Jual Beli Shahih Dan Bathil


JUAL BELI SHAHIH DAN BATHIL

Jumhur ulama membagi akad menjadi 2, yaitu sebagai berikut:

1) Akad yang sah (shahih), adalah akad yang memenuhi ketentuan syarat dan rukunnya. 2) Akad yang tidak sah (ghairu shahih), adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya, dan akad yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun tersebut termasuk akad yang batil (batal) dan fasid (rusak). -Batil (batal) dan fasid (rusak) memilki makna yang sama.

Ulama Hanafiyah membedakan antara akad yang bathil (batal), dan akad yang fasid (rusak) :

1) Jual beli bathil (batal) adalah jual beli yang tidak sesuai dengan rukun dan akadnya (ketentuan asal/pokok dan sifatnya). Seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak sesuai (karena tidak sesuai dengan syarat dan rukun), contohnya: akad yang dilakukan anak kecil yang belum mumayis dan orang gila atau jual beli sesuatu yang tidak berharga seperti bangkai, atau jual beli barang yang dilarang seperti khamar.

-Menurut Abu Hanifah, jual beli yang batal tidak menjadikan pertukaran kepemilikan karena rusak jual belinya. 2) Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai ketentuan syara’ asal/pokok (syarat dan rukun), tetapi tidak sesuai dengan ketentuan syara’ pada sifatnya. Seperti jual beli yang meragukan, contohnya jual beli sebuah rumah diantara banyak rumah, tetapi belum diketahui rumah mana atau rumahnya tidak jelas milik siapa. -Hukumnya : terjadi pertukaran kepemilikan dengan izin pemilik barang secara transparan, menandakan telah terjadi penyerahan dalam majlis akad yang terjadi langsung didepan penjual tanpa menutupinya.

Cara membedakan fasid dan batil dapat dilihat dari :

1) Apabila kerusakan berhubungan dengan, komoditi (barang) berarti bai’nya bathil. 2) Apabila kerusakan berhubungan dengan harga berarti fasid .

MACAM-MACAM JUAL BELI BATHIL

-Ada Tujuh Macam, Sebagaimana Berikut Ini :

1. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Ada (Bai’ Ma’dum) Bai’ ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada) yang didalamnya terdapat unsur ketidakjelasan adalah bathil. Seperti menjual anak unta yang masih dalam kandungan dan menjual buah yang masih dipohon (belum matang), karena Nabi SAW melarang jual beli anak ternak yang masih dalam kandungan dan juga melarang jual beli air susu yang masih diteteknya (bisa kelihatan besar, ternyata isinya lemak) dan melarang pula jual beli buah yang masih dipohon (belum matang).

Contoh-contoh lain jual beli yang tidak ada barangnya: Jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya, jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya, dan jual beli kitab sebelum mencetaknya. Semua jenis jual beli tersebut adalah batal menurut Syafi’iyah dan Hanabilah; karena pada akad-akad tersebut terkandung unsur ketidakjelasan.

Menurut Hanafiyah kecuali Abu Yusuf: jual beli mutiara yang masih dalam rumah kerangnya dan jual beli bulu domba (wol) yang masih berada pada kambingnya adalah fasid (rusak). Taimiyah (Hambali) dan Ibnu Qayim memperbolehkan jual beli ma’dum, apabila dapat dipastikan akan ada, karena tidak disebutkan dalam nash jual beli seperti itu dilarang, yang ada hanya jual beli gharar. “tidak ada sebab yang melarang jual beli yang tidak ada wujudnya/barangnya”

2. Jual Beli Yang Barangnya Tidak Dapat Diserahkan Pada Pembeli (Bai’ Ma’jus Taslim) Empat mazhab bersepakat menetapkan bahwa sesungguhnya tidaklah terjadi akad jual beli ma’juz at-tasliim ketika berakad, sekalipun harta/benda/barang tersebut adalah miliknya sendiri, seperti memperjualbelikan burung yang terbang dari pemiliknya. Walaupun bisa mendatangkan barang saat di majlis akad, tetap tidak dianggap boleh, karena ada unsure bathil.

Batalnya akad dapat pula terjadi apabila harga (barang pengganti) tidak dapat diserahkan; karena jika harga (barang pengganti) tersedia, maka barang jualan akan menjadi hak milik.

Dalil kebatilannya : karena Nabi SAW melarang jual beli Hashah (jual beli barang dimana pembeli menggunakan kerikil dalam jual belinya) jual beli Gharar (jual beli barang yang tidak diketahui rupa dan sifatnya). Dan itu menunjukan adanya ketidakpastian.

Dari Abi Sa’id al-Khudri RA sesungguhnya Rasulullah SAW melarang jual beli budak yang melarikan diri, jual beli binatang ternak yang masih dalam kandungan hingga lahir, dan jual beli air susunya, dan melarang jual beli kambing hingga terbagi. Ulama Hanafiah berpendapat walaupun penyerahannya langsung dalam majlis (tempat akad), tetap tidak diperbolehkan, karena ada unsur batil.

3. Jual Beli Hutang (Bai’ Dain)

Hutang itu seperti barang pengganti (harga) barang yang diperjualbelikan, menunjukan pinjaman, dan mahar sesudah maupun sebelum jima dengan istri. Sebagai pengganti biaya atas keuntungan yang diperoleh, dan dianjurkan terdapat sanksi dan denda yang merugikan, dan khulu’ dan tidak dapat dibantah. Disyariatkannya Jual Beli dengan hutang adakalanya pada waktu akad maupun nasi’ah (berhutang terlebih dahulu) Adapun jual beli nasi’ah (pembayaranya bertempo) adalah jual beli kredit dengan kredit atau hutang dengan hutang. Kala’(kredit) adalah yang pembayaranya diakhirkan, hal ini dilarang dan bathil menurut ijma’, karena ada unsure riba, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Daruqutni dari Ibnu Umar : sesungguhnya Anbi SAW melarang jual beli kredit dengan kredit. Dan pelarangan ini menunjukan fasidnya sesuatu yang dilarang tadi (jual belinya) walaupun yang bertransaksi adalah orang berhutang atau bukan orang yang berhutang.

Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang adalah seseorang berhutang kepada orang lain sebanyak 100 dinar, kemudian keduanya sepakat untuk menggantinya dengan 20 ritl (1 ritl kurang lebih 2564 gram) gula dari orang yang berhutang yang akan dibayar sebulan atau dua bulan kedepan, praktek ini disebut juga “merusak hutang dengan hutang” karena tanggungan penghutang yang awal telah rusak, diganti dengan tanggungan yang lain. Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang adalah seseorang berhutang sebanyak 100 dinar, kemudian uang itu dihutang lagi dan oleh orang lain, digunakan untuk membeli 50 ritl beras, dan di bayarkan kepadanya pada bulan depan.

-Jual beli yang pembayaranya tunai adalah sebagai berikut:

1. Apabila Jual beli hutang yang dilakukan oleh orang berhutang : Jumhur fuqoha membolehkanya selain Dhohiriyah, karena penghalang keabsahan jual beli hutang degan hutang ini terletak pada lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang, dan hal itu tidak dihajatkan pada jual beli hutang yang pembayarannya tunai ini, karena yang terkandung dalam tanggungan penghutang sudah diserahkan seluruhnya.

2. Apabila Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang : tidak diperbolehkan menurut Hanafiyah dan Dhohiriyah, karena lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang, atau karena hutang yang diserahkan tidak jelas ukuranya, kecuali jika orang yang berhutang tadi dengan sendirinya mempunya haq sebagai seorang pedagang.

Syafi’iyah dan Hanabilah juga tidak membolehkanya, karena lemah/kurang sempurnanya saat penyerahan barang dan harta ribawi yang terdiri dari uang, makanan menurut Syafi’iyah haram di gunakan untuk dijual belikan antara sebagian dengan sebagian yang lain.

Malikiyah membolehkan Jual beli hutang yang dilakukan oleh selain orang yang berhutang, dengan 8 syarat yang kemudian diringkas menjadi 2 syarat yang harus dipenuhi yaitu:

1. Hendaknya tidak menunjukan kepada jual beli yang dilarang oleh syar’I seperti gharar atau riba dan yang lainya. 2. Hendaknya memperkirakan hutangnya akan kembali 4. Jual Beli Gharar

Menurut bahasa makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) dan al khida’ (penipuan). Secara istilah adalah jual beli yang hukumnya terbatasi. Jadi bai gharar adalah jual beli yang mengandung spekulasi yang terjadi antara kedua orang yang berakad, menyebabkan hartanya hilang, atau jual beli sesuatu yang masih hambar, tidak jelas wujud atau batasanya, disepakati pelarangnnya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi SAW melarang jual beli Hashah dan jual beli gharar. (HR. Bukhari) Dari Ibnu Mas’ud : sesungguhnya Nabi SAW berkata : janganlah kalian membeli ikan yang ada di dalam air sesungguhnya itu gharar.

Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian. Gharar yang membatalkan aka adalah gharar wujud : yaitu setiap jual beli yang barangnya disangsikan akan keberadaanya (benar-benar ada atau tidak)

Nawawi berkata “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari ushul syar’I.” Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung., kecuali dalam dua perkara Imam An-Nawawi menyatakan, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya.

Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya. Jual beli yang termasuk gharar berdasarkan hadist yang berbunyi “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli muhaqallah , mukhadarah , mulammassah , munabazah , dan muzabanah ” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)

5. Jual Beli Najas Dan Mutanajas

Para Ulama bersepakat akan tidak adanya akad jual beli bagi khomer, babi, bangkai dan darah. Karena semuanya itu bukan termasuk maal. Sabda beliau SAW : sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-NYA mengharamkan jual beli khomer, bangkai, babi dan berhala. Jumhur ulama (selain Hanafiah) juga mengikutkan anjing dalam pengharanman jual beli ini. Berdasarkan hadist Abu Mas’ud Al Anshory : Nabi SAW melarang menjadikan anjing sebagai tsaman.” Jumhur juga meniadakan akad jual beli barang yang terkena najis, yang tidak mungkin dapat disucikan kembali, seperti minyak, madu dan samin yang didalamnya terdapat najis, dan dibolehkan apabila barang itu dapat disucikan, seperti kain.

Tidak dibolehkan juga bagi jumhur jual beli barang yang pada asalnya najis seperti pupuk (kotoran binatang) herbivora menurut Malikiyah. Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah yaitu kotoran (tinja) dan tulang bangkai beserta kulitnya.

Malikiyah membolehkan jual beli kotoran sapi, kambing, onta dan sejenisnya. untuk keperluan menggarap tanah atau yang lainya yang termasuk mendatangkan manfaat.

6. Jual Beli Dengan Uang Muka (Bai’ Urbun/DP)

Uang muka adalah seseorang membeli sesuatu kemudian menyerahkan kepada penjual sebagian dari harga barang itu berupa dirham atau sejenisnya dengan catatan apabila jual beli itu dilanjutkan, uang muka diperhitungkan sebagai bagian dari keseluruhan harga, sedangkan apabila jual beli tidak dilanjutkan, uang muka tersebut diberikan kepada penjual, dengan kata lain, apabila transaksi jual beli berlanjut, uang muka sebagai bagian dari harga barang, sedangkan apabila transaksi jual beli tidak berlanjut, uang muka menjadi pemberian dari pembeli kepada penjual.

Hukum jual beli dengan pembayaran uang muka (ba’i al-urbun) terdapat dua kelompok yang saling bertentangan yaitu kelompok yang menyatakan tidak sah dan kelompok yang menyatakan sah. Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli dengan sistem panjar/uang muka adalah jual beli yang terlarang dan tidak sah, ulama Hanafiah memasukkan dalam kategori jual beli fasid, sedangkan Syafiiyah dan Malikiyah menghukumi jual beli batal berdasarkan hadis Rasulullah saw. Sesungguhnya Nabi saw. melarang jual beli urbun (sistem uang muka)

Jual beli macam ini juga termasuk jual beli gharar, terlarang dan termasuk makan harta orang lain secara bathil, selain itu dalam jual beli sistem ini mengandung dua syarat yang fasad yaitu syarat hibah (pemberian uang muka) dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha Ulama hanabilah menghukumi jual beli dengan uang muka tidak apa-apa (boleh) berdasarkan riwayat Abd al-Razaq dalam Mushanafnya dari hadis Zaid bin Aslam bahwa Nabi saw. “ditanya tentang uang muka dan beliau menghalalkannya.”

Dan juga riwayat dari Nafi bin al-Harits pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah dengan empat ribu dirham, (dengan ketentuan) apabila Umar suka, barang yang dijual itu untuknya, apabila Umar tidak suka, empat ribu dirham itu untuk Shafwan

7. Jual Beli Air (Bai’ Maa’)

Air ada kalanya mubah atau ghoiru mubah. Mubah adalah air yang dimiliki oleh seluruh manusia dan mereka mengambil manfaat darinya, seperti : air laut dan sungai-sungai umum. Sabda Nabi SAW “Muslimin itu berserikat dalam tiga : air, rerumputan dan api.” Ghoiru mubah atau dimiliki adalah air yang termasuk dalam kepemilikan khusus, individu atau jama’ah. Dan air yang mengandung pengkhususan kepemilikan seperti penduduk suatu desa tertentu dan air yang dijaga di dalam bejana-bejana (dikemas).

Hukum menjual belikannya adalah boleh, kecuali dalam keadaan dhorurat (bahaya). Seperti : kehausan yang bisa menyebabkan kematian, maka wajib untuk memberinya air, apabila masih saja menghalanginya, maka sama saja ia membunuhnya.

Jumhur membolehkan jual beli air yang ghoiru mubah, seperti : air sumur, mata air, dan yang dikemas dll. Disejajarkan dengan kayu yang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dalam memperjual belikannya. Madzhab Dhohiriyah tidak menghalalkan jual beli air secara mutlak, karena Nabi SAW melarang jual beli air. Larangan menjualnya terjadi pula dalam keadaan khusus seperti : apabila jual beli air ini diniatkan untuk menyuburkan rerumputan yang ada di sekitarnya (sumur) dikarenakan penggembala akan membutuhkan air untuk gembalaanya.