“Dan ingatlah ketika orang-orang kafir (Quraisy) membuat muslihat untuk menangkap atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah mengggagalkannya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”
(Qs.8:30).
Darun-Nadwah, yang terletak di Makkah, adalah sebuah tempat pertemuan orang-orang Quraisy untuk menangani berbagai persoalan dan urusan. Menurut riwayat, di tempat ini berkumpul lima pembesar Quraisy. Uthbah, Syaibah, Abu Jahal, Abu Bathuri dan al-‘Ash bin Wa’il. Mereke berembug menyusun siasat untuk membuat tipu daya terhadap Rasulullah saw.
Menurut Tsalabi, mereka terdiri atas duabelas orang dan seorang iblis (terkutuk) yang menjelma dalam wujud seorang kakek bertongkat. Sebelum rapat dimulai, Abu Jahal berkata kepada si iblis alias sang kakek: “Kami berkumpul untuk suatu rahasia. Mengapa engkau di sini?” Lebih baik pulanglah, wahai kakek tua.”
“Aku seorang kakek dari negeri Nejed. Aku lebih lama menelusuri hidup ini daripada kalian, dan telah banyak makan asam garam dalam berbagai urusan. Menurut pengetahuanku, suatu rencana yang paling baik adalah rencana yang sudah matang dan berdasarkan kesepakatan bersama. Maka izinkanlah aku bersamamu, mungkin aku dapat menyumbangkan pikiranku dan menilai gagasan kalian.” Jawab sang kakek. Mereka pun mengizinkannya, dan segera dimulailah musyawarah.
Uthbah tampil sebagai pembicara pertama: “Sesungguhnya mati itu telah pasti! Bagaimanakah kalau kita lebih baik bersabar saja? Kita biarkan Muhammad sampai ajalnya. Kalau sudah mati, kita pun selamat dari gangguan dan kejahatannya.”
“Tunggu......... apa-apaan ini?” tukas sang kakek, “Gagasanmu tak lebih sekedar buah pikiran bocah ingusan. Ingat, andai kalian bersabar sampai Muhammad menemui ajalnya, pasti akan tersebarluaslah agamanya menyapu jagad raya dan akan bertambahlah pengikutnya, yang akhirnya akan mematahkan sendi-sendi kekuatan kita.”
“Engkau benar, kek!” sambut mereka.
“Bagaimana andai Muhammad kita tahan sampai mati kelaparan?” ujar Syaibah.
“Ini pun suatu pendapat yang salah1” jawab si kakek segera. “Karena Bani Hasyim akan berhimpun kompak untuk membelanya. Dan akan terjadi pertumpahan darah yang tak terkendalikan antara mereka dan kita.”
“Kau betul kek.” Jawab mereka serentak.
“Kalau begitu, lebih baik Muhammad kita ikat. Kita suruh seekor unta berkeliling menyeretnya di atas debu dan pasir sampai ia mati, sambung Ash bin Wa’il.”
“Pemikiran apa pula ini? Suatu gagasan yang picik! Ini tak mungkin, karena Muhammad amat kuat badannya, tampan wajahnya dan penuh simpatik, fasih lisannya lagi mansi tuturnya. Tidak mustahil, bila ada orang yang melihat dan bertemu dengannya lalu bercakap-cakap dan menanyakan keadaan yang sebenarnya, orang tersebut pasti akan tertarik dan membenarkan ceritanya. Akhirnya ia akan mengumpulkan orang. Mereka akan beriman dan mendukung Muhammad dan akan menjadi pembelanya.” Sergah sang kakek.
“Betul kek.” Ujar mereka.
“Hendaknya dari masing-masing kabilah memilih seorang pemuda. Mereka kita persenjatai untuk membunuh Muhammad pada malam yang telah kita tentukan. Dengan begitu, tak dapat diketahui siapa pembunuhnya. Bila keluarga Muhammad minta tebusan atau ganti rugi, kita beri. Barulah kita aman dari kekuarangajarannya!” ujar Abu Jahal.
Setelah sepakat, mereka berangkat. Kemudian turunlah Jibril a.s. dengan membawa ayat ( “...... dan ingatlah ketika orang-orang kafir melakukan tipudaya terhadapmu.....”
