Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab


Kita memasuki zaman khilafah Al-Faruq Umar bin Khathab. Saat di mana kota Madinah melimpah ruah dengan hasil ghanimah yang didapatkan kaum muslimin dari harta kaisar Persia terkahir, Yazdajrud. Ada mahkota-mahkota yang bertabur permata, selendang yang tersusun dari mutiara, juga pedang-pedang emas yang bertahtatakan permata dan marjan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Selain barang-barang berharga tersebut, ada pula serombongan tawanan yang amat banyak. Di antara yang menjadi tawanan tersebut adalah tiga putri sang kaisar. Atas inisiatif Ali bin Abi Thalib, harga ketika putri itu dipasang setinggi mungkin, lalu mereka dibei kebebasan memilih di antara pemuda Islam yang akan menebusnya.

Putri pertama memilih Muhammad bin Abi Bakar yang kemudian melahirkan seorang tokoh faqih Madinah, Al-Qasim bin Muhammad. Putri kedua memilih Abdullah bin Umar bin Khathab yang melahirkan putra bernama Salim yang sangat mirip dengan kakeknya Umar bin Khathab. Sedangkan putri yang ketiga memilih Husain bin Ali bin Abi Thalib yang akhirnya melahirkan Zainul Abidin.

Nah sekarang kita akan menelusuri indahnya perjalanan hidup Salim bin Abdullah bin Umar, ayahnya dan juga kakeknya.

Salim lahir di Madinah Al-Munawarah, kota yang terdapat di dalamnya makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kota tujuan hijrah yang udaranya penuh keharuman nubuwat, tempat turunnya wahyu-wahyu Allah.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan ayahandanya yang zuhud, shawwam qawwam (ahli shiyam dan ahli shalat malam), yang memiliki tabi’at dan akhlak Umar. Sejak awal sang ayah sudah melihat tanda-tanda ketaqwaan dan hidayah Allah pada diri Salim. Tercermin pada akhlak Islami yang kokoh di atas Al-Qur’an melebihi saudara-saudaranya yang lain. Tak heran jika ayahnya menyayangi beliau dengan tulus, hingga anak yang lain cemburu kepadanya. Abdullah menanggapi sikap mereka dengan sya’irnya:

Mereka cemburu atas perlakuanku terhadap Salim
Memang benar, kulit antara mata dan hidugku adalah Salim

Dada Salim dipenuhi dengan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendalami tentang dienullah, diajari tentang tafsir dan selanjutnya dibina di tanah suci yang mulia.

Saat itu, masjid Nabawi masih padat dengan hadirnya para sahabat. Tatkala pemuda ini masuk, dijumpainya setiap sudut masjid penuh dengan tokoh sahabat yang sudah kenyang dengan ajaran dan keharuman kata-kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemana saja dia melayangkan pandanga dan memasang telinga, yang ada hanyalah kebaikan.

Beruntung sekali Salim mampu memanfaatkan peluang ini. Beliau menghirup ilmu sebanyak mungkin dari tokoh-tokoh sahabat itu, di antaranya Abu Yusuf Al-Anshari, Abu Hurairah, Abu Rafi’, Abu Lubadah, Zaid bin Khathab, di samping ayah handanya sendiri, Abdullah bin Umar. Wajar bila dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia sudah dikukuhkan sebagai seorang alim, tokoh tabi’in dan salah satu ahli fikih yang menjadi tempat bertanya bagi kaum muslimin di Madinah tentang agama dan syari’at, tentang probem agama dan persoalan dunia.

Lebih dari itu, kerap kali para pejabat meminta saran dan pendapat beliau ketika menghadapi masalah. Mereka terkesan dan sangat simpati kepada Salim bin Abdullah. Beliau menjadi andalan karena kehalusan budi bahasa dan manisnya tutur kata. Jika para wali dan para amir itu menentang pandangannya, jangan harap rakyat Madinah mematuhi mereka.

Sebagai contoh apa yang dialami Abdurrahman bin Dhahhak selaku walikota Madinah pada masa khilafah Yazid bin Abdul Malik. Pada masa ini Fathimah binti Husain bin Ali sudah menjada dengan beberapa putra. Ibnu Dhahhak datang meminangnya, tetapi Fathimah menolaknya dengan halus, “Maaf, saya sudah tak berhasrat lagi untuk menikah. Hidup saya sudah saya wakafkan untuk memelihara putra-putra saya.”

