Kedudukan BMT Dalam Lembaga Keuangan di Indonesia


Di Indonesia pada tahun 1990-an Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) sangat aktif melakukan pengkajian tentang pengembangan ekonomi Islam di Indonesia. Hasil diskusi oleh beberapa kalangan, diantaranya ICMI dan para ulama yang tergabung dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghendaki adanya lembaga keuangan syari’ah dan bebas dari unsur riba, salah satunya lembaga keuangan syari’ah adalah BMT (Baitul Maal wa Tamwil).

Karena keterbatasan jangkauan dari Bank terhadap usaha lapisan bawah, banyak para rentenir yang meminjamkan uangnya kepada pelaku usaha kalangan kecil dengan bunga yang tinggi. Hal ini sangat jelas mendhzolimi orang-orang yang lemah secara ekonomi. Kehadiran BMT (baitul maal wa tamwil) adalah untuk menghilangkan para rentenir, yang sangat jelas menjerat kalangan usaha kecil dan menengah dengan jeratan hutang yang berbunga tinggi.

Ketika Indonesia mengalami masa-masa sulit selama krisis ekonomi dan moneter, BMT banyak berperan hingga ke lapisan bawah. Dengan kata lain, BMT sering melakukan pendekatan dan bantuan kepada kalangan usaha kecil dan menengah untuk mendorong kemajuan usaha mereka.

Ketika BMT melakukan kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat yang berbentuk simpanan atau tabungan, tidak sedikit menjadi permasalahan, seperti yang terjadi pada dua BMT di lampung dan BMT Mentari di Kendal yang dituduh melakukan praktik bank gelap sehingga mereka diperiksa oleh pihak kepolisian. Manajer BMT Mentari sempat ditahan oleh polisi, dengan alasan karena BMT tersebut melakukan kegiatan usaha perhimpunan dana dari bukan anggota/nonanggota. Polisi beralasan hanya pihak bank yang boleh menghimpun dana dari masyarakat yang berbentuk simpanan. Sedangkan BMT dalam melakukan kegiatan usahanya mengacu pada UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pada Pasal 46 UU No.

10 Tahun 1998 tentang Perbankan memberikan ancaman pidana bagi pihak yang melakukan kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat yang berbentuk simpanan tanpa seizin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia. Begitu pula kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat yang berbentuk simpanan maupun investasi berdasarkan prinsip syari’ah dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 10 miliar dan paling banyak 200 miliar bagi pelakunya.

Kasus di atas disebabkan belum adanya payung hukum yang mengatur secara khusus tentang BMT. Menurut Neni Sri Imaniyati, saat ini status hukum BMT berbeda-beda, ada yang telah berbadan hukum seperti koperasi dan yayasan. Ada juga BMT tidak berbadan hukum, seperti bentuknya Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dan ada pula status hukum BMT yang tidak diketahui.

Rumusan masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimanakan kedudukan BMT dalam Lembaga Keuangan di Indonesia?

A. Definisi dan Fungsi BMT

Pengertian BMT bisa dilihat dari kata baitul maal dan baitul tamwiil, yaitu:

a. Baitut Tamwil (Bait = Rumah, at-Tamwil adalah Pengembangan Harta) melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.

b. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) menerima titipan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

Pengertian BMT di atas menegaskan bahwa BMT mempunyai dua jenis kegiatan, yaitu baitul tamwil dan baitul maal. Baitul Tamwil mengembangkan kegiatan usaha produktif dan investasi dalam rangka meningkatkan kualitas ekonomi para pengusaha kecil- menengah dengan mendorong kegiatan usaha menghimpun dana dan menyalurkannya kepada para pengusaha kecil-menengah. Sementara baitul maal menghimpun titipan dana zakat, infaq, dan shadaqoh, serta menjalankannya yang sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

B. Tujuan BMT (Baitul maal wa tamwil)

Peran BMT di Indonesia dalam memperdayakan kalangan ekonomi mikro cukup signifikan. Hal ini bisa dilihat dari data Kompilasi Data Gema PKM-Oktober 2004 dalam Artikel Bambang Ismawan dan Setyo Budiantoro, Mapping Microfinance in Indonesia, Jurnal Ekonomi Rakyat, Edisi Maret 2005 jumlah BMT adalah sebanyak 3.038 unit.

