Menghindari Perkara Syubhat
Sekitar 14 abad silam, islam telah mengatur segala urusan seorang mukmin.
Mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur.
Islam sudah menetapkan berbagai penyelesaian pada segala permasalahan yang dihadapi kaum muslimin.
Dalam islam telah jelas ditetapkan dasar dasar hukum yang mengarahkan pada kesimpulan halal maupun haramnya suatu perkara yang bersumber dari Alqur’an, Alhadits, serta Ijma dari para ulama.
Namun, diantara halal atau haramnya hukum dari berbagai perkara yang ada, terdapat sisi yang tidak dapat dipastikan secara utuh hukum halal-haramnya sebagian perkara.
Perkara ini biasanya muncul karena tumpang tindihnya beberapa hukum ataupun karena keterbatasan informasi yang ada sehingga memunculkan perbedaan pandangan pada kalangan ulama.
Perkara ini yang dikenal dalam islam sebagai perkara syubhat.
1. Pengertian Syubhat
Menurut KBBI, syubhat didefinisikan sebagai “keragu-raguan atau kekurangjelasan tentang sesuatu (apakah halal atau haram dsb); karena kurang jelas status hukumnya; tidak terang (jelas) antara halal dan haram atau antara benar dan salah.
Sedang kata kerja bersyubhat berarti “menaruh keragu-raguan”.
Sedang menurut istilah syar’i syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak dapat diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas.
Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul disebabkan karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya.
Status hukumnya dapat diketahui baik apabila dirujuk berdasarkan nash ataupun berdasarkan ijtihad yang dilakukan ulama dengan metode qiyas, istishab, dan sebagainya
2. Kedudukan Perkara Syubhat
Perkara syubhat dianggap sebagai perkara yang berbahaya apabila tidak dihindari. Meskipun sebagian terlihat seperti hal yang ringan pada pandangan manusia, namun cukup besar di hadapan Allah SWT.
Sebagaimana Allah berfirman :
ذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِي
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
[QS. 24 An Nuur:15]”
Seringkali kita, terutama bagi masyarakat yang masih awam dengan hukum islam sepenuhnya menganggap bahwa perkara syubhat sebagai perkara kecil.
..yang jikalaupun dikerjakan tidak begitu berpengaruh besar pada diri sendiri.
Perkara syubhat bisa menyebabkan rusaknya keimanan seseorang maupun memunculkan kerusakan tatanan social masyarakat secara umum apabila tidak dihindari.
Seperti halnya seseorang yang memilih untuk meminum air yang tergenang tanpa tau, ataupun tanpa mencari tau apakah kandungan air itu terlebih dahulu.
3. Meninggalkan Perkara Syubhat sama dengan Menyelamatkan Agama dan Kehormatan
Meskipun sebagian orang menganggap perkara syubhat adalah perkara yang ringan, namun pada hakekatnya dapat menggerogoti pondasi agama serta kehormatan diri apabila tidak dihindari.
Sebagaimana Rasulullah bersabda :
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْب
“Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] Telah menceritakan kepada kami [Zakaria] dari [‘Amir] berkata; aku mendengar [An Nu’man bin Basyir] berkata;
..aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang.
Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya.
Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.
Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.
Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut.
Ketahuilah, ia adalah hati”.
[HR. Bukhari no. 50]
4. Rasulullah dan Para Sahabat Dalam Menghindari Perkara Syubhat
Alangkah indahnya islam.
Semua perkara telah diatur agar memudahkan manusia mengatur tata cara hidup bukan malah memperberat.
Suatu aturan islam yang rasanya berat apabila diikuti pada dasarnya jauh lebih meringankan daripada efek yang ditimbulkan apabila kita kerjakan tidak menuruti aturan syariah itu.
Sebagaimana Rasulullah SAW serta para sahabat telah mencontohkan lebih memilih pilihan yang jauh dari nafsu daripada memperturutkan nafsu.
a. Menemukan sebiji kurma
Sebagaimana beberapa riwayat yang menjelaskan sikap tersebut.
