Tuan Penari


SARAH MONICA

Kepada: Pelukis Nasirun
Bila kau telah memulainya
Oo tuan penari
bara rokokmu akan melumat jagat benda.
Mata itu, senyap itu,
menara kerinduan yang menganga
memeras kata-kata dalam lelehan waktu.

Inilah gaung legendamu:
kemenangan tanah perjanjian.
Pada kulitnya,
doa-doa yang terluka
keruh sungai peluh
belum juga mengering.
Di langit,
kuwung dan khayangan kau lukis sendiri
dari maut masa lampau
maut yang menyalib takdir namamu.

Oo tuan penari
kau bakar jiwa ibumu 
kau taburkan abunya ke gelegak darahmu
kau renggut Tuhan dari singgasana alam raya
kau tanam Ia pada urat tanganmu
sulur-sulur warna dan wayang pun lahir
menari bersamamu di atas kubur Affandi
memanggil para arwah yang tewas dalam kanvas mereka.
Pinjamkan aku lahar tawamu!

Oo tuan penari
tawa yang menyayat pada komedi putar kepalsuan
tawa yang menikam dewa serta berhala,
budak dan segala.

Oo tuan penari…

Bogor, 2013

 

Kematian Puisi

Demi waktu
Tuhan dan bapak segala tuhan.
Di ronta tubuhmu
aku mengembara menyantap nada-nada kelabu.

Oo pusara keheningan…
Dalam jagat kesombongan ini
kesepianku terlampau perih.

Dunia tidak lagi sanggup menyulam puisi dari api sucinya.
Melodi jiwaku meratap menyaksikan
berhala-berhala terbakar di liang mata mereka.
Kunyanyikan doa, namun patah.
Angkasa telah runtuh bersama surga kaum beriman.
Betapa puisi dalam nestapa ini hanya perayaan bisu
bahasa sumbang dari jubah para pembual.
Tiada lagi puisi!
Tercipta dari perselingkuhan liar derita dan hasrat kemurnian.

Tangisku, mungkin tangisku,
sisa keagungan puisi di kerajaan purba,
yang sesak oleh fatamorgana kebenaran.

Depok, 2013


Sarah Monica

Pergilah dalam pencarianmu..
Di malam menangis
jalan-jalan panjang kerinduan
terbakar di palung dadamu.

Kau menikahi masa lampau
tersesat dalam keraguan.
Makamkan aku dalam damai!
gugatmu pada Tuhan.

Bisikkan pada batu dan kebisingan
perjalananmu, Sarah Monica...
atas takdir
atas misteri kelahiran.

Mata tempatmu belajar berbahasa
memenjarakanmu dalam belantara bisu
segala nafsu.


Depok, 2013

Sarah Monica,
Mahasisiwi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia