karena itu kami membuat makalah ini dengan judul “risiko, gharar dan maysir” agar mampu meberikan manfaat bagi pembaca.
1. Risiko.
Pengertian Resiko.
Risiko merupakan bahaya: resiko adalah ancaman atau perlindungan suatu tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai. Resiko juga merupakan peluang: resiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan.
Kata kuncinya adalah “tujuan” dan “dampak/sisi yang berlawanan” Penjelasannya adalah sebagai berikut: guna mempertahankan eksistensi kehidupan, maka diperlukan suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan, diperlukan tindakan atau aktivitas. Aktivitas memiliki resiko jika dampaknya berlawanan. Sebaliknya, aktivitas memberikan peluang untuk memperoleh hasil yang diinginkan.[1]
Menurut PBI No. 13/25/PBI/2011 tentang penerapan manajemen resiko bagi BUS dan UUS. Resiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya peristiwa tertentu. Sementara itu, resiko kerugian adalah kerugian yang terjadi sebagai konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kejadian resiko. Kerugian itu bisa berbentuk finansial dan nonfinansial.[2]
Pembahasan selanjutnya adalah keterkaitan antara risiko dengan organisasi.Setiap organisasi pasti memiliki tujuan berupa visi dan misi yang ingin dicapai. Tujuan tersebut berpeluang untuk dicapai, tetapi derdapat juga risiko untuk tidak tercapai.Pembahasan risiko tidak terlepas dari pembahasan tentang tingkat kemungkinan risiko terjadi (frequency of risk events) dan tingkat dampak kerugian dari resiko yang terjadi (impct/severity of risk losses).
Risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain “kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko. Dan jika kita kaji lebih lanjut “kondisi yang tidak pasti” itu timbul karena berbagai sebab, antara lain:
- Jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu berakhir. Makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastiannya.
- Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan.
- Keterbatasan pengetahuan/ keterampilan/ teknik mengambil keputusan.
- Dan sebagainya.[3]
Jenis-jenis Risiko.
Pengelompokan risiko menjadi sangat penting, karena setiap kegiatan usaha baik perseorangan sebagai suatu badan akan selalu berhadapan dengan risiko tersebut. Secara umum risiko dapat dikelompokkan menjadi risiko spekulatif (speculative risk) dan risiko murni (pure risk).
Risiko spekulatif adalah risiko yang mengandung dua kemungkinan, yaitu kemungkinan yang menguntungkan utau kemingkinan yang merugikan. Risiko ini biasanya berkaitan dengan risiko usaha atau bisnis. Contoh: perjudian, pembelian saham, pembelian valuta asing, saving dalam bentuk emas, perubahan tingkat suku bunga perbankan. Risiko murni adalah risiko yang hanya mengendung satu kemungkinan, yaitu kemungkinan rugi saja. Contoh: bencana alam seperti babjir, gempa, gunung meletus, tsunami, tanah longsor, topan, kebakaran, resesi ekonomi dan sebagainya.
Risiko dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab terjadinya atau dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan penyebab terjadinya, risiko dibagi menjadi dua, yakni risiko nonbisnis dan risiko bisnis. Risiko nonbisnis muncul dari berbagai faktor yang yang tidak terkait dengan bisnis yang dijalankan, namun dampaknya akan mempengaruhi bisnis, seperti kebakaran, banjir, dll. Risiko jenis ini termasuk risiko jenis murni. Sedangkan risiko bisnis muncul karena proses bisnis yang dilakukan, seperti kesalahan saat membuat perencanaan, kurangnya informasi saat pengambilan keputusan atau kurang optimalnya pengelolaan.
Sementara itu, berdasarkan dampaknya, risiko dibagi menjadi dua. Pertama, risiko yang dampaknya hanya ditanggung oleh proyek atau bank atau instansi tertentu, terisolasi dan tidak merembet pada proyek atau institusi lain. Risiko ini disebut dengan risiko unik, risiko nonsistematis (unsystematic risk). Risiko ini terjadi akibat faktor yang ada dan terjadi pada bank atau institusi atau proyek tertentu, dan tidak ada selainnya. Kedua, risiko yang dampaknya menyebabkan terjadinya efek domino, yakni menyeret proyek atau proses atau institusi atau sektor atau bahkan negara lain untuk terkena dampak risiko tersebut, atau berdampak pada keseluruhan pasar atau sistem yang ada. Risiko ini muncul sebagai akibat adanya faktoe risiko bersama di pasar dan terjadinya hubungan interdependensi antar-unit atau institusi atau sektor ekonomi.
