Ranggong Daeng Romo (lahir kampung Bone-Bone, Polongbangkeng, Sulawesi Selatan, 1915, wafat markas besar Lapris, Langgese, 27 Februari 1947) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia dari Sulawesi Selatan. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsch School dan Taman Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang. Ia bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang ketika menduduki Sulawesi.
Solidaritas tinggi. Barangkali kata tersebut adalah kata yang pas disematkan pada Ranggong Daeng Romo, pahlawan nasional yang turut serta dalam peperangan melawan penjajah. Merasa bahwa mengalami nasib yang sama dengan pribumi yang lain, Ranggong akhirnya memutuskan untuk turun perang dan bahkan berani mengorbankan nyawanya.
Pada saat pendudukan Jepang, sulung dari enam bersaudara ini sempat bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang. Namun, karena pada waktu itu pribumi diharuskan untuk menyerahkan hasil bumi pada pemerintah Jepang, Ranggong akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya merasa tak seimbang dengan apa yang ia kerjakan.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Ranggong dinobatkan menjadi salah satu orang yang memprakarsai berdirinya organisasi perjuangan di Polombangkeng oleh Karaeng Pajonga Daeng Ngalle, Gerakan Muda Bajeng (GMB). Sebelumnya, Ranggong sempat bergabung dengan barisan pemuda Seinendan dan diangkat menjadi pemimpin Seinendan di Bontokandatto.
Bergabung dengan GMB, Ranggong diangkat menjadi komandan barisan pertahanan untuk wilayah Moncokomba dan merangkap sebagai Kepala Wilayah Ko'Mara. Hingga pada 2 April 1946, GMB berubah nama menjadi Laskar Lipan Bajeng dimana tujuan dari organisasi adalah menegakkan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Laskar Lipan Bajeng, suami dari Bungatubu Daeng Lino ini diangkat sebagai pimpinan.
Bersama dengan laskar-laskar yang ada di Sulawesi Selatan, melalui satu pertemuan, akhirnya laskar-laskar tersebut bergabung menjadi Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris) dan Ranggong diberi kepercayaan penuh untuk memimpin dan menjadi panglima.
Pada 21 Februari 1946, Ranggong memimpin perang pertama kalinya dengan kekuatan lebih kurang seratus pasukan menyerang pertahanan Belanda. Serangan tersebut dilakukan di sebelah Selatan Makassar serta menimbulkan kesengitan yang luar biasa di antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran tersebut, banyak tokoh Lapris yang meninggal dalam perang termasuk Ranggong yang terbunuh pada 27 Februari 1947. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Bangkala.
Berkat jasa-jasanya pada negara, berdasarkan SK Presiden RI No. 109/TK/Tahun 2001 Ranggong dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.