Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.
Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT
(Ibnu Katsir: Tafsir al-Quran al-‘Adzim: jilid:3:hal.67-71).
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”
(QS al-Kahfi:10)
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
“Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.
Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan.”
Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?
Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu?
Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.” Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.”
Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya
.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:
“Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.
Jika difikir secara logik akal, maka kisah dan cerita tentang Ashabul Kahfi termasuk suatu kejadian pelik, luar biasa dan menakjubkan. Tiada manusia yang dapat menjelaskan bagaimana ada orang yang boleh tidur sehingga ratusan tahun tanpa makan dan minum. Namun bagi orang yang beriman dan meyakini Allah سبحانه وتعالى bahawa tiada yang mustahil jika Allah سبحانه وتعالى mengkehendakinya demikian.
“Adakah kamu menyangka (wahai Muhammad), bahawa kisah ‘Ashabul Kahfi’ (penghuni gua) dan ‘Ar-Raqiim’ termasuk antara tanda-tanda kekuasaan Kami yang menakjubkan?” (Surah Al-Kahfi:Ayat 9).
Telah menjadi perdebatan daripada zaman berzaman mengenai gua dan tempat persembunyian Ashabul Kahfi. Banyak tempat mendakwa dimana berlakunya kisah ini seperti di Gua di Jabal Qassiyyun, Syria dan Gua di Ephesus (Tarsus), Turki. Namun Gua Ashabul Kahfi (Kahf Ahlil Kahf) yang terletak di Abu Alanda, kira-kira 7 km dari pusat bandar Amman, Jordan, merupakan lokasi sejarah yang lebih menepati ciri-ciri yang dikisahkan di dalam Al-Quran.
Kawasan ini suatu ketika dahulu dikenali sebagai ‘Ar-Raqim’ kerana terdapat kesan tapak arkeologi yang bernama Khirbet Ar-Raqim di kawasan tersebut. Perkataan ‘Ar-Raqim’ juga disebut di dalam Al-Quran dan Ahli Tafsir menafsirkan ‘Ar-Raqim’ sebagai nama anjing dan ada menyatakannya sebagai batu bersurat.
Walau bagaimanapun, Allah سبحانه وتعالى tidak menunjuk dan menyatakan dengan jelas di mana tempat sebenar mereka bersembunyi. Sebab utamanya adalah kerana ia tidak memberi manfaat bagi umat Islam kerana Allah سبحانه وتعالى hanya mahu hamba-Nya mengambil iktibar kisah pejuangan tujuh pemuda mempertahankan akidah mereka.
Namun begitu berdasarkan ayat 17 surah al-Kahfi, dapat kita ketahui kedudukan sebenar pintu gua yang menjadi tempat persembunyian ketujuh-tujuh pemuda tersebut berada di sebelah utara. Firman Allah سبحانه وتعالى:
Ashabul Kahfi bukanlah kisah epik jenaka, dongeng atau suatu cerita rekaan manusia. Sejarah kejadian tersebut sebenarnya mempunyai hubungan erat dengan kegelisahan Nabi Muhammad ﷺ. Iaitu semasa ditanya oleh beberapa orang Yahudi untuk membuktikannya bahawa Baginda memang seorang Nabi Utusan Allah سبحانه وتعالى.
Orang-orang Yahudi bertanya Rasulullah ﷺ, “Wahai Muhammad! Tolong ceritakan kepada kami tentang kisah 7 pemuda yang rela mengasingkan diri untuk mempertahankan keyakinannya kepada Allah سبحانه وتعالى. Jika engkau sanggup menceritakan dengan benar, maka kami juga akan mengikuti ajaranmu dan menjadi sebahagian daripada orang Islam.”
Lalu Nabi Muhammad ﷺ memohon pertolongan pada Allah سبحانه وتعالى dan selepas 15 hari kemudian baginda mendapat wahyu tentang penjelasan kisah Ashabul Kahfi atau cerita mengenai 7 pemuda yang ditanyakan oleh orang Yahudi tersebut. Penjelasan mengenai kisah Ashabul Kahfi ini terdpat pada Surah Kahfi mulai ayat 9 hingga 26, di dalam kitab suci Al-Quran.
Sebagaimana yang telah dikisahkan turun-temurun. Pada asalnya penduduk sebuah negeri itu beriman kepada Allah سبحانه وتعالى dan beribadat mengEsakanNya. Namun keadaan berubah selepas kedatangan seorang raja bernama Diqyanus (Decius).