Faktor risiko ini umumnya terkait dengan variabel makro-ekonomi atau kondisi sektoral atau geografis atau indikator pasar lainnya. Risiko ini disebut risiko pasar karena risiko ini berdampak pada semua institusi atau proyek yang ada dalam cakupan pasar atau sektor atau geografis tertentu, risiko ini tidak mungkin dapat dihilangkan dengan pendekatan diversifikasi portofolio investasi, kecuali jika keluar dari cakupan tersebut. Karenanya, risiko pasar ini disebut dengan risiko yang tidak diversifikasi (undiversifikasi risk), risiko sistematis (systemic risk).[4]
Faktor-faktor Risiko.
Risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya peristiwa yang menyimpang dari apa yang diharapkan. Tetapi, penyimpangan ini baru akan nampak bilamana sudah berbentuk suatu kerugian. Jika tidak ada kemungkinan kerugian, maka hal ini tidak ada risiko. Jadi faktor yang menyebabkan terjadinya suatu kerugian adalah penting dalam analisis risiko.
Terdapat dua faktor yang bekerja sama menimbulkan kerugian adalah becana (perils) dan bahaya (hazards). Bencana adalah penyebab penyimbangan peristiwa sesungguhnya dari yang diharapkan. Bencana ini merupakan penyebab langsung terjadinya kerugian. Kehadirannya menimbulkan risiko yang menyebabkan teejadinya kemungkinan penyimpangan yang tidak diharapkan. Lingkungan kita selalu dihadapkan dengan bencana-bencana, seperti: banjir, tanah longsor, gempa, gelombag laut yang tinggi, gunung meletus, kebakaran, pencurian, perampokan, lematian dan masih banyak yang lainnya.
Bahaya adalah keadaan yanng melatar belakangi terjadinya kerugian oleh bencana tertentu. Bahaya meningkatkan risiko kemungkinan terjadinya kerugian. Keadaan-keadaan tertentu disebut bahaya, misalnya: mengendarai mobil di jalan raya terlalu kencang, mendirikan bangunan yang tinggi tanpa dilengkapi dengan alat pengaman, kondisi hujan badai dan sambaran petir.
Bahaya dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: bahaya fisik (physical hazard), adalah aspek fisik dari harta yang terbuak dari risiko. Misalnya, lokasi sebuah gedunng mempengaruhi kepekaannya terhadap kerugian, karena terbakar atau terkena gempa. Bahaya moral (moral hazard) juga mempengaruhi kemungkinan kerugian, contoh: ketidakjujuran adalah bahaya moral yang dapat meningkatkan kemungkinan risiko. Bahaya morale (morale hazard) adalah bahaya yang ditimbulkan oleh sikap ketidak hati-hatian dan kurangnya perhatian sehingga meningkatkan terjadinya kerugian, seperti membuang putung rokok sembarangan sehingga dapat menimbulkan kebakaran. Bahaya karena hukum atau peraturan (legal hazard), yaitu suatu bahaya yang timbul karena mengabaikan undang-undang atau peraturan yang telah ditatapkan.
Sumber-sumber Risiko.
Risiko sosial, yang sumber utamanya adalah masyarakat. Artinya, tindakan orang-orang mencipkatan kejadian yang menyebabkan penyimpangan kerugian. Misalnya: pencurian, vandalisme, huru-hara, peperangan, dan sebagainya.
Risiko fisik, yang sumber utamanya sebagian merupakan fenomena alam dan sebagian karena tingkah laku manusia. Kebakaran adalah penyebab utama cidera fisik, kematian maupun keruakan harta. Kebakaran dapat disebabkan leh petir, konsluiting kabel, gesekan benda maupun kecerobohan manusia.
Risiko ekonomi, misalnya: inflasi, resesi, fluktuasi harga dan lain-lain. Selama periode inflasi daya beli uang merosot. Para pensiunan dan mereka yang berpenghasilan tetap, tidak mungkin lagi dapat mempertahankan tingkat hidup sebagaimana biasanya. Bahkan pada periode ekonomi yang relatif stabil, daerah-daerah tertentu mungkin mengalami boom arau resesi. Keadaan ini menempatkan orang-orang dan pengusaha pada risiko yang sama dengan risiko pada fluktuasi umum kegiatan ekonomi.[5]
Risiko sebagai fitrah bisnis.
Islam merupakan agama fitrah yang komplit dan menyeluruh. Oleh karena itu, tidak ada satupun urusan fitrah manusia yang luput dari perhatian agama islam. Tidak ada sesuatu pun, dalam urusan dunia maupun akhirat, kecuali Islam telah menjelaskan perkaranya. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna mengatur segala aspek kehidupan manusia. Syariatnya mengatur hubungan manusia dengan Allah Ta’ala, hubungan manusia dengan pribadinya sendiri, keluarganya, dan sesama manusia dalam bentuk muamalah (sosial) demi kemasylahatan hidup mereka.
Kegiatan bisnis merupakan salah satu fitrah dari manusia karena dengan berniaga menusia dapat memenuhi berbagai kebutuhannya. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam bisnis adalah keuntungan dan kerugian, dengan demikian risiko itu sendiri merupakan fitrah yang senantiasa melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, Islam tidak mengenal adanya transaksi bisnis yang bebas risiko.
Para ulama telah bersepakat bahwa terdapat dua kaidah penting yang harus diperhatikan dalam menjalani bisnis dan setiap transaksi usaha, yaitu kaidah al-kharaj bidh dhaman (pendapatan adalah imbalan atas tanggungan yang diambil) dan al-ghunmu bil ghurmi (keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian). Maksud dari kedua kaidah tersebut adalah orang yang berhak mendapatkan keuntungan adalah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian (jika hal itu terjadi). Keuntungan merupakan kompensasi yang pantas atas kesediaan seseorang menanggung seluruh risiko terkait barang dagangannya (kerusakan barang sebelum terjual, kehilangan barang dagang, tidak laku, dan lain sebagainya).
Pendekatan dalam mengakui risiko.
Sebagian respon atas suatu risiko adalah fobia dan semaksimal mungkin menghindari berbagai faktor pemicu risiko tersebut. Sebagian merasa tidak mungkin aman dari risiko. Mereka hidup bersama risiko. Maksimal yang mereka bisa lakukan adalah memitigasi keterjadian dan dampak yang ditimbulkannya. Berbagai pendekatan dilakukan mulai dari pencegahan, mitigasi dampak, mentransfer risiko, membagi risiko dan menerima risiko.
Mencegah dan meminimalkan risiko dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pengendalian internal, mengubah proses bisnis, atau mengganti elemen yang berbahaya (termasuk melakukan rotasi pegawai). Berikut adalah manfaat jika mapu mengelola risiko dengan andal dan profesional:
· Dapat terhindar dari berbagai kerugian yang tidak diperlukan, menghemat biaya, terjaminnya kestabilan laba yaang diharapkan, dan terhindarnya dari kegagalan bisnis dan kebangkrutan usaha.
·
Keberlangsungan bisnis lebih terjamin, terciptanya pertumbuhan yang berkelanjutan, penggunaan terbaik (best use) atas sumber daya, dan memungkinkan fokus pada pemberian layanan yang terbaik dan inovasi.
·
Proses bisnis berjalan sesuai rencana, jika terjadi penyimpangan dan gangguan operasi, dapat segera mengantisipasi dan memberikan solusi tepat waktu dan tepat guna.
· Terbangunnya reputasi positif di mata masyarakat.[6]
2. Gharar.
Pengertian Gharar.
Secara bahasa gharar barmakna “khatar”, yakni mengandung bahaya, atau bisa juga bermakna “ khida”, yakni menipu. Secara terminologi, definisi gharar merujuk pada ketidakpastian yang dapat menyakibatkan seseorang berada dalam bahaya. Maksud ketidak pastian dalam transaksi muamalah ialah “terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan hanya boleh menimbulkan rasa ketidak adilan serta penganiayaan kepada pihak lain. Menurut Ibn Rush maksut al-gharar ialah “kurangnya maklumat tentang keadaan barang (objek), wujud keraguan pada kewujudan barang, kuantiti, dan maklumat yang lengkap terhubungnya dengan harga. Ibnu tamiyah menyatakan al-gharar itu ialah apabila satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang sepatutnya dia dapatkan.
