Keberkahan Menyempurnakan Takaran dan Timbangan


Dalam segala urusan seorang muslim diatur dengan adab-adab islam yang telah diteladankan oleh Rasulullah Saw, mengacu kepada al Qur’an dan Sunnah, apapun usaha yang dilakukan sebagai mata pencaharian tidak ada larangan selama dilakukan dengan baik, jujur, amanah dan jauh dari sikap bohong, apakah bohong itu dengan lisan saja seperti banyak bersumpah atau dengan sikap melalui pengurangan takaran, timbangan dan ukuran-ukuran lainnya.

Seorang Muslim sejatinya bukanlah pem- bohong atau orang yang biasa melakukan kebohongan. Bahkan seharusnya ia tidak pernah berbohong; kecuali dalam hal yang dibenarkan oleh syariah, seperti pada saat berperang melawan musuh atau demi mendamaikan dua orang Muslim yang sedang berselisih. Sebaliknya, seorang Muslim wajib selalu berkata dan bersikap jujur/benar.Apalagi jika dia adalah seorang pemimpin umat, tokoh masyarakat, atau malah seorang pejabat atau penguasa.

Berbohong jelas perbuatan dosa.Sebaliknya, berkata dan berperilaku jujur/benar adalah wajib. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar (QS at- Taubah [9]: 119).

Dalam kitab Hawasyi Syarh al-'Aqa'id, al-'Allamah Ibn Abi Syarif menyatakan, “Dalam istilah kaum sufi, kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) bermakna: samanya (perilaku seseorang) dalam keadaan tersembunyi (dari manusia) maupun dalam keadaan terang-terangan(terlihat manusia); kesesuaian (penampakan) lahiriah seseorang dengan batiniahnya. Dengan kata lainkeadaan seorang hamba tidak bertentangan dengan perilakunya, dan perilakunya tidak berlawanan dengan keadaannya.”

Dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah karya Syaikh Zakariya dinyatakan bahwa al-Junaid pernah ditanya, “Samakah sikap jujur/benar dengan ikhlas?” ia menjawab, “Keduanya berbeda. Jujur/benar itu pangkal/pokok (ashl[un]), sementara ikhlas itu ranting/cabang (far'[un]). Kejujuran/kebenaran adalah pangkal segala sesuatu, sedangkan keikhlasan tidak terjadi kecuali setelah melakukan perbuatan. Amal perbuatan tidaklah diterima oleh Allah SWT kecuali dengan sikap jujur/benar dan ikhlas.”

Dalam ayat di atas, Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah; yakni dengan cara meninggalkan maksiat (dan tentu dengan menjalankan ketaatankepada Allah SWT). Jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar; yakni baik dalam keimanan maupun dalam memenuhi berbagai macam perjanjian. Sebagian ulama menyatakan: ma'a ash-shadiqqin (beserta orang- orang yang jujur/benar) artinya bersama orang-orang yang senantiasa berdiri di atas jalan hidup yang benar ('ala minhaj al-haqq).

Terkait dengan ayat di atas, di dalam sebuah hadisnya Baginda Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas'ud, “Sesungguhnya kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) mengantarkan pada kebaikan (al-birru), dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan pada surga.Sesungguhnya kebohongan/kedustaan mengantarkan pada kefasikan/kemaksiatan, dan sesungguhnya kefasikan/kemaksiatan mengantarkan pada neraka. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar bersikap jujur/benar akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur/benar. Sesungguhnya seseorang yang benar- benar berbohong di sisi Allah akan dicatat sebagai pembohong.” (Mutaffaq 'alaih).[Bersikap Jujur, Menjauhi Dusta,Media ummat, Wednesday, 13 April 2011 09:45].

Pemberian terbaik yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba adalah keimanan dan ketakwaan. Kekayaan dan kecukupan hidup, hendaknya tidak menjadi kendala seseorang untuk bertakwa. Dia juga harus yakin, bahwa iman dan takwa merupakan nikmat dan karunia Allah semata. Oleh karena itu, pemberian yang sedikit, jika disyukuri dan dirasa cukup, itu lebih baik daripada banyak tetapi masih menganggapnya selalu kekurangan. Sehingga tidaklah berfaidah limpahan nikmat dan banyaknya harta bagi orang-orang yang tidak bersyukur kepada Allah. Ingatlah, kekayaan tidak disebabkan harta yang melimpah. Namun kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan yang terdapat pada jiwa. Yaitu jiwa yang selalu qona’ah dan menerima dengan lapang dada setiap pemberian Allah kepadanya, sebagaimana sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam : Sungguh beruntung orang yang telah berserah diri, diberi kecukupan rizki dan diberi sifat qona’ah terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya. (HR. Muslim)

Dengan sifat qona’ah ini, seorang muslim harus bisa menjaga dalam mencari rizki atau mata pencahaRian. Ketika bermu’amalah dalam mencari penghidupan, jangan sampai melakukan tidak kezaliman dengan memakan harta orang lain dengan cara haram. Inikah kaidah mendasar yang harus kita jadikan barometer dalam bemu’amlah. Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu ….” (QS. An-Nisaa/4 : 29).