Namun Ibnu Dhahhak tetap bersikeras. Dia terus mendesak, sementara Fathimah menolak disertai rasa takut. Ibnu Dhahhak berkata mengancam, “Demi Allah, jika engkau tidak mau menjadi istriku, aku akan menahan putra sulungmu dengan tuduhan telah meminum khamr.”

Fathimah bin Husain mengadukan masalah itu kepada Salim bin Abdullah. Salim menyarankan beliau agar menulis surat pengaduan kepada amirul mukminin tentang gubernurnya yang sewenang-wenang. Agar masalah itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Fathimah mengikuti saran itu dan segera mengutus seseorang menuju Damaskus.

Sebelum utusan itu berangkat, kebetulan pada saat yang sama, Amirul Mukminin memberi perintah agar Ibnu Hamuz, bendahara Madinah, segera datang ke Damaskus untuk membawa laporan-laporan keuangan. Ibnu Hamuz segera mempersiapkan laporan-laporan yang diperlukan, kemudian singgah sejenak untuk berpamitan kepada Fathimah binti Husain. “Saya hendak pergi ke Damaskus, apakah Anda titip sesuatu?”

Fathimah berkata, “Benar, tolong laporkan kepada amirul mukmini kesulitan yang saya alami akibat ulah walinya, Ibnu Dhahhak. Katakan pula bagaimana dia mengabaikan para ulama, terutama Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab.”

Ibnu Hurmuz menyesal karena mampir di rumah Fathimah, sebab sesungguhnya dia tidak mau mengadukan Ibnu Dhahhak kepada khalifah di Damaskus.

Tibalah Ibnu Hurmuz di Damaskus bersamaan dengan hari datangnya utusan yang membawa surat pengaduan Fatimah binti Husain. Dalam pertemuan dengan khalifah, Ibnu Hurmuz ditanya tentang kondisi Madinah, juga tentang Salim bin Abdillah dan para fuqaha lainnya. Yazin bin Abdul Malik bertanya, “Adakah hal-hal penting yang perlu Anda sampaikan atau berita-berita yang perlu dibahas?” Ibnu Hurmuz sama sekali tidak menyebutkan kisah Fathimah binti Husain. Mulutnya terkunci rapat tentang sikap walinya kepada Salim bin Abdullah.

Selagi ia masih menjelaskan tentang laporan keuangan yang diminta, penjaga masuk untuk melaporkan bahwa utusan Fathimah binti Husain minta izin untuk menghadap. Pucatlah wajah Ibnu Hurmuz karena khawatir. Dia segera berkata, “Semoga Allah mengarunia Amirul Mukminin umur yang panjang. Memang benar Fathimah binti Husain yang menitip pesan kepada saya…” lalu dia menceritakan semuanya.

Mendengar penuturan Ibnu Hurmuz, Amirul Mukminin berdiri dari tempat duduknya dan berteriak marah, “Celaka! Bukankah aku bertanya kepadamu bagaimana berita Madinah? Pantaskan kejadian sebesar itu engkau sembunyikan dariku?” Ibnu Hurmuz segera minta maaf dan mencari dalih.

Kemudian utusan itu masuk dan menyerahkan surat Fathimah binti Husain. Amirul Mukminin langsung membuka dan membacanya. Raut mukanya berangsur memerah. Terlihat tanda kemarahan dalam pandangan matanya. Dia berteriak lantang, “Ibnu Dhahhak sudah berani mengganggu keluarga Rasulullah dan tak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah?! Siapa yang bisa memperdengarkan kepadaku jeritan gubernur Adh-Dhahhak sementara dia tersiksa di Madinah sedangkan aku tetap duduk di Damskus?”

Di antara hadirin berkata, “Wahai amirul mukminin, tak ada yang lain di Madinah kecuali Abdul Wahid bin Bisyr An-Nadhari, angkatlah beliau. Saat ini beliau tinggal di Tha’if.” Khalifah berkata, “Benar..demia Allah… dia memang layak untuk tugas ini.” Maka khalifah meminta kertas dan menulis surat pengangkatan gubernur.

“Dari Amirul Mukminin, Yazin bin Abdul Malik kepada Abdul Wahid bin Bisyr An-Nadhari.

Assalamu’alaikum

“Bersama surat ini saya melantik Anda sebagai gubernur di Madinah. Jika surat ini telah sampai kepada Anda, maka datanglah ke Madinah dan turunkanlah Ibnu Dhahhak dari jabatannya. Perintahkan agar dia membayar denda 40.000 dirham, lalu hukumlah dia hingga aku mendengar teriakannya dari Madinah.”