Al-gharar ditaqrifkan dalam kitab Qalyubi wa Umairah menyatakan madhab Imam Al-Shaffi mendefinisikan Gharar sebagai, “suatu (aqad) yang akibatnya tersembunyi daripada kita atau perkara diantara dua kemungkinan dimana yang paling kerab berlaku ialah yang paling ditakuti”. Syaiful Azhar Rosly menyatakan, “Gharar yang dimaksut resiko dan ketidak pastian yang puncak dari perbuatan manipulasi manusia mengakibatkan kemudharatan keatas pihak yang di dzalimi. Umpamanya dalam jual beli mobil bekas, pembeli tidak dibertau tentang keadaan sebenarnya kendaraan tersebut. Setelah selesai perjanjian jual beli, Gharar dalam objek jual beli itu boleh dijadikan alasan membatalkan kontrak. Ini karena Gharar itu berasal dari perbuatan dzalim yang disengaja.
Gharar secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subjek dan objek akad. Gharar adalah semua jual beli yang mengandung ketidak jelasan atau keraguan tentang adanya komoditas yang menjadi objek akad, Ketidak jelasan akibat dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi ( pertaruhan / perjudian).
Dalam al-Quran tidak ada nash secara khusus yang mengatakan tentang hukum gharar akan tetapi secara umum dapat dimasukan dalam surat al-Baqarah yang artinya;
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan yang batil. (Q.S. Al-Baqarah: 188)
Mengenai dilarangnya jual beli gharar oleh Rasulullah didapati hadis yang berhubungan dengan hal tersebut yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat antara lain;
Dari Abi Hurairah berkata: Rasullulah telah melarang jual beli hasah dan jual beligharar.[7]
Konsepsi gharar.
Konsep dasar yang berkaitan dengan konsep gharar antara lain: (1) Game, Sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qash al-ribh (transaksi dengan keuntungan). (2) Zero sum game (permainan dengan hasil bersih nol)
Konsep permainan yang hanya menghasilkan output win- lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak atau secara terbalikkkerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain.
Menurut Friedman (1990 h.20-21 ) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak pihak yang tidak ada kerja sama. Disinilah terletak adanya unsur Gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero sum-game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergeraannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kntrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong perilaku spekulatif. Disampig itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidak seimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.[8]
Pembagian Gharar.
Gharar dalam sighat akad (bentuk transaksi), yaitu Gharar dalam sighat akad (bentuk transaksi) mempunyai arti bahwa akad atau transaksi yang terselanggara didalamnya terdapat gharar. Atau dalam artian gharar tersebut berhubungan langsung dengan akad tidak pada benda yang diakadkan. Adapun macam-macam gharar dalam sighat akad atau gharar yang terdapat dalam bentuk transaksi antara lain meliput : Dua jual beli dalam satu jual beli, Jual beli Urban, Jual beli Munabazah, Jual beli Hasah, Jual beli Mulamasah, Aqad yang digantungkan dan akad yang disandarkan.
Gharar dalam benda yang berlaku padanya akad/benda yang ditransasikan. Gharar didalam barang yang dijual atau mahalul aqdi termasuk juga harga maka dapatlah dikembalikan jika: Ketidakjelasan Pada Zat Yang Ditransaksikan, Ketidakjelasan Pada Jenis Benda Yang Ditransaksikan, Ketidakjelasan pada macam barang yang ditransaksikan, Ketidakjelasan pada sifat benda yang ditransaksikan, Ketidakjelasan pada kadar benda yang ditransaksikan, Ketidakjelasan pada tempo penentuan harga, Tidak adanya kemampuan menyerahkan benda yang ditransaksikan, Transaksi pada benda yang tidak ada, tidak bisa melihat benda yang ditransaksikan.[9]
Ditinjau dari hukum keharaman dan kehalalanya, Macam-macam gharar dalam jual beli terbagi menjadi tiga: (1) Bila kuantitas banyak, hukumnya dilarang berdasarkan ijma’. Seperti menjual ikan masih dalam air dan burung yang masih diudara. (2) Bila jumlahnya sedikit, hukumnya dibolehkan menurut ijma’ seperti pondasi rumah (dalam transaksi jual beli rumah) isi bagian dalam pakaian dan sejenisnya. (3) Bila kuantitasnya sedang-sedang saja, hukumnya masih diperrdebatkan. Namun parameter untuk mengetahui banyak sedikit kuantitas, dikembalikan kepada kebiasaan.[10]
Gharar dan Tadlis.
Gharar biasanya merujuk pada muamalah antar manusia, misalnya dalam berinteraksi jual beli (bai’), utang-piutang (qard), sewa-menyewa (ijarah) wakalah dan syirkah. Ketidaksempurnaan informasi ini bisa muncul secara alami dan tidak ada unsur kesengajaan dari pihak yang bertransaksi. Inilah definisi gharar. Jika terdapat unsur kesengajaan dari salah satu pihak untuk memanipulasi informasi atau menyembunyikannya maka ini disebut dengan tadlis (penipuan) islam melarang adanya gharar dan tadlis dalam ransaksi. Gharar dan tadlis pasti berujung pada kezaliman dan ketidakadilan. Islam datang untuk memerangi keduanya. Jika ada transaksi yang mengamdung unsur gharar atau tadlis, maka transaksi tresebut akan menjadi rusak atau batal.