Raja kufur dari Rom ini, memerintah secara kejam dan kuku besi. Sesiapa yang menentang keinginan raja, maka samalah seperti ingin mengakhiri hidupnya lebih awal. Dia memaksa rakyat di bawah pemerintahannya supaya murtad dari agama Allah سبحانه وتعالى serta bertukar kepada agama kufur dan menyembah batu berhala yang dianutinya. Rakyat yang takut dengan ancaman dan seksaan raja tersebut terpaksa akur dengan arahan yang zalim itu.
Dalam pada itu terdapat sekumpulan pemuda beriman enggan tunduk dengan tekanan Raja Diqyanus yang kafir. Di tengah-tengah kekufuran raja, bangsa dan kaum mereka, kesemua tujuh pemuda tersebut secara sembunyi-sembunyi tetap beriman kepada Allah سبحانه وتعالى. Mereka teguh mempertahankan aqidah mereka walaupun menyedari nyawa dan diri mereka mungkin terancam dengan berbuat demikian.
Pengesahan keberimanan pemuda-pemuda ini dinyatakan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam firmanNya:
Di hadapan raja yang zalim itu, mereka dengan penuh berani dan bersemangat, petah berhujah mempertahankan iman dan prinsip aqidah yang mereka yakini. Pemuda-pemuda tersebut mengakui bahawa hanya ada satu Tuhan yang layak disembah dan diminta pertolongan. DIA-lah Allah سبحانه وتعالى yang Esa, Yang Maha Menguasai alam beserta isinya yang kekal abadi dan tidak akan ada sebarang kekurangan, DIA-lah tempat kita meminta pertolongan dalam susah atau senang, suka mahupun duka.
Raja Diqyanus menggunakan kekuasaan yang ada padanya untuk mengancam dan memaksa para pemuda meninggalkan agama mereka, jika dalam tempoh 2 hari para pemuda tersebut gagal membuat demikian dan tidak mahu mengubah keyakinan mereka dengan segera, maka mereka akan dimurtadkan secara paksa atau akan dijatuhi hukum mati.
Ramai ‘mufassirin’ (ahli tafsir) generasi salaf dan ‘khalaf’ (generasi awal Islam dan generasi yang terkemudiannya) yang menyebutkan, para pemuda tersebut terdiri daripada anak-anak raja Rom dan orang-orang terhormat mereka yang bersatu kerana iman. Mereka tidak takut dengan ancaman itu dan telah bertekad untuk saling bantu-membantu dan mempertahankan keimanan mereka hingga titisan darah terakhir. Bagi mereka lebih baik mati menggenggam iman daripada mengikuti jejak raja yang menyekutukan Allah سبحانه وتعالى.
Oleh kerana sayangkan aqidah dan agama mereka, pemuda-pemuda tersebut bermesyuarat sesama sendiri untuk mencari satu keputusan muktamad. Kumpulan pemuda itu akhirnya membuat kesepakatan untuk bersembunyi.
Menurut para ulama’ Ashabul kahfi (penghuni gua) yang dimaksudkan dalam ayat di atas, terdiri daripada tujuh orang pemuda bernama:
Tamlikha (تمليخا)
Maksalmina (مكسلمينا)
Marthunus (مرطونس)
Nainunus (نينونس)
Saryunus (ساريونس)
Zunuwanus (ذونوانس)
Falyastathyunus (فليستطيونس)
Dan semasa dalam perjalanan ke gua itu, ketujuh-tujuh mereka telah ditemani oleh seekor anjing bernama Qithmir (قطمير). Diriwayatkan juga bahawa Qitmir adalah anjing milik Tamlikha iaitu salah seorang daripada tujuh orang pemuda tersebut.
Anjing itu turut bersama-sama dengan mereka berlindung dan bersembunyi di dalam gua tersebut. Oleh kerana keletihan, ketujuh pemuda ini tertidur sementara si anjing berada di sekitar pintu gua.
Keesokan harinya raja memerintahkan agar segera membawa para pemuda untuk dihukum mati, tetapi arahan raja kejam ini menemui kegagalan kerana para pemuda telah menghilangkan diri dan sukar ditemui. Seluruh rakyat dikerahkan untuk mencari para pemuda yang dianggap menderhaka itu.