(Qs.8:30)
Sambil berkata: “Wahai Muhammad. Allah swt. memerintahkanmu hijrah ke Madinah secara semmbunyi-sembunyi, dan aku akan menyertaimu.”
Sore itu, Rasulullah saw. bermusyawarah dengan para sahabatnya. Beliau menawarkan, siapakah yang bersedia menemani dalam hijrahnya ke Madinah. Dengan segera tampillah Abu Bakar menyatakan keasnggupannya mendampingi beliau.
“Siapakah di antara kalian yang siap menggantikanku tidur di rumah? Dan jaminannya adalah surga.” Kata Rasul.
“Hamba, Ya Rasulullah. Saudaramu, Putera pamanmu. Kuserahkan seluruh jiwa ragaku sebagai tebusanmu.” Sambut Ali bin Abi Thalib.
Dari Jabir bin Abdillah diriwayatkan bahwa ia pernah mendengar Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhainya) merangkum bait syair di hadapan Rasulullah saw.:
Akulah saudara al-Musthafa
Aku dan dia berkakek satu
Dia kubenarkan di kala insan-insan tenggelam
Kupersembahkan syukur puji
Ke hadirat Ilahi Mahasuci
Mahawelas terhadap abdi
Yang langgeng nan abadi.
Tersenyum Rasulullah saw. mendengar senandung itu, seraya berkata: “Benar engkau, wahai Ali!..”
Setelah malam tiba, berkumpul pemuda-pemuda Quraisy dengan persentaan lengkap – mengepung rumah Rasul, menanti beliau keluar. Kemudian beliau keluar dari rumahnya bersma Abu Bakar r.a. tanpa diketahui oleh mereka. Berkat kemahakuasaan Allah, pada detik itu, mereka tertidur lelap. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib tidur di kamar Rasul.
Dalam suatu riwayat, disebutkan bahwa ketika akan melangkah keluar, Rasulullah membaca surat Yasin sembari menaburkan debu di atas kepala mereka, membuat mereka terlelap. Setelah bangun, mereka menggedor rumah Rasulullah, namun Ali yang mereka temui.
“Mana Muhammad?” mereka bertanya kepada Ali dengan garang.
“Muhammad (al-Musthafa) telah pergi dengan Tuhannya yang Mahatinggi, menuju tempat yang Ia Kehendaki. Dia (Allah) mampu menggerakkan hamba-Nya ke tempat yang jauh dan dekat. Dia Mahatau segala sesuatu, dan tidak pernah lupa. Janganlah kalian mencari dia, karena dia kiranya tengah berada di tempat paling tinggi di sisi-Nya.” Jawab Ali tenang dan lantang.
Dalam suatu riwayat, disebutkan Nabi saw. bersabda bahwa Allah pernah mewahyukan kepada Jibril dan Mikail a.s.:
“Sesungguhnya kalian berdua (Nabi dan Ali bin Abi Thalib.), telah Kupersaudarakan dan Kujadikan umur yang satu diperpanjang demi memperpanjang umur yang satunya lagi, namun keduanya memilih hidup bersama-sama.”
Kemudian turun wahyu: “Mengapa kaliant idak menjadi laksana Ali, yang Kupersaudarakan dengan Muhammad. Ali memilih mati (pendek usia) sebagai korban dan rela menjadi tebusan bagi keselamatan jiwa saudaranya, Muhammad, dengan berani tidur di rumahnya pada detik-detik yang mendebarkan? Sekarang turunlah kalian, kawal dan lindungi Ali.”
Turunlah Jibril berjaga di kepala Ali, sedang Mikail di kaki Ali.
“Bagus, bagus!” ujar Malaikat Jibril as. Kepada Mikail a.s.
“Siapa lagi orang yang semisalmu, wahai putera Abu Thalib, Allah telah membanggakan dan memujimu di hadapan para malaikat langit dan bumi!” Kata Jibril a.s. kepada Sayidina Ali r.a.
Pada saat itu, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. yang tengah menuju Madinah, yaitu sebuah ayat tentang keperwiraan Imam Ali r.a.:
“Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-Nya.”
(Qs. 2:207).