Terkait dengan unsur kesengajaan ini, sebagian orang membagi risiko menjadi dua , yakni risiko alamiah (natural risk) dan risiko sintetis (synthetic risk). Dalam konteks di atas, risiko alamiah merujuk pada gharar yang tetap melekat pada kontrak, meskipun telah berusaha dihilangkan, dan kalaupun dihilangkan dapat mendatangkan kenudaratan tebih besar dibandingkan membiarkan gharar tersebut tetap ada. Lazimnya, ini unttuk gharar yang bersifat ringan dan dapat diabaikan. Namun, bila gharar tersebut bersifat berat dan dapat dihilangkan dalam konrrak, namun sengaja dibiarkan, maka ini termasuk dalam risiko sintetis.[11]
PerbedaanGharardenganGhurm/Risiko
Gharar (ketidakjelasan) danGhurm (risiko) adalahduaelemen yang berbeda. Gharar adalah elemen yang diharamkan dalam jual beli sementara ghurm adalah salah satu justifikasi kenapa keuntungan dalam jual beli itu sesuatu yang baik. Dalam kaedah fiqh dikenali stilah (Al-ghunmu bil ghurmi) setiap keuntungan mesti diikuti sebuah risiko.
Penjelasan lanjutan tentang Ghurm dilengkapkan dengan firman Allah SWT :[12]
Bermaksud, "Untuk kebiasaan kaum Quraisy, Yaitu kebiasaan mereka dengan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, hendaklah mereka menyembah Tuhan Rumah ini, yang menyediakan mereka makanan untuk melawan kelaparan, dan dengan keamanan terhadap takut bahaya"
Pada zaman itu, ada dua jenis kontrak komersial yang dapat diamalkan di dalam perdagangan yang dilakukan kabilah Quraisy, yaitu mudarabahdan al-bay’. Pada kontrak yang pertama, orang-orang Mekah selalu menunggu kedatangan kabilah dengan harapan penuh pada keuntungan dalam perdagangan melalui mudarabah al-Qirad.
Perdagangan yang dilakukan kabilah tersebut tidaklah mudah dan selalu mengalami kerugian. Barang dagangan kadang-kadang hancur sebelum sampai kepasaran. Ribut pasir, penyakit dan rompakan di jalan serta masalah-masalah yang timbul menjejaskan lagi perjalanan kabilah tersebut dan mengangu kelancaran perniagaan mereka. Hal-hal tersebut adalah risiko perdagangan yang tidak mampu dihindari. Risiko seperti inilah yang disebut Al-ghurm. Sedangkan gharar muncul jika terdapat ketidakjelasan dalam jenis barang yang diperdagangkan, atau ketidakjelasan harga suatu barang atau servis.
keterangan
3. MAYSIR.
Konsep maysir.
Halyang dilarang dalam islam selain gharar adalah maysir. Maysir atau qimar secara harfiah bermakna judi (spekulasi). Secara teknis adalah setiap permainan yang di dalamnya di syaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yangkalah untuk pihak yang menang. Definisi judi (maysir atau qimar) menurut Ibrahim Anis dkk. Dalam al-mu’jam al-wasith hal. 758, judi adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang di ambil dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang.
Menurut Muhamad Ali biAsh-Sabuni dalam kitab tafsirnya rawa’i Al-Bayan fi Tafsir Ayat Al-Ahkam ( 1/279), judi adalah setiap permainan yang menimbulkan keutungan (ribh) bagi satu pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya.
Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga dapat disimpulkan sebuah definisi judi yang menyeluruh, yaitu judi merupakan segala permainan yang mengandung unsur taruhan (harta atau materi) dimana pihak-pihak yang menang mengambil harta atau materi dari pihak yang kalah. Untuk bisa dikatagorikan sebagai judi harus ada tiga unsur yang harus dipenuhi :
1. Adanya taruhan harta atau materi yang berasal dari kedua belah pihak yang berjudi.
2. Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah.