Pencarian pun bermula, mereka diburu oleh para pembantu setia raja. Mereka bukan sahaja diburu oleh tentera Rom bahkan turut diberi tekanan oleh penduduk tempatan yang berpegang kuat terhadap agama nenek moyang mereka. Sesiapa di kalangan mereka yang mampu mencari dan membawa pemuda-pemuda tersebut ke hadapan, raja telah berjanji untuk memberikan hadiah dan kenaikan pangkat.
Ada sekumpulan pencari dan pegawai kerajaan yang akhirnya menemui sebuah gua di kawasan pedalaman. Tetapi oleh kerana gua itu dianggap sangat menggerunkan, mereka takut untuk memasukinya.
Demi menyenangkan hati raja, para pegawai kerajaan melaporkan bahawa mereka telah menyusuri semua tempat di negeri tersebut dan telah menutup sebuah gua dengan tujuan sekiranya para pemuda tersebut berada di dalam, maka mereka tidak akan boleh keluar dan akan mati kelaparan.
Itulah batas logik manusia yang mempunyai kuasa dan merasa paling hebat berbanding dengan yang lain, padahal kita semua mengetahui bahawa terdapat suatu kekuatan yang tidak mungkin boleh ditakluki oleh kuasa akal dan fikir manusia. Dialah Allah سبحانه وتعالى yang tak akan membiarkan orang-orang membuat kerosakan dan penderitaan kepada hamba-hamba yang dikasihiNya.
Sementara itu di dalam gua, kesemua tujuh pemuda tersebut diberi ketenangan dan keselamatan oleh Allah سبحانه وتعالى. Mereka telah ditidurkan oleh Allah سبحانه وتعالى dengan nyenyaknya dalam gua tersebut untuk sekian lama.
Allah سبحانه وتعالى ingin menzahirkan bukti-bukti kekuasaanNya kepada hamba-hambaNya melalui peristiwa ini. Maka Allah سبحانه وتعالى telah mentakdirkan pemuda-pemuda ini tidur dalam jangka masa yang sangat lama iaitu selama 309 tahun: tiga ratus tahun (dengan kiraan ahli kitab / Tahun Masihi) dan tambah sembilan tahun lagi (dengan kiraan kamu / Tahun Hijrah).
Walaupun mereka tidur amat lama dan tanpa makan dan minum, tetapi dengan kuasa Allah سبحانه وتعالى, badan dan jasad mereka tidak hancur atau rosak. Dengan kuasaNya juga, kedudukan gua tempat persembunyian ketujuh-tujuh pemuda yang berada di sebelah utara secara tidak langsung telah memelihara pencahayaan, pengudaraan dan kesegaran tubuh mereka sepanjang 3 abad itu.
Allah سبحانه وتعالى sengaja memberi ilham kepada ketujuh-tujuh pemuda tersebut untuk menemui gua tersebut sedangkan mereka sendiri tidak mengetahui bahawa Allah سبحانه وتعالى telah menetapkan aturannya. Bahkan Allah سبحانه وتعالى menyatakan bahawa jika kita lihat keadaan mereka di dalam gua itu, nescaya kita tidak akan percaya bahawa mereka sedang tidur. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana.
Masa terus berlalu, zaman pun telah berganti dari beberapa generasi. Kini kerajaan yang dahulu dipimpin oleh raja kejam dan musyrik telah berubah menjadi sebuah negeri yang maju dan bebas dalam menjalani keyakinan agama masing-masing.
Apabila sampai tempoh yang ditetapkan Allah سبحانه وتعالى (300 + 9 tahun), mereka pun dibangunkan. Pemuda-pemuda tersebut telah terjaga kerana perut mereka terasa lapar, dan ketika bangun mereka saling bertanya tentang berapa lama mereka tertidur. Para pemuda menyangka mereka hanya tertidur dalam masa sehari atau separuh hari sahaja, tanpa menyedari bahawa mereka telah tidur dalam jangka masa yang amat lama di dalam gua.
Walaupun Allah سبحانه وتعالى menyatakan dalam ayat di atas bahawa para pemuda tadi amat berhati-hati dan berjaga-jaga agar jangan diketahui orang lain kerana mereka menyangka raja yang memerintah negeri masih lagi raja kafir yang dahulu, namun Allah سبحانه وتعالى telah mentakdirkan supaya berita tentang mereka diketahui oleh hamba-hambaNya yang lain bagi menunjukkan akan keagungan kekuasaan dan kehebatanNya.