Berangkatlah utusan yang membawa surat tersebut menuju Tha’if melewati Madinah. Ketika di Madinah, ia tidak tinggal di tempat Ibnu Dhahhak, bahkan memberi salampun tidak. Gubernur itu menjadi curiga bahkan menjadi khawatir akan dirinya. Lalu dia bertanya tentang sebab-sebab kedatangan utusan tersebut.

Utusan itu tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibnu Dhahhak. Lalu Ibnu Dhahhak mengambil sesuatu dari balik balik tidurnya dan berkata, “Lihatlah, bungkusan ini berisi seribu dinar emas. Aku bersumpah akan merahasiakan apa yang kau bawa dan kemana arah tujuanmu.”

Ibnu Dhahhak bergegas menyiapkan kendaraannya, lalu segera meninggalkan Madinah menuju Damaskus. Setibanya di Damaskus, dia langsung menuju rumah saudara Yazid, Maslamah bin Abdul Malik. Dia adalah seorang yang baik lagi penolong. Ketika telah di hadapannya, Ibnu Dhahhak berkata:

Ibnu Dhahhak, “Aku berada di bawah lindunganmu wahai amir.”

Maslamah, “Semoga baik-baik saja, apa yang terjadi atasmu?”

Ibnu Dhahhak, “Amirul Mukminin marah kepadaku karena kesalahan yang aku lakukan.”

Selanjutnya Maslamah menemui Yazin bin Abdul Malik dan berkata:

Maslamah, “Aku ada keperluan penting wahai Amirul Mukminin.”

Yazid, “Semua keperluan Anda akan aku penuhi kecuali masalah Ibnu Dhahhak.”

Maslamah, “Demi Allah, aku tidak memiliki keperluan selain itu.”

Yazid, “Aku tidak bisa mengampuninya.”

Maslamah, “Sebenarnya, apa kesalahan yang dia lakukan?”

Yazid, “Dia mengganggu Fathimah binti Husain dan mengancam serta menekannya. Dia juga tidak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah tentang itu. Para penyair, tokoh-tokoh masyarakat, ulama dan penduduk Madinah mengecamnya.

Maslamah, “Jika begitu persoalannya maka terserah Anda wahai Amirul Mukminin.”

Yazid, “Sekarang perintahkan Ibnu Dhahhak kembali ke Madinah. Dia harus menerima hukuman dari gubernur yang baru agar menjadi pelajaran bagi pejabat-pejabat yang lain.”

Legalah hati penduduk Madinah, mereka bersyukur atas pengangkatan gubernur yang baru dan gembira dengan pelaksanaan hukuman bagi Ibnu Dhahhak. Mereka puas lantaran gubernur yang baru ternyata senantiasa berlaku baik kepada rakyat dan tidak mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan melainkan setelah meminta persetujuan para ulama seperti Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdillah.

Alangkah mulianya khalifah muslimah Yazid bin Abdul Malik yang telah memperjuangkan kaum muslimin dan mendidik pejabat-pejabat yang tangguh demi kejayaan Islam. Kita akan bertemu lagi bersama Salim bin Abdillah pada bab berikutnya.


Bagian Ke 2

Anak Umar bin Khathab banyak, akan tetapi yang paling mirip dengannya adalah Abdullah. Abdullah bin Umar juga mmeiliki banyak anak, bahkan lebih banyak daripada anak ayahnya, dan yang paling mirip dengan Abdullah adalah Salim.

Mari kita lanjutkan kisah kehidupan Salim bin Abdullah, cucu Al-Faruq, Umar bin Khathab, yang serupa dengan kakeknya dalam perwujudan fisik, akhlak, agama dan kewibawaannya.

Salim bertempat tinggal di kota Thaibah Madinah Al-Munawarah. Ketika itu kota tersebut dalam kondisi makmur dan kaya raya. Rizki dan kenikmatan melimpah ruah dan belum pernah disaksikan yang seperti itu sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru, para khalifah Bani Umayah membanjirinya dengan kekayaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Namun hal itu tidaklah membuat Salim terpikat dengan harta seperti yang lain, dan tidak pula menggandrungi keindahan-keindahan yang sementara dan fana. Sebaliknya dia senantiasa berzuhud atas apa yang ada di tangan manusia demi mengharapkan apa yang ada di sisi Allah. Beliau berpaling dari hal-hal yang fana untuk menggapai kenikmatan yang abadi.

