Kutip dari: Abu Al-Jauzaa’
Alhamdulillaah,….sekarang kita memasuki pembahasan tentang hadits dha’if……
Definisi
Dha’if menurut bahasa adalah lemah, iaitu lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, iaitu lahiriyah dan ma'nawiyyah. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah pengertian dha’if secara maknawiyyah.
Hadits dha’if menurut istilah adalah “hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan”.
Kerana syarat diterimanya suatu hadits sangat banyak, sedangkan lemahnya hadits terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar ini hadits dha’if terbahagi menjadi beberapa macam, seperti tersebut di atas.
Tingkatan Hadits Dha’if
Hadits dha’if bertingkat-tingkat keadaannya berdasarkan pada lemahnya para perawi antara lain : dha’if, dha’if jiddan, wahi, munkar. Dan seburuk-buruk tingkatan hadits adalah maudhu’ (palsu).
Sebagaimana dalam hadits shahih, ada yang disebut oleh para ulama dengan istilah ashahhul-asaanid; maka dalam hadits dha’if ada juga yang disebut dengan awhal asaanid (sanad paling lemah) bila disandarkan kepada sebahagian shahabat atau kota. Contohnya :
1. Sanad paling lemah dari Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Shadaqah bin Musa Ad-Daqiqy, dari Farqad As-Sabakhy, dari Murrah Ath-Thib, dari Abu Bakar.
2. Sanad yang paling lemah dari Ibnu ‘Abbas adalah Muhammad bin Marwan, dari Kalaby, dari Abu Shalih, dari Ibnu ‘Abbas. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata,”Ini adalah silsilah pendusta, bukan silsilah emas”.
3. Sanad yang paling lemah dari Abu Hurairah adalah Sariry bin Isma’il, dari Dawud bin Yazid Al-Azdy, dari bapanya, dari Abu Hurairah.
4. Sanad yang paling lemah bila dinisbatkan kepada Syamiyyiin (orang-orang Syam) adalah Muhammad bin Qais Al-Maslub, dari ‘Ubaidillah bin Zahr, dari Ali bin Yazid, dari Abu Umamah
(Tadribur-Raawi halaman 106).
Contoh : Sebuah hadits yang mengatakan : ”Barangsiapa shalat 6 raka’at setelah shalat maghrib dan tidak berbicara sedikitpun di antara shalat tersebut, maka baginya sebanding dengan pahala ibadah selama 12 tahun”.
Diriwayatkan oleh Umar Bin Rasyid dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, dan Ad-Daruquthni mengatakan Umar ini adalah dha’if. Imam Ahmad juga berkata,”Haditsnya tidak bernilai sama sekali”. Bukhari berkata,”Hadits yang munkar dan dha’if jiddan (lemah sekali”. Ibnu Hibban berkata,”Tidak halal menyebut hadits ini kecuali untuk bermaksud mencatatnya, kerana dia memalsukan hadits atas nama Malik dan Ibnu Abi Dzi’b dan selain keduanya dari orang-orang tsiqah”.
Kitab-Kitab yang Diduga Mengandungi Hadits Dha’if
Hadits-hadits dha’if banyak terdapat pada sebahagian karya berikut ini :
1. Ketiga Mu’jam Thabrani, iaitu : Al-kabir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir.
2. Kitab Afrad, karya Ad-Daruquthni. Di dalam hadits-hadits Al-Afrad terdapat hadits-hadits Al-Fardul-Muthlaq, dan Al-Fardun-Nisbi.
3. Kumpulan karya Al-Khathib Al-Baghdadi.
4. Kitab Hilyatul-Auliyaa wa Thabaaqatul-Ashfiyaa’ karya Abu Nu’aim Al-Ashbahani.
Hadits yang Tertolak kerana Gugurnya Sanad
Keguguran sanad ada dua macam :
1. Keguguran secara dzahir dan dapat diketahui oleh ulama’ hadits kerana faktor perawi yang tidak pernah bertemu dengan guru (syaikhnya), atau tidak hidup di zamannya.
Keguguran sanad dalam hal ini, ada yang gugur pada awal sanad, atau akhirnya, atau tengahnya. Para ulama memberikan nama hadits yang sanadnya gugur secara dzahir tersebut dengan 4 (empat) istilah sesuai dengan tempat dan jumlah perawi yang gugur :
a. Mu’allaq
b. Mursal
c. Mu’dlal
d. Munqathi’
2. Keguguran yang tidak jelas dan tersembunyi. Ini tidak dapat diketahui kecuali oleh para ulama yang ahli dan mendalami jalan hadits serta illat-illat sanadnya.
Ada dua nama untuk jenis ini :
a. Mudallas
b. Mursal