Pada zaman Nabi Yahya a.s. ada seorang raja Bani Israil yang beristerikan janda yang telah mempunyai seorang puteri. Karena khawatir puterinya jatuh ke tangan lelaki lain, maka sang permaisuri memutuskan mengawinkannya dengan suaminya, sang Raja. Ia mengundang Yahya a.s. untuk menghadirinya. Yahya a.s. menolak, bahkan menegaskan bahwa perkawinan tersebut haram menurut Islam. Mendengar keterangan itu, permaisuri menjadi benci dan berupaya membunuhnya. Ia menemukan satu cara, yakni memberinya minuman memabukkan.
“Wahai Kakanda, sesungguhnya Yahya menentangku untuk mengawinkan engkau dengan si manis puteriku.” Kata sang permaisuri.
Lalu raja memanggil Yahya. Akhirnya, Yahya dismbelih laksana seekor kambing, lantaran tetap pada keputusannya. Suatu kejadian yang menduka-pilukan para Malaikat di langit.
“Ilahi, dosa apakah yang telah diperbuat Yahya, sehingga ia dibunh dengan amat –amat kejam?” Malaikat bertanya kepada Allah.
“Yahya tidak berdosa. Ia mencintai-Ku, maka Aku pun mencintainya. Cintanya yang amat sangat kepada-Ku memestikannya dibunuh.” Kata Allah swt.
Mengenai cinta yang amat sangat ini, ada sebuah riwayat ketika Husein al-Hallaj ditahan selama delapan belas hari, asy-Syibli datang kepadanya dan berkata : “Ya Hisein,a da apa di balik cinta (mahabbah) itu?”
“Jangan kau bertanya tentang itu hari ini. Esok sajalah,” jawabnya.
Esok harinya, orang-orang membawa al-Hallaj untuk dibunuh di atas batang pohon kurma. Dan asy-Syibli pun lewat. Al-Hallaj, yag akan dibunuh itu, memanggil-manggil: “Syibli, cinta itu permulaannya dijemur, sedangkan akhirnya dibunuh!.”
Abu Yazid al-Busthami berkata: “Suatu hari aku berjalan menelusuri gurun pasir. Sekonyong-konyong aku menemukan empat puluh sosok pemuda ahli tharikat mati terkapar kehausan dan kelaparan. Lalu aku bermunajat kepada Allah: “Ya Allah, Kau matikan mereka, dan kau alirkan darah para sahabtku ini. Lantas terdengar suara: “Ya Abu Yazid, Aku alirkan darah, dan Kubayar diyat-nya.”
“Apa diat meraka?”
Suara itu menjawab: “Diyat (tebusan) orang yang terbunuh karena makhluk adalah dinar (uang), sedangkan diyat orang yang mati karena membela haq (kebenaran) ialah melihat Allah Maha Pengampun.
Abu Bakar asy-Syibli pernah ditanya tenang cinta. Ia menjawab: “Cinta adalah minuman. Bagi mereka yang mereguk dengan piala “cinta”, dunia terasa sempit. Barangsiapa mengenal Allah dalam Keagungan-Nya, ia akan kagum terhadap Kemaha-Kuasaan-Nya.
Dan barnagsiapa meneguk cinta dengan gelas “riindu kepada-Nya”, ia akan karam dalam samudera “akrab dengan-Nya”, dan merasa puas bila selalu bermunajat kepda-Nya. Dan barangsiapa mengenal Allah ‘Azza wa Jalla, tiadalah ia senang dengan selain-Nya, dan tak pula senang berteman dengan selain-Nya.”
Duhai
Ingat kepada kecintaan
Membuatku mabuk kepayang
Adakah perrnah kau saksikan
Orang yang tengah diamuk badai cinta?
Ia tenang, tiada lupa daratan dan lautan