Semasa pemuda-pemuda Ashabul Kahfi itu dibangkitkan Allah سبحانه وتعالى selepas tidur selama 309 tahun, suasana negeri telah banyak berubah. Kebetulan Raja dan pemerintah negeri merupakan orang yang beriman kepada Allah سبحانه وتعالى, begitu juga dengan kebanyakan rakyatnya.
Namun masih terdapat segelintir rakyat dalam negeri itu yang masih ragu-ragu dan mempertikaikan tentang kebenaran kiamat mereka masih ragu-ragu bagaimana Allah سبحانه وتعالى boleh menghidupkan orang yang telah mati? Apatah lagi yang telah beribu malah berjuta tahun lamanya dimakan tanah. Maka bertepatanlah masanya Allah سبحانه وتعالى membangkitkan Ashabul Kahfi pada zaman tersebut dan menzahirkan kekuasaanNya kepada hamba-hambaNya yang masih lagi ragu-ragu.
Pendedahan ini berlaku semasa orang ramai bertelagah sesama sendiri mengenai perkara hidupnya semula orang mati. Allah سبحانه وتعالى telah mendedahkan perihal pemuda-pemuda Ashabul Kahfi semasa wakil mereka itu datang ke kota hendak membeli makanan.
Pemuda yang keluar menuju ke pasar mencari makanan. Dengan perasaan khuatir dan takut, akhirnya sampai ke kota. Dia berasa hairan melihat keadaan kota tersebut dan penduduknya yang berubah sama sekali, tidak seperti ketika ditinggalkan dahulu.
Dalam terpinga-pinga itu, akhirnya sampai juga dia ke pasar dan menemui salah seorang penjaja makanan. Namun penjual hairan dan pelik dengan wang yang digunakan oleh pemuda ini. Penduduk kota yang telah kehairanan melihat keadaan dia dan mereka semakin syak apabila melihat wang perak yang dibawanya ialah wang yang sudah berzaman tidak digunakan lagi.
Dia telah disyaki menjumpai harta karun lalu dipanggil penguasa pasar yang sangat bijak. Dalam perbualannya, maka terbuktilah kepada orang ramai bahawa pemuda itu adalah pemuda yang lari dari kepungan raja pada tiga abad yang silam. Mereka mengetahui akan peristiwa itu, daripada cerita yang masyhur dan telah disedia maklum oleh orang ramai. Larinya pemuda-pemuda itu kerana tidak rela menjual agama mereka kepada raja yang zalim dan memaksa mereka untuk menyembah batu.
Lalu salah seorang di antara mereka berkata kepada pemuda tersebut: “Janganlah kamu khuatir kepada raja ganas yang kamu katakan tadi. Raja itu sudah mati 300 tahun yang lalu. Raja yang memerintah sekarang ini adalah seorang raja mukmin yang soleh juga baik hati. Raja kami yang sekarang ini orangnya beriman seperti mana yang kamu imani.”
Barulah pemuda itu sedar dan insaf akan apa yang sebenarnya sudah terjadi. Dengan ketenangan yang amat jelas serta dengan alasan dan bukti-bukti yang cukup terang, maka terbuktilah bahawa mereka berada dalam gua bukan semalam atau setengah hari tetapi sudah tiga abad lamanya.
Orang ramai kemudiannya membawa pemuda tersebut mengadap raja beriman yang mengambil berat hal agama itu. Betapa terkejutnya raja ketika pemuda menceritakan siapa dia sebenarnya, raja memeluk pemuda dengan juraian air mata yang tak terhingga. Seketika suasana istana menjadi sangat hening dan terharu oleh kehadiran pemuda yang luar biasa tersebut.
Raja yang soleh ini kemudian menjelaskan kepada pemuda itu bahawa raja kejam Diqyanus telah mati 309 tahun yang lalu. Selepas mendengar kisah menakjubkan itu, raja lalu mengajak para pembesarnya dan semua orang yang hadir berangkat ke Gua Ashabul Kahfi bersama wakil pemuda itu, untuk menjemput dan bertemu dengan kesemua pemuda tersebut, apalagi mereka sedang menunggu dengan kelaparan dalam gua, di samping ingin mengetahui keadaan di gua dan untuk mendengar kisah sebenar mereka.