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَدَ تَمْرَةً فَقَالَ لَوْلَا أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً لَأَكَلْتُهَا
“Telah menceritakan kepada kami Abdulloh Telah menceritakan kepadaku bapakku Telah menceritakan kepada kami [‘Ali bin Abdulloh] Telah menceritakan kepada kami [Mu’adz] berkata;
…Telah menceritakan kepadaku [bapakku] dari [Qatadah] dari [Anas Bin Malik] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemukan sebiji kurma lalu bersabda:
…”Jika saja saya tidak takut ini adalah barang sedekah (barang dari zakat), pasti saya makan.”
[HR. Ahmad no. 13596]
b. Barang pemberian, dari hasil penipuan
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي أَخِي عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
كَانَ لِأَبِي بَكْرٍ غُلَامٌ يُخْرِجُ لَهُ الْخَرَاجَ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ فَجَاءَ يَوْمًا بِشَيْءٍ فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ أَتَدْرِي مَا هَذَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا هُوَ قَالَ كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لِإِنْسَانٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَمَا أُحْسِنُ الْكِهَانَةَ إِلَّا أَنِّي خَدَعْتُهُ فَلَقِيَنِي فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ
“Telah menceritakan kepada kami [Isma’il] telah menceritakan kepadaku [saudaraku] dari [Sulaiman bin Bilal] dari [Yahya bin Sa’id] dari [‘Abdurrahman bin Al Qasim] dari [Al Qasim bin Muhammad] dari [‘Aisyah] radliallahu ‘anha berkata;
“Dahulu, Abu Bakar mempunyai seorang pembantu yang bertugas mengambil pajak untuknya. Abu Bakar pernah memakan dari bagian pajak itu.
Pada suatu hari pembantunya itu datang dengan membawa makanan, lalu Abu Bakar memakannya. Maka pembantunya itu berkata kepada Abu Bakr; “Tahukah kamu barang yang kamu makan itu?”.
Abu Bakar bertanya; “Apakah itu?”.
Pembantunya berkata; “Dahulu pada zaman jahiliyyah aku adalah orang yang pernah meramal untuk seseorang (sebagai dukun) dan aku tidak pandai dalam perdukunan kecuali aku menipunya, lalu orang itu mendatangiku dan memberikan sesuatu kepadaku. Itulah hasilnya yang tadi kamu makan”.
Maka Abu Bakar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya hingga memuntahkan segala sesuatu yang ada di dalam perutnya.”
[HR. Bukhari no. 3554]
c. Mengawini Wanita yang Dulu Menyusui(nya)
حَدَّثَنَا حِبَّانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ
أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لِأَبِي إِهَابِ بْنِ عَزِيزٍ فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ مَا أَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي وَلَا أَخْبَرْتِنِي فَأَرْسَلَ إِلَى آلِ أَبِي إِهَابٍ يَسْأَلُهُمْ فَقَالُوا مَا عَلِمْنَا أَرْضَعَتْ صَاحِبَتَنَا فَرَكِبَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ فَفَارَقَهَا وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Telah menceritakan kepada kami [Habban] telah mengabarkan kepada kami [‘Abdullah] telah mengabarkan kepada kami [‘Umar bin Sa’id bin Abi Husain] berkata,
…telah menceritakan kepadaku [‘Abdullah bin Abi Mulaikah] dari [‘Uqbah bin Al Harits] bahwa dia mengawini putri dari Abu Ihab bin ‘aziz lalu datang seorang wanita dan berkata; “Sungguh aku pernah menyusui ‘Uqbah dan wanita yang sekarang dikawininya”.
Kemudian ‘Uqbah berkata, kepadanya: “Aku tidak tahu kalau kamu telah menyusui aku dan kamu tidak memberitahu aku”.
Maka dia pergi menuju keluarga Abu Ihab untuk menanyakan mereka, maka mereka berkata: “Kami tidak tahu kalau wanita itu telah menyusui perempuan-perempuan kami”.
