Menaraku, menara kita, menara-Nya,
Kulihat dengan mata dhohirku yang lemah ini
Berbeda dengan menara-menara elit di dunia
Kau hanyalah setumpuk batu bata yang menggambarkan kesederhanaan
Seonggok bangunan kuno
Yang memang kebetulan jadi lakon sejarah wali yang bersahaja
Sebuah bukti bahwa dulu, toleransi pernah dijunjung tinggi
Satu dari jutaan keajaiban dunia yang tidak, bahkan takkan pernah tercatat resmi
Badanmu penuh torehan ornamen-ornamen asing
Sangat kontras dengan identitas dan sifat penciptamu
Menandakan bahwa penciptamu adalah seorang yang gagah berani
Memiliki cita-rasa seni, Menjunjung tinggi toleransi
Menaraku, menara kita, menara-Nya
Masih tegap berdiri walau sudah bermesraan dengan sang waktu begitu lama
Tahun-tahun berubah menjadi dekade, dekade-dekade pun lenyap berganti abad
Dan kini, sudah lebih dari lima Abad engkau berdiri
Berdiri dalam keheningan yang meneduhkan
Keteduhan yang menentramkan
Ketentraman yang menyejukkan
Kesejukan yang mencerahkan
Menaraku, menara kita, menara-Nya
Walau hening, teduh, tentram, sejuk dan cerah
Engkau selalu mengajarkankan semangat yang dulu dimiliki oleh penciptamu
Walaupun penciptamu sudah berpulang
Engkau masih saja setia mengajarkan nilai-nilai toleransi
Berabad-abad engkau telah menjadi al-Manar yang berkobar-kobar
Menjelma sebagai mercusuar yang berkoar-koar
Kobaran sinarmu tergambar indah dalam tatanan kultur masyarakat kauman
Koaran semangatmu terukir jelas dalam setiap kajian kitab kuning di surau-surau sekitar
Engkau menaraku, engkaulah yang memperkenalkanku pada diriku sendiri
Engkau menara kita, mengajarkan agar manusia rukun dengan sesamanya
Engkau menaraNya, satu diantara sejuta tanda kauniyah yang dapat diraba dan dirasa
Kudus, 22 September 2013