Setelah mereka keluar dari gua itu, mereka disambut raja dan penduduk negeri. Raja membawa mereka ke dalam istana dan diberinya tempat di istana yang indah itu. Tidak lama kemudian walaupun raja berkali-kali meminta agar para pemuda ini tetap tinggal di istana, tapi kumpulan pemuda tersebut menolak dengan baik dan tetap memilih untuk kembali ke gua semula.
Para pemuda tadi lalu berkata kepada raja: “Kami ini sudah tidak mengharap hidup yang lebih panjang lagi kerana kami sudah melepasi beberapa keturunan dan kesemuanya telah meninggal dunia, malah negeri dan binaan besar yang dahulu pun sudah runtuh semuanya; yang kami lihat sekarang ini adalah serba baru. Kami pun puas hati melihat raja dan penduduk yang hidup di negeri ini sudah sama-sama beriman kepada Allah سبحانه وتعالى.”
Di hadapan orang ramai, para pemuda ini menyarankan supaya mereka hendaklah sentiasa beriman kepada Allah سبحانه وتعالى, jangan sesekali tunduk kepada sesiapa yang mengajak pada jalan kesesatan dan kemusyrikan.
Tidak lama kemudian selepas mereka memberi ucapan selamat tinggal kepada raja dan rakyatnya yang beriman itu. Para pemuda lalu sama-sama bersujud dan berdoa ke hadhrat Allah سبحانه وتعالى agar menurunkan rahmatNya dan agar Allah سبحانه وتعالى mengizinkan mereka pulang ke rahmatullah. Sejurus selepas mengucapkan doa itu mereka merebahkan badan di tempat pembaringan lalu menghembuskan nafas mereka yang terakhir dengan tenang dan tenteram. Termaklumlah bahawa Allah سبحانه وتعالى telah mengambil roh pemuda-pemuda itu dan kembali kepadaNya untuk selama-lamanya.
Keadaan dan kejadian itu, menjadi asas yang amat kuat bagi mereka untuk tetap beriman dan tunduk kepada Allah سبحانه وتعالى, Tuhan yang Maha Kuasa. Mereka makin percaya bahawa janji Allah سبحانه وتعالى itu benar belaka dan Hari Qiamat serta akhirat itupun benar semuanya.
Sepeninggalan para pemuda itu, orang ramai lalu berbincang bagaimana cara untuk memberi penghormatan sewajarnya agar mereka sentiasa dapat memperingati pemuda-pemuda suci itu. Ada yang mencadangkan supaya didirikan sebuah bangunan atau tugu sebagai kenangan. Manakala Raja mencadangkan agar sebuah masjid (rumah ibadat) dibinakan di sisi gua itu supaya dari dalam masjid itu orang ramai dapat sama-sama menyembah dan membesarkan nama Allah dan sentiasa insaf akan kebesaran Allah سبحانه وتعالى.
Allah سبحانه وتعالى menerangkan kisah Ashab al-Kahfi ini bukanlah sesuatu yang ganjil dan menghairankan jika dibandingkan dengan ayat-ayat lain. Banyak lagi kejadian lain seumpamanya yang menunjukkan kekuasaan Allah سبحانه وتعالى, Yang Maha Kuasa mengatur alam menurut kehendak-Nya tanpa ada yang mampu menandinginya seperti penciptaan langit dan bumi serta segala yang ada di alam ini lebih mengagumkan lagi.
Sepertimana dikatakan Prof. Hamka; Maksud ayat al-Kahfi ini adalah apakah engkau menyangka atau manusia menyangka bahawa manusia yang dicipta Allah tertidur beratus tahun di dalam gua yang sunyi terpencil itu sudah sebahagian daripada kuasa Allah سبحانه وتعالى? Padahal banyak lagi takdir Allah سبحانه وتعالى di dalam alam ini yang lebih menakjubkan dan lebih ganjil.
Pada hakikatnya, kisah yang penuh pengajaran ini masih belum cukup untuk menarik perhatian umum. Justeru marilah kita melakukan amal kebaikan dan menjadikan kehidupan sebagai suatu cita-cita luhur bagi meraih kebaikan dunia atau akhirat. Insya‘Allah…