Tak terhitung seringnya khalifah Bani Umayah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan bagi beliau dan bagi yang lainnya, namun beliau tetap berpegang pada kezuhudannya, tidak tamak terhadap apa yang ada di tangan orang lain dan memandang rendah dunia beserta isinya.

Tahun itu, khalifah Sulaiman berkunjung ke Makkah untuk berhaji. Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di hadapan Ka’bah denga khusyu’. Sementara air matanya meleleh di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.

Usai thawaf dan shalat dua raka’at, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan dzikirnya.

Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa:

Khalifah, “Assalamu’alaika warahmatullah wahai Abu Umar.”

Salim, “Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.”

Khalifah, “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda wahai Abu Umar, saya aka memenuhinya.”

Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, khalifah mengulangi permintaannya, “Saya ingin Anda mengatakan kebutuhan Anda agar saya bisa memenuhinya.”

Salim, “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”

Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari tempat duduknya. Ketika shalat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadits, dan ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan adapula yang meminta untuk dido’akan. Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-0rang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnaya bisa mendekati Salim, lalu berkata:

Khalifah, “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan Anda agar saya dapat membantu Anda.”

Salim, “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”

Khalifah, “Tentunya dari kebutuhan dunia.”

Salim, “Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada Yang Memilikinya, bagaimanapun saya meminta kepada yang buka pemiliknya?”

Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Dia berlalu sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai keturnan Al-Khathab, alangkah kayanya kalian dengan Allah. Semoga Allah memberkahi kalian sekeluarga.”

Tahun sebelumnya, Al-Walid bin Abdul Malik juga menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, khalifah menjumpai Salim bin Abdillah di Muzdalifah. Ketika itu Ibnu Abdillah mengenakan pakaian ihram.

Al-Walid mengucapkan salam dan do’a, khalifah memandangi tubuh Salim yang terbuka, tampak begitu sehat dan kekar bagaikan sebuah bangunan yang kokoh.

Al-Walid, “Bentuk tubuh Anda bagus sekali, wahai Abu Umar, apakah makanan Anda sehari-sehari?”

Salim, “Roti dan Zaitun dan terkadang daging jika saya mendapatkannya.”

Al-Walid, “Hanya roti dan zaitun?”

Salim, “Benar.”

Al-Walid, “Apakah kamu berselera memakan itu?”

Salim, “Jika kebetulan aku tidak berselera maka aku tinggalkan hingga lapar hingga saya berselera terhadapnya.”

Salim tak hanya mirip dengan kakeknya, Al-Faruq Umar bin Khathab, dalam bentuk fisik dan kezuhudan terhadap dunia yang fana, namun juga dalam keberaniannya menyampaikan kalimat yang benar meski berat resikonya.

Beliau pernah menemu Hajjaj bin Yusuf untuk membicarakan tentang kebutuhan kaum muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan baik, dipersilakan duduk di sisinya dan dihormati secara berlebihan. Beberapa saat kemudian beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj, pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat dan semua dalam keadaan dibelenggu. Hajjaj menoleh kepada Salim bin Abdullah dan menjelaskan, “Mereka adalah pembuat onar di muka bumi, menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”

Dia mengambil pedang dan menyerahkannya kepada Salim sekaligus memberi isyarat kepada orang pertama, dia berkata kepada Salim, “Bangkitlah dan tebaslah lehernya!”

Pedang itu diterima oleh Salim, beliau menghampiri orang yang dimaksud. Seluruh mata menghadap kepadanya untuk melihat apa yang hendak beliau lakukan. Salim berdiri di depan orang tersebut lalu bertanya:

Salim, “Apakah Anda muslim?”

Tahanan, “Benar saya muslim. Tapi apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!”

Salim, “Apakah Anda shalat shubuh?”

Tahanan, “Sudah saya katakan bahwa saya muslim. Mengapa Anda bertanya apakah saya shalat shubuh? Adkah orang muslim yang tidak melaksanakan shalat shubuh?”

Salim, “Saya bertanya, apakah Anda shalat shubuh hari ini?”

Tahanan, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda. Saya katakan “Ya.” Silakah Anda melaksanaka perintah orang zhalim itu, jika tidak tentulah dia akan marah kepada Anda.”

Salim bin Abdullah kembali ke hadapan Hajjaj. Sambil melemparkan pedang yang digenggamnya dia berkata, “Orang ini mengaku sebagai seorang muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat shubuh. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa shalat shubuh, dia berada dalam naungan Allah,’ maka saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan Allah.”