3. Pihak yang menang mengambil harta ( sebagian atau seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya.
Judi ini bisa dilakukan dengan bandar (penyelenggara) atau tanpa bandar. Baik penyelenggara pihak swasta ( misalnya bandar judi kapal pesiar untuk judi ), maupun pemerintah (misalnya Departemen Sosial). Sama saja apakah dana yang terkumpul untuk tujuan pembangunan, olahraga, sosial, atau yang lainya
Istilah lain dari judi adalah spekulasi, hal ini bisa terjadi dalam bursa saham. Setiap menitnya selalu saja terjadi transaksi spekulasi yang sangat merugikan si penerbit saham. Setiap perusahaan yang memiliki right issue selalu didatangi para spekulan. Ketika harga saham suatu badan usaha sedang jatuh maka spekulan buru-buru membeliya sedangkan ketika harga naik para spekulan menjualnya kembali atau melepas kepasar saham. Hal ini sering membuat indeks harga saham gabungan menurun dan memperburuk perekonomian bangsa.[13]
Dalil-dalil Pengharaman Maisir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersada :
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ
“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”, maka hendaknya ia bershodaqah.”
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya qimar/maisir dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh.[14]
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dan al-Qimaar
Para ulama berselisih dalam masalah ini dalam dua pendapat: pertama, Al-maisir (perjudian) dan al-qimar adalah sinonim. Pendapat kedua, Keduanya tidak sinonim. Perbedaannya adalah:Al-qimar adalah saling mengalahkan dan spekulatif pada harta. Al-maisir (perjudian) mencakup semua jenis mukhatharah (spekulasi), baik dalam pertukaran (mu’awadhah) atau bukan.
Terkadang, ada pertukaran harta dan terkadang tidak ada. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullahu-–mengikuti pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah–, menyatakan,
اَلسَّلَفُ كَانُوْا يُعَبِّرُوْنَ بِالَمَيْسِرِ عَنْ كُلِّ مَا فِيْهِ مُخَاطَرَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَلَمْ يَشْتَرِطُوا الْمَالَ فِي الْمَيْسِرِ
Para salaf dahulu, mengungkapkan semua yang ada mukhatharah (spekulasi) yang diharamkan dengan ungkapan al-maisir (perjudian), dan mereka tidak mensyaratkan adanya harta dalam al-maisir (perjudian).
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dengan al-Gharar.
Definisi al-gharar dan al-maisir (perjudian) tampak sekali hampir sama. Oleh karena itu, para ulama menyebut keduanya adalah sinonim atau salah satunya bagian dari yang lain. Namun kesamaan ini tidak berarti sama dalam pengertian keduanya. Hal itu karena sebagian jenis al-gharar tidak dapat dinamakan al-maisir (judi). Karenanya, kata al-maisir (الميسر) lebih khusus dari kata al-gharar (الغرر). Dengan demikian, setiap al-maisir adalah al-gharar, dan tidak semua al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah yang mengandung gharar terkadang tidak mengandung unsur judi.
Dr. adh-Dharir menyatakan, “Contohnya adalah: muamalah yang berhubungan dengan ketidakjelasan pondasi tembok atau buah yang belum jadi. Ini semua termasuk al-gharar, namun bukan al-maisir.”[15]
Risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain “kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko.
Ketidaksempurnaan informasi ini bisa muncul secara alami dan tidak ada unsur kesengajaan dari pihak yang bertransaksi. Inilah definisi gharar. Jika terdapat unsur kesengajaan dari salah satu pihak untuk memanipulasi informasi atau menyembunyikannya maka ini disebut dengan tadlis (penipuan) islam melarang adanya gharar dan tadlis dalam transaksi.
Maysir atau qimar secara harfiah bermakna judi (spekulasi). Secara teknis adalah setiap permainan yang di dalamnya di syaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang kalah untuk pihak yang menang. Setiap al-maisir adalah al-gharar, dan tidak semua al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah yang mengandung gharar terkadang tidak mengandung unsur judi.
Islam mengajarkan kaidah “la darara wa la dirara”. Kita tidak diperbolehan untuk melibatkan diri kita dalam suatu kemudaratan yang akan merugikan atau membinasakan diri kita sendiri tanpa adanya usaha untuk meminimalkan kemudaratan tersebut. Bahkan dalam surat Al Baqarah ayat 95, Allah berfirman, “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Kaidah ini mendorong untuk lebih berhati-hati dalam mengelola kegiatan usaha sehingga setiap risiko yang belekat pada kita dapat diminimalisasi dan dikelola dengan baik.