Bersamaan dengan itu, Ali ra. Sedang berbaring di atas tikar Rasulullah saw., sembari menyusun bait syair:
Kutebus dengan jiwa ini
Dia sebaik-baik makhluk di bumi
Yang tawaf di Baitul ‘Atiq dan Hijir Ismail
Rasulullah .... pribadi yang di segani
Yang selalu dijaga Maha Pemberi
Dari muslihat keji musuh dan kaum tirani
Semalaman,
Ia sembunyi dalam gua bersemayam
Berpeluk damai ketenangan
Di dalam kehangatan selimut Maha Pengaman
Sedang, di sini aku
Menjaga musuh-musuh
Sungguh,
Yang menempa rasa beraniku ini
Hanya kesigapan diri
Ditawan an mati syahid suci
Setelah orang-orang kafir Quraisy berhasil mencium jejak Rasulullah saw., mereka bermusyawarah selama tiga hari untuk mencari langkah-langkah baru. Lalu diutuslah Saraqah bin Malik untuk mengejar Rasulullah dan membunuh Rasulullah.
“Ya Rasul, Suraqah menyusul kita. Upaya apa untuk menghadapi pendekar Arab yang amat pemberani itu?” Tanaya Abu Bakar dengan penuh rasa khawatir kepada Rasulullah, ketika melihat Suraqah di belakang mereka.
“Saudaraku, tenanglah!” Kata Rasulullah menenangkan.
Tatkala Suraqah, dengan pedang terhunus, hampir mendekati Nabi, ia berteriak: “Muhammad, Siapakah yang akan melindungimu? Hari ini adalah detik-detik kematianmu.”
“Allah Mahakuasa lag Maha Perkasa pelindungku.” Jawab Rasul tenang.
Pada saat itu, Jibril turun.
“Muhammad, Allah telah menjadikan bumi ini tunduk kepadamu, perintahlah ia sesuka hatimu!” Ucapannya.
“Hai bumi, telanlah Suraqah,” perintah Nabi.
Seusai Rasul mengucapkan itu, Suraqah amblas bersama kudanya sedalam lutut tanpa daya.
“Muhammad, demi tuhanku al-‘Uzza, aku bertobat. Tolonglah aku. Kau akan bebas dan aman.” Teriaknya minta tolong.
Mendengar ucapan pasrah Suraqah, terbukalah pintu maaf Rasulullah saw. Suraqah kembali seperti sedia kala, lalu pergi ke kaumnya.
Dalam sebagian kitab tafsir, tercatat bahwa ia sampai tujuh kali amblas di telan bumi. Karena acapkali permohonan tobatnya dikabulkan Rasulullah, ia ingkar dan mencoba kembali mengayunkan pedangnya kepada Rasulullah.
Baru pada amblasnya yang ke delapan kali, ia benar-benar psrah, lalu bertobat dan beriman.
Katanya: “Muhammad, aku memiliki banyak unta dan ternak sepanjang jalan ini. Ambillah sesukamu!.”
“Aku tak menginginkan harta bendamu.”
Suraqah melanjutkan: “Sungguh Muhammad, risalahmu akan bersinar di seluruh penjuru bumi dan akan merasuki urat nadi insan. Jika ini terjadi, berjanjilah bahwa engkau akan memberi hadiah kepadaku!.”
“Inilah perjanjian kita.” Jawab Rasulullah seraya memberi kan barang tembikar dan menerangkan kegunaannya.
“Sekarang apa keinginanmu, ya Muhammad?” Tanya suraqah.
“Aku hanya ingin kau kembali kepada pasukanmu, Quraisy.” Jawab Nabi.
Kembalilah Suraqah kepada mereka. Di tengah perjalanan pulang menuju Makkah, kepada Abu Jahal, ia menceritakan pengalamannya.
“Ya Abal Hakam (Abu Jahal ), Muhammad tak pernah melalui jalan ini.”
“Tapi aku yakin engkau telah menemuinya. Ceritakanlah hal yang sebenarnya,” timpal Abu Jahal.
Suraqah melantunkan syair:
Abu Hakam
Demi Latta
Andai engkau menjadi saksi
Ketika kudaku amblas ditelan bumi
Engkau pasti tak ragu lagi
Ia seorang Rasul sejati
Mengapa kita tak menghormat
Semestinya kita mencegah ummat
Dari menghina Muhammad
Kulihat suatu saat
Ia akan beroleh pangkat
Dan ‘kan berkibar benderanya
Menaungi jagat