Hajjaj marah mendengarnya dan berkata, “Kami akan membunuhnya bukan karena meninggalkan shalat, melainkan karena ia membantu pembunuhan atas khalifah Utsman bin Affan.” Salim berkata, “Padahal ada orang yang lebih berhak untuk menuntut darah Utsman bin Affan daripada engkau.” Hajjaj pun diam tak mampu bicara.

Di antara yang menyaksikan kejadian itu pergi di Madinah dan menceritakan semua yang dilihatnya tentang Salim kepada ayahnya, Abdullah bin Umar. Ibnu Umar tak sabar ingin segera mendengar cerita orang tersebut sehingga bertanya mendesak. “Lalu apa yang dilakukan oleh Salim” orang ini menjelaskan, “Dia melakukan ini dan itu.”

Alangkah gembiranya Abdullah bin Umar. Beliau berkata, “Bagus! Bagus! Cerdas…cerdas..!”

Ketika khalifah beralih ke tangan Umar bin Abdul Aziz, khalifah baru itu segera mengirim surat kepada Salim bin Abdullah:

“Amma ba’du, Saya telah menerima ujian dari Allah untuk mengurusi permasalahan umat tanpa diminta atau dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan saya. Maka dengan ini saya memohon pertolongan Allah yang telah mengujiku agar berkenan menolongku. Jika surat ini sampai ke tangan Anda, saya minta agar Anda mengirimkan kepadaku buku-buku tentang Umar bin Khathab, perilaku dan keputusan-keputusannya sebagai khalifah. Saya ingin sekali mengikuti jejak beliau dan berjalan mengikuti jalan beliau, semoga Allah memelihara saya untuk ini. Wassalam.”


Setelah membaca surat tersebut, Salim bin Abdullah mengirim surat balasan:

“Telah samapi kepadaku surat Anda yang menyatakan bahwa Allah telah menguji Anda dengan kewajiban mengurus kaum muslimin tanpa Anda minta dan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Anda. Dan Anda menginginkan jalan yang telah dilalui Umar bin Khathab. Yang perlu Anda perhatikan dan ingat selalu bahwa Anda tidak hidup pada zaman Umar bin Khathab dan tidak didampingi seperti orang-orang yang mendampingi Umar bin Khathab.

Tetapi ketahuilah, bila Anda mempunyai niat untuk berbuat baik dan benar-benar menginginkannya, niscaya Allah akan membantu Anda bersama para pejabat yang mendampingi Anda. Hal itu akan datang di luar perhitungan Anda, sebab pertolongan kepada hamba-Nya didasarkan pada niatnya. Bila berkurang niatnya pada kebaikan, maka akan berkurang pula pertolongan-Nya. A pabila nafsu Anda mengajak kepada sesuatu yang tak diridhai allah, maka ingatlah apa yang dialami oleh para penguasa sebelum Anda.

Maka perhatikanlah betapa rusaknya mata mereka karena hanya digunakan untuk melihat kenikmatan, perut mereka pecah karena terlalu kenyang dengan syahwat. Bayangkanlah seandainya jenazah mereka diletakkan di samping rumah dan tidak dimasukkan ke liang lahat. Tentulah kita akan sengsara karena baunya dan terkena penyakit karena bau busuknya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Kehidupan Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab penuh dengan taqwa, akrab dengan hidayah, menjauhi kesenangan dunia dan godaannya, memperlakukannya sesuai dengan jalan yang diridhai Allah. Beliau makan makanan keras dan mengenakan pakaian dari bahan yang kasar, bergabung dengan pasukan muslimin untuk menghadapi Romawi, dan selalu berusaha membantu menyelesaikan permasalahan kaum muslimin.

Ketika ajal menjemputnya pada tahun 106 H, duka cita menyelimuti kota Madinah. Semua orang datang untuk mengantar jenazah dan menyaksikan pemakamannya. Termasuk Hisyam bin Abdul Malik yang ketika itu berada di Madinah turun menghadiri pemakaman beliau.

Takjub dengan banyaknya lautan manusia yang mengantar jenazah Salim bin Abdillah, timbul rasa iri di hatinya sehingga dia bergumam, “Nanti akan terbukti berapa banyak manusia yang akan menghadiri pemakaman tatkala khalifah muslimin wafat di negeri mereka.” Kemudian dia berkata, “Kirimkanlah empat ribu pemuda ke perbatasan.” Maka tahun tersebut dikenal dengan tahun empat ribu.



Menu