Peran BMT hanya menjangkau pada kalangan ekonomi mikro. Karena hal ini disebabkan pihak Bank sangat minim untuk menjangkau kepada kalangan ekonomi mikro. Tujuan BMT dapat berperan melakukan hal-hal berikut:

1. Membantu meningkatkan dan mengembangkan potensi umat dalam progam pengentasan kemiskinan.
2. Memberikan sumbangan aktif terhadap upaya pemberdayaaan dan peningkatan kesejahteraan umat.
3. Menciptakan sumber pembiayaan dan penyediaan modal bagi anggota dengan prinsip syari’ah.
4. Mengembangkan sikap hemat dan mendorong kegiatan gemar menabung.
5. Menumbuhkembangkan usaha-usaha yang produktif dan sekaligus memberikan bimbingan dan konsultasi bagi anggota di bidang usahanya.
6. Meningkatkan kesadaran dan wawasan umat tentang system dan pola perekonomian Islam.
7. Membantu para pengusaha lemah untuk mendapatkan modal pinjaman.
8. Menjadi lembaga keuangan alternative yang dapat menopang percepatan pertumbuhan ekonomi nasional.

C. Jenis-Jenis Usaha BMT

BMT dalam melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan mempunyai beberapa jenis usaha sebagai berikut:

1. Simpanan mudharabah biasa
2. Simpanan mudharabah haji
3. Simpanan mudharabah umrah
4. Simpanan mudharabah qurban
5. Simpanan mudharabah idul fitri
6. Simpanan mudharabah walimahan
7. Simpanan mudharabah aqiqah
8. Simpanan mudharabah perumahan

Sedangkan BMT dalam usaha menyalurkan dana kepada masyarakat berupa pembiayaan mempunyai beberapa jenis usaha sebagai berikut:

1. Pembiayaan sewa barang (Al-Ijaroh)
2. Pembiayaan modal kerja (Murabahah)
3. Pembiayaan bagi hasil (Mudharabah)
4. Pembiayaan kerjasama (Musyarakah)
5. Pembiayaan investasi (Bai bi tsaman Ajil)
6. Pembiayaan kebijakan (Qhardul Hasan)

D. Status Hukum BMT

Karena ketiadaan payung hukum bagi BMT, saat ini BMT ada yang telah berbadan hukum dan ada pula yang belum berbadan hukum. BMT yang berbadan hukum, pada umumnya menggunakan badan hukum yayasan dan koperasi. Sedangkan BMT yang belum berbadan hukum pada umumnya menggunakan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Dan ada beberapa BMT yang tidak diketahui bentuk hukumnya.

Status hukum BMT dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu;

a. BMT berstatus hukum koperasi. BMT yang berbadan hukum koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya baik berupa menghimpun dana maupun menyalurkannya mengacu pada aturan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, PP RI No. 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh koperasi, Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M. KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah, dan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 35.2/Per/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah.

b. BMT berstatus hukum yayasan. Hal tersebut mengacu pada UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Penggunaan status hukum yayasan bagi BMT tidak sesuai dengan Buku Panduan BMT yang dikeluarkan Pinbuk.

c. BMT yang belum memiliki status hukum. Pada umumnya BMT yang belum memiliki status hukum menggunakan bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat.

d. BMT yang badan hukumnya belum diketahui. Hal tersebut disebabkan karena belum didaftarkan kepada notaris dan masih merupakan bagian dari Dewan Kemakmuran Masjid.

E. Lembaga Keuangan di Indonesia

Lembaga keuangan dalam arti luas sebagai perantara dari pihak yang mempunyai kelebihan dana ( Surplus of fund ) dengan pihak yang kekurangan dana ( lack of fund ) sehingga peranan yang sebenarnya sebagai perantara keuangan masyarakat. Dari pengertian yang luas ini, maka lembaga keuangan dengan sendirinya mempunyai perbedaan, fungsi, dan kelembagaannya

Di sini penulis akan mengutarakan tiga pendapat dari ahli hukum, praktisi ekonomi, dan pemerhati lembaga keuangan mikro mengenai lembaga keuangan di Indonesia.

1. Lembaga Keuangan Menurut para sarjana hukum

Lembaga keuangan di Indonesia secara garis besar dapat diklafikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu; lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga pembiayaan.

a. Lembaga Keuangan Bank Lembaga Keuangan Bank adalah Bank. Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya. Bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Pada pelaksanaan usahanya baik Bank Umum maupun BPR diperbolehkan dengan cara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syari’ah. Sementara dalam konteks perbankan syari’ah pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah bahwa bank syari’ah terdiri dari Bank Umum Syari’ah, Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS), dan Unit Usaha Syari’ah (UUS). Bank Perkreditan Rakyat maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah tidak diperkenankan untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

b. Lembaga Keuangan Bukan Bank Pengertian Lembaga Keuangan Bukan Bank menurut Sunaryo ialah; Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan, secara langsung atau tidak langsung, menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan.

Dalam hal ini Lembaga Keuangan Bukan Bank tidak diperkenankan menerima dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, baik itu berupa giro, tabungan maupun deposito. Namun, berdasarkan kebijakan Pakto 27, 1988, LKBB dapat menerbitkan sertifikat deposito sebagai sumber dana dan dapat mendirikan kantor cabang di daerah-daerah. LKBB meliputi; Usaha Perasuransian, Perum Pegadaian, Dana Pensiun, Pasar Modal, dan Perusahaan Penjaminan.

Lembaga Keuangan Bukan Bank diatur dengan undang-undang yang mengatur masing-masing bidang jasa keuangan bukan bank. Lembaga Keuangan Bukan Bank terdiri dari, sebagai berikut;

a. Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Perusahaan Asuransi maupun Reasuransi diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1995 tentang Usaha Perasuransian

b. Pegadaian Perum Pegadaian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 jo. PP No. 103 tahun 2000 tentang Perum Gadai.

c. Dana Pensiun Dana Pensiun diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun sebagai dasar penyelenggaraan dana pensiun

d. Pasar Modal Pasar Modal termuat dalam peraturan Undang-Undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal.

e. Perusahaan Penjaminan pengaturan hukum Perusahaan Penjaminan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan.

c. Lembaga Pembiayaan Pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, yang menyebutkan pengertian lembaga pembiayaan ialah;

Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana dan/atau barang modal.

Pada Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 mengenal tiga jenis lembaga pembiayaan yang meliputi;

a. Perusahaan Pembiayaan (PP), yaitu Badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan/atau usaha kartu kredit.

b. Perusahaan Modal Ventura ialah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.

c. Perusahaan Pembiayaan Insfrastruktur, yaitu; badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur.

Pada Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan melarang lembaga pembiayaan menarik dana secara langsung berupa giro, deposito, dan tabungan.

2. Koperasi Simpan Pinjam

Sementara Kasmir (praktisi ekonomi) berpendapat bahwa Koperasi Simpan Pinjam termasuk pada lembaga keuangan lainnya (bukan bank). Koperasi mempunyai karakteristik seperti lembaga keuangan yang melakukan menghimpun dana dan menyalurkannya, walaupun hanya sebatas dari dan untuk anggota koperasi, calon anggota, atau anggota koperasi lainnya. Yang dimaksudkan calon anggota di sini ialah telah mendaftarkan diri pada koperasi, namun belum melunasi setoran simpanan pokok dan kewajiban lainnya. Apabila dalam waktu 3 bulan belum terpenuhi kewajibannya, maka harus dihapus dari keanggotaan koperasi.

Koperasi Simpan Pinjam mengacu pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Peraturan tersebut diadakan agar tidak berbenturan dengan UU Perbankan dan menunjukkan eksitensi Koperasi.

3. Lembaga Keuangan Mikro

Neni Sri Imaniyati berpendapat bahwa Lembaga Keuangan Mikro dalam kategori Bank Indonesia dibagi dua, yaitu LKM Bank dan LKM non Bank. LKM Bank terdiri dari BRI Unit Desa, BPR, dan Badan Kredit Desa (BKD). Sedangkan LKM non Bank terdiri dari Koperasi Simpan Pinjam (KSP), lembaga dana kredit pedesaan, Baytul Maal wat Tamwil (BMT), lembaga swadaya masytarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan grameen, pola pembiayaan ASA, credit union, kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan lain-lain.

Menurut Andi Soemitra berpendapat bahwa Lembaga Keuangan Syari’ah Mikro terdiri dari Lembaga Pengelola Zakat (BAZ dan LAZ), Lembaga Pengelola Wakaf, dan Baytul Maal wat Tamwil (BMT).

Pendapat di atas dari pemerhati ekonomi berdasarkan pada fenomena perkembangan praktek keuangan yang terjadi di masyarakat. Neni Sri Imaniyati, sebagai dosen FH Unisba, mengakui bahwa sampai saat ini payung hukum bagi BMT dan Lembaga Keuangan Mikro bukan bank (kecuali koperasi) belum ada.

Kedudukan BMT Dalam Lembaga Keuangan di Indonesia

Kedudukan BMT pada Lembaga Keuangan di Indonesia masih terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama, menyatakan bahwa BMT tidak termasuk dalam kategori Lembaga Keuangan. Sementara pendapat kedua, menyatakan bahwa BMT termasuk dalam kategori Lembaga Keuangan. BMT termasuk dalam kategori Lembaga Keuangan apabila BMT berbadan hukum koperasi. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa BMT termasuk dalam Lembaga Keuangan Mikro. Karena dalam pelaksanaannya berdasarkan prinsip syari’ah, maka BMT termasuk dalam Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah.

Perbedaan pendapat di atas disebabkan bahwa BMT sampai saat ini belum mempunyai payung hukum yang jelas.