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al Baqarah/2 : 188). Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan : “Setiap muslim teRhadap muslim yang lain adalah haram darahnya, harga dirinya, dan hartanya.” (HR. Muslim).

Lihatlah contoh pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika menjual seorang budak kepada al ‘Adda’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan : “Ini adalah yang telah dibeli al ‘Adda’ bin Khalid bin Haudhah dari Muhammad Rasulullah. Dia telah membeli seorang budak tanpa cacat yang tersembunyi. Tidak ada tipu daya maupun rekayasa, “ kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan : “Inilah jual beli muslim dengan muslim yang lainnya”.

Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh etika jual beli sesama muslim, dengan mengadakan akad secara tertulis, dan tidak ada unsur dusta.

Namun para pemburu dunia yang tamak, telah menempuh jalan menyimpang dalam mencari harta. Mereka lakukan dengan cara batil, melakukan tipu daya, memanipulasi, dan mengelabui orang-orang yang lemah. Bahkan ada yang berkedok sebagai penolong kaum miskin, tetapi ternyata melakukan pemerasan, memakan harta orang-orang yang terhimpit kesusahan, seolah tak memiliki rasa iba dan belas kasih. Berbagai kedok ini, mereka namakan dengan pinjaman lunak, gadai, lelang atau yang lainnya. Kenyataannya, bantuan dan pinjaman tersebut tidak meringankan beban, apalagi mengentaskan penderitaan, tetapi justru lebih menjerumuskan ke dalam jurang penderitaan, kesusahan dan kemiskinan. Benarlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa, yaitu seseORang tidak lagi peduli daRi mana dia mendapatkan haRta, daRi jalan halal ataukah (yang) haRam.” (HR. BukhaRi)

Kita menyaksikan pada masa ini, betapa menjamurnya usaha-usaha yang diharamkan agama, seperti bandar perjudian, praktek perdukunan, para wanita tuna susila, hasil perdagangan dari barang-barang yang diharamkan semisal khamr, rokok dan narkoba, hasil pencurian dan perampokan, tidak jujur dalam perdagangan dengan penipuan dan mengurangi timbangan, memakan riba, memakan harta anak yatim, korupsi, krlusi.[Meninggalkan Pekerjaan Batil, Majalah assunnah Edisi 10/Tahun X/1427/2006M].

Peluang untuk berlaku curang dapat dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja, tapi orang beriman, hidupnya wajib dihiasi dengan kejujuran dan amanah, hal yang sangat penting dalam jual beli bagi seorang muslim dengan akhlak mulianya adalah menyempurnakan takaran dan timbangan. Dr. Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw, menyatakan tentang Menyempurnakan Takaran dan Timbangan ;

Kedua hal ini merupakan ajaran penting yang diperintahkan Rasulullah saw, menjalankannya. Ia merupakan bukti kongkrit dari komitmen penuh Islam dalam menghormati hak-hak yang dimiliki manusia yang tidak boleh dikurangi atau dilanggar. Diriwayatkan dari Suwaid bin Qais,”Suatu hari, saya dan Mikhrafah al ‘Abdi membawa barang dagangan dari daerah Hajr berupa kain pakaian [tekstil]. Tiba-tiba Rasulullah saw, datang dan menawarkan kain pakaian yang kami bawa itu [untuk dibarter] dengan celana. Saya kebetulan memiliki seorang tukang timbang upahan.Rasulullah saw, lalu bersabda kepadanya,”Timbanglah serta lebihkan” [HR. Bukhari].

Salain itu, dari Ibnu Abbas ra, juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw, melarang jual-beli bahan makanan sampai [penjualnya] menyempurnakan takarannya atau [sipembeli] meminta penyempurnaan. Selanjutnya Ibnu Abbas berkata,”Saya kira kewajiban seperti ini berlaku untuk seluruh bentuk transaksi jual beli” [HR. Ahmad].[Gema Insani, 2007, hal 120].

DR. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan haramnya jual beli yang dilakukan dengan penipuan, termasuk mengurangi takaran dan timbangan. Salah satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu'amalah, dan dijadikan sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am, yaitu:

"Penuhilah takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak memberi beban kepada seseorang melainkan menurut kemampuannya."(al-An'am: 152) "Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan.(al-Isra': 35)

"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!"(al-Muthafifin: 1-6)

Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil (jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu sesudah perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata: "Kami tidak memberi beban kepada seseorang, melainkan menurut kemampuannya." Al-Quran juga telah mengisahkan kepada kita tentang ceritera suatu kaum yang curang dalam bidang mu'amalah dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran dan timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya. Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang Rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan disamping dikembalikannya kepada Tauhid.

