Perempuan Neter Kolenang*
Jalan setapak curam melicinkan langkah perempuan neter kolenang
dan jarum-jarum hutan bermata belati
bagai selembar angin melesat di antara rerimbun waktus
memacu hangat semangat hasrat
berburu perempuan mawar di tanduk sapi karapan
debu-debu berterbangan melingkupi selaksa jagad
sesekali berhenti pada setiap sengal nafas yang akan menutup nadi
Langkah perempuan neter kolenang seperti meniti di atas sehelai rambut Jahannam
detak jantungnya diikat pada jembatan layang shirotol mustaqim
agar aroma sejuk perawan desa yang terselip pada gundukan kutang
menjadi kilau sejarah di antara segerombol kumbang
yang menerbangkan sesayap cinta
Perempuan neter kolenang mengedipkan hati
sambil menimba sekendi air asmara
untuk disiramkan pada kerongkong pepohon dan bebunga
yang tak merontokkan ranting-ranting kemarau
Perempuan neter kolenang membuka kelopak mata malam
mengitari sejagad nafas lalu hinggap pada gubuk-gubuk
yang memeras air mata hati
Di antara sejuta helai rambutnya yang gerai
selembar sinar membentuk lampu mercuri
dan mengibaskan sayapnya pada sajadah-sajadah doa
satu persatu di antara mereka terhempas ke dalam jurang curam
terluka, berdarah, dan kecewa
sambil mengusap keringat yang ditaruh pada jantung langit
mereka bangkit dan bersila lalu mengeja setiap huruf yang patah
Sesubuh cinta perempuan neter kolenang
adalah cinta kumbang pada sebening madu
bukan sekedar hujan yang menyapa kerontang tanah
atau bahkan hanya membuat bandang pada seluas hati
Kini, perempuan neter kolenang
mengeja ladang tembakau, lahan garam, dan sepetak hati tiap lelaki
sekendi air asmara yang tersungging di pucuk hatinya
akan disemayamkan pada sebongkah batu cinta yang membunga
namun, kini ia tak tahu
dimanakah sekendi air itu akan melukis prasastiyang membawanya pada pelaminan firdaus.
Sumenep, 26 Januari 2010
*Neter Kolenang adalah julukan bagi perempuan Madura yang cara berjalannya sangat indah.
Sajak Petani Garam
Lelaki seperempat abad menebarkan jala doa pada pucuk terik mentari beduk
di atas lahan garam kehidupan ini
ia rakit sesamudera air menjadi keras membeku putih
lalu menengadahkan tangannya agar rasa asin itu
membumbungkan rupiah dan memenuhi ruang sajadahnya
Kadang ia mengusap keringat yang deras menganak sungai
Terik mentari beduk memeras perasaan yang kerap terluka
ini derita yang tak berujung tak berpangkal
bagai aliran sungai kelam yang meliuk-liuk
hingga menghempaskan sebagian pada lautan darah syahid
Ini katanya warisan leluhur
sepetak tanah mengolah garam putih selalu menjadi kelam
sepetak lahan digarap bersama-sama sambil menikam perut yang lain
mengucur darah mengucur nanah mengucur usus hingga mengucurkan asa
Di kala senja memetik buah pohon keringat
Mereka berebut dan menjarah hingga melumuri darah dan lumpur
pada setiap petak yang jujur menggiling asin air laut
lelaki seperempat abad ini tak ikut berebut
Ia hanya mengkalkulasi dan mencari sesuap nasi dari garam kehidupan
sembari mengingat pelajaran menghitung di sekolah
dua kali pertikaian kali tahun kehidupannya
Tangannya meraba ragu pada lempeng hati
sebongkah batu cadas bagai menulis ajal
mungkin, abad ini ia akan menutup jala
yang dibentangkan di atas sepetak air laut
Di bawah terik mentari beduk ia menelan ludah
setiap gundukan kristal garam putih
tak lagi mewarnakan asin di atas meja makan
tetapi sepahit empedu yang menganak sungai pada setiap kerongkongan
Sumenep, 27 Januari 2010