Lalu dia mengendarai tunggangan untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah lalu dia bertanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mau bagaimana lagi, wanita itu sudah mengatakannya”.
Maka ‘Uqbah menceraikan isterinya itu lalu menikahi wanita lain.”
[HR. Bukhari no. 2446]
Bagaimana Cara Menghindari Syubhat?
Sebagai umat Rasulullah SAW kita patut mengikuti apa yang beliau anjurkan dan contohkan, sebagaimana para sahabat terdahulu berusaha mengikuti suri tauladan tersebut.
Diantara sifat yang diwariskan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW kepada para sahabat, tabi’in, tabiut tabiin, hingga kepada para ulama kita yakni sifat wara (kehati hatian).
Oleh sebab itu, hal yang perlu kita perkuat untuk menjaga diri dan memperkokoh iman adalah dengan berhati hati dalam berbicara maupun berprilaku.
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan cara menjauhkan diri dari perkara syubhat, diantaranya sebagai berikut :
#Pertama: Kerjakan kebajikan
“Telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Hatim bin Maimun]; Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Mahdi] dari [Mu’awiyah bin Shalih] dari [‘Abdur Rahman bin Jubair bin Nufair] dari [Bapaknya] dari [An Nawwas bin Mis’an Al Anshari]
…dia berkata; “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang arti kebajikan dan dosa. Sabda beliau: “Kebajikan itu ialah budi pekerti yang baik.
Sedangkan dosa ialah perbuatan atau tindakan yang menyesakkan dada, dan engkau sendiri benci jika perbuatanmu itu diketahui orang lain.”
[HR. Muslim no. 4632]
#Kedua: Menghindari perkara buruk yang menggelisahkan hati
“Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb] telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Salamah] dari [Az Zubair Abu Abdussalam] dari [Ayyub bin Abdullah bin Mikraz Al Fihri] dari [Wabishah bin Ma’bad Al Asadi]
…bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Wabishah: “Engkau datang bertanya mengenai kebaikan dan dosa?”
Wabishah berkata; Aku menjawab; “Ya.”
Ayyub mengatakan; Kemudian beliau menggenggam jari-jarinya dan memukulkannya ke dada Wabishah sambil bersabda: “Tanyakan kepada dirimu, tanyakan kepada hatimu wahai Wabishah.
Beliau mengatakannya hingga tiga kali- Kebaikan adalah apa yang membuat jiwa tenang dan membuat hati tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membekas dalam jiwa dan membuat hati ragu, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu.”
[HR. Darimi no. 2421]
#Ketiga: Tinggalkan perkara yang meragukan
“Telah menceritakan kepada kami [Abu Musa Al Anshari] telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Idris] telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] dari [Buraid bin Abu Maryam] dari [Abu Al Haura` As Sa’di] berkata:
…Aku bertanya kepada [Al Hasan bin Ali]: Apa yang kau hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam?
Ia menjawab: Aku menghafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: “Tinggalkan yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu karena kejujuran itu ketenangan dan dusta itu keraguan.”
[HR. Tirmidzi no. 2442]
Mencegah diri dari perkara yang syubhat itu seperti memilih jalan alternatif lain yang baik dan aman daripada harus mencoba melintasi jembatan tua yang hampir roboh diantara jurang yang lebar.
Sebagaimana seorang mujahid yang berhati hati mengayunkan pedangnya agar tepat mengenai musuh dan mencegah mengenai saudaranya.
Penutup
Sahabat fillah rahimakumullah..
Allah mencintai hambanyanya yang menjauhkan diri dari perkara dosa sebagaimana Allah mencintai hambanya yang melakukan kebajikan.
Namun Allah jauh lebih mencintai hambanya yang mampu meninggalkan semua perkara yang tidak berdosa karena khawatir akan terjerumus ke perkara yang berdosa.
Oleh sebab itulah orang orang yang mampu menerapkan ini disebut sebagai hamba yang memperoleh derajat Muttaqin (orang orang yang bertakwa).
Semoga Allah memudahkan kita berhijrah untuk memperoleh gelar Muttaqin.
Amiin ya Allah..