Mereka yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu'aib. Nabi Syu'aib menyeru dan sekaligus memberikan saksi kepada mereka sebagai berikut: "Penuhilah takaran dan jangan kamu menjadi orang yang suka mengurangi; dan timbanglah dengan jujur dan lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan kamu berbuat kerusakan di permukaan bumi."(As-Syu'ara': 181-183)

Mu'amalah seperti ini suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam kehidupannya, pergaulannya dan mu'amalahnya. Mereka tidak diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan; timbangan pribadi dan timbangan untuk umum; timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia kuranginya.[Halal Haram, Mengurangi Takaran dan Timbangan].

Sebagai contoh sejarah memperlihatkan kepada kita bagaimana ummat Nabi Syuaib yang hidup dengan kecurangan, suka berbohong, tipu menipu, mengurangi takaran dan timbangan menerima azab dari Allah dengan azab yang sangat menghinakan.

Setelah menjelaskan masalah tauhid secara langsung, Nabi Syu’ib berpindah pada masalah muamalah sehari-hari yang berkenaan dengan kejujuran dan keadilan.Adalah hal yang terkenal pada penduduk Madyan bahawa mereka mengurangi timbangan dan mereka tidak memberikan hak-hak manusia.Ini adalah suatu kehinaan yang menyentuh kesucian hati dan tangan sebagaimana menyentuh kesempurnaan harga diri dan kemuliaan. Para penduduk Madyan beranggapan bahawa mengurangi timbangan adalah salah satu bentuk kelihaian dan kepandaian dalam jual-beli serta bentuk kelicikan dalam mengambil dan membeli.Kemudian nabi mereka datang dan mengingatkan bahawa hal tersebut merupakan hal yang hina dan termasuk pencurian. Nabi Syu’ib memberitahukan kepada mereka bahawa beliau khawatir jika mereka meneruskan perbuatan keji itu nescaya akan turun kepada mereka azab di mana manusia tidak akan dapat menghindar dari seksaan itu. Perhatikanlah bagaimana campur tangan Islam melalui Nabi Syu’ib yang diutus kepada manusia di mana ia memperhatikan persoalan jual-beli dan mengawasinya:

"Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerosakan." (QS. Hud: 85)

Nabi Syu’ib meneruskan misi dakwahnya. Beliau mengulang-ulangi nasihatnya kepada mereka dengan cara yang baik dan mengajak ke jalan yang baik, tidak ke jalan yang buruk; beliau menghimbau kepada mereka untuk menegakkan timbangan dengan keadilan dan kebenaran dan mengingatkan mereka agar jangan merampas hak-hak orang lain. Merampas hak-hak orang lain itu tidak terbatas pada jual-beli saja, namun juga berhubungan dengan perbuatan-perbuatan lainnya; beliau memerintahkan mereka untuk menegakkan timbangan keadilan dan kejujuran. Demikianlah seruan dari agama tauhid dan akidah tauhid di mana ia selalu menyuarakan kejujuran dan keadilan.

Mereka mengejek Nabi Syu’ib dan beliau dengan tenang menunggu datangnya azab Allah s.w.t. Allah s.w.t mewahyukan kepada beliau agar keluar bersama orang-orang mukmin dari desa tersebut. Akhirnya, Nabi Syu’ib keluar bersama para pengikutnya dan datanglah azab Allah s.w.t:

"Dan tatkala datang azab Kami.Kami selamatkan Syu’ib dan orang- orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari kami, dan orang-orang lalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu.Ingatlah, kebinasaan bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa." (QS. Hud: 94-95) Ia adalah teriakan sekali saja satu suara yang datang kepada mereka dari celah-celah awan yang menyelimuti. Mula-mula mereka barangkali bergembira kerana membayangkan itu akan membawa hujan tetapi mereka dikejutkan ketika datang kepada mereka seksaan yang besar pada hari yang besar.

Selesailah masalah ini.Mereka menyedari bahawa teriakan itu membawa bencana buat mereka; teriakan itu menghanguskan setiap makhluk yang ada di dalam negeri itu.Mereka tidak mampu bergerak dan tidak mampu menyembunyikan diri dan tidak pula mereka dapat menyelamatkan diri mereka. [Dahalan bin Che Mat (Pak Ndak).Kisah Nabi-nabi Allah].

Selayaknya seorang muslim masuk ke dalam islam secara total atau kaffah sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam firman-Nya;“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.’[Al Baqarah 2;208].

Keislaman yang kaffah akan mengajak mukmin untuk memiliki akhlak mulia, selalu jujur dalam segala urusan, amanah dalam mengemban tugas-tugas yang diberikan dan menyempurnakan takaran serta timbangan dalam berjual beli atau transaksi lainnya, perbuatan curang sebenarnya selain perbuatan itu mendatangkan kemurkaan Allah baik di dunia apalagi di akherat bila tidak bertaubat sebelum ajal tiba, juga pembeli yang biasa sebagai langganannya setelah diketahui bahwa kedai tempat membeli itu timbangan dan takarannya tidak sesuai dengan yang sebenarnya tentu tidak mau lagi belanja bahkan akan disampaikan kepada yang lain bahwa penjual itu tidak jujur, takaran dan timbangannya selalu bermasalah, tentu akan merugikannya,