Keadaan Masyarakat Jahiliah sebelum Diutusnya Nabi Muhammad SAW


Para ahli sejarah secara umum telah sepakat bahwa kehidupan manusia – pada umumnya – dan kehidupan Arab – pada khususnya – mengalami kehidupan dalam kegelapan dan kebodohan, gelapnya kezaliman dan kekerasan, serta kerajaan Persia di Timur dan Romawi di Barat saling berebut kekuasaan. Keadaan ini dikuatkan oleh sabda Nabi Muhammad saw:

“Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi maka Dia membenci mereka baik orang Arab maupun selain Arab, kecuali golongan ahli kitab.”
(HR. Muslim dan Ahmad).

Keadaan-keadaan tersebut menimpa kehidupan manusia, termasuk keluarga mereka. Apalagi bangsa Arab yang ditimpa kerusakan dalam setiap lini kehidupan, baik secara politis – seperti keadaan ekonomi – dan secara sosial – seperti kerusakan agama.

Pada masa diutusnya Nabi Muhammad saw., Kota Makkah dipenuhi gelombang kerusakan yang bergerak dengan kencang. Misanynya, menyebarnya dosa-dosa tanpa memandang norma agama, penurutan hawa nafsu, kaum lelaki semena-mena untuk memenuhi nafsu mereka,d an merusak pola pikir untuk kepentingan mereka.

Mereka mengingkari Allah dan hari kiamat, mementingkan kehidupan dunia untuk memenuhi hawa nafsu mereka, haus akan jabatan dan kehormatan.

Bahkan, fanatisme b uta yang mereka banggakan sehingga peperangan satu sama lain untuk mengejar semua itu, dan taklid buta yang turun-temurun menghantam kesungguhan seseorang dalam berakhlak.

Termasuk sebuah kesalahan ketika ada yang mengira bahwa Kota Makkah saat itu jauh dari peradaban, hanya daerah terpencil dengan padang pasirnya yang tidak produktif, tidak mengenal kemajuan dunia, kecuali hanya hal-hal yang primer dalam kehidupan. Sekali-kali tidak, Kota Makkah bukanlah kota yang kenyang akan kemajuan sampai menjadi kebanggan dan melekatlah kesombongan itu sampai binasa, dan makin banyaknya paham-paham ateis bermunculan. Akibatnya, mereka bingung antara menerima kebenaran dan menentangnya, bahkan mereka meniru gaya fir’aun yagn zalim dan sombong.

Amr bin Hasyim dalam mengomentari perngingkarannya terhadap risalah Muhammad saw., berkata: “Bani Abdi Manaf telah mendesak kami di sebelah timur, sampai kami menjadi kuda gadaian.” Mereka berkata. “Dari golongan kami seorang nanbi menerima wahyu. Demi Allah, kamit idak akan beriman kepadanya sampai datang kepada kami sebuah wahyu seperti yang diwahyukan kepadanya. ‘Mereka mengira bahwa Walid bin Mugirah berkatga kepada Rasulullah saw., “Andaikan kenabian itu hak, tentulah aku lebih berhak darimu karena kau lebih tua dan lebih banyak harta.”

Dalam haditsnya Ummu Salamah tentang hijrah ke Habasyah dan dialog Ja’far dengan Raja Najasyi, Ja’far berkata:

“Wahai Raja, kami adalah golongan penyembah berhala di masa jahiliyah, kami memakan bangkai, melakukan hal yang keji, memutuskan tali silaturahmi, menyakiti tetangga, semena-mena terhadap yang lemah, sampai Allah mengutus seorang Rasul dari golongan kami. Kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya,d an sellau menjaga dirinya. Ia pun mengajak ke jalan Allah, untuk menyembah-Nya dan beribadah hanya karena-Nya, kemudian kami melepas diri dari penyemabahn tuhan-tuhan terdahulu yang terbuat dari batu. Ia memerintahkan kejujuran dalam bicara, menunaikan amanah, menyambung silaturahmi, beruat baik kepada tetangga, mencegah pembunuhan, melarang kami berbuat keji, sumpah palsu, memakan bangkai, dan menuduh wanita baik-baik dengan tuduhan zina.”
(HR. Ahmad).

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa jika engkau ingin mengetahui kebodohan orang Arab, bacalah QS. Al-An’am (6): 140:

“Sungguh rugi, mereka yang membunuh anak-anaknya karena kebodohan tanpa pengetahuan, dan mengharamkan rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka dengan semata-mata membuat-buat kebohongan terhadap Allah. Sungguh, mereka telat sesat dan tidak mendapat petunjuk.”
(QS. Al-An’am (6) : 140 ).” (HR. Bukhari).

Ketika bumi dipenuhi kerusakan dan kesesatan, bertambahlah keinginan untuk mencari sang pencerah, pembawa perubahan. Ada banyak laki-laki yang mengingkari kebodohan, berbangga diri dengan nasab, dan mereka berharap menjadi orang yang terpilih. Antara lain Umayyah bin Ubai yang menjadikan syairnya membicarakan tentang Allah dan yang wajib dilakukan untuk memuji-Nya. hingga Rasulullah saw, bersabda tentang dirinya:

“Umayyah hampir masuk Islam.”

Amr bin Syarid meriwayatkan dari bapaknya. “Aku berjalan di belakang Rasul. Beliau bersabda:

“Apakah kamu memilih syair Umayyah bin Abi Ash-Shalat?” Aku pun menjawab : “Ya. Beliau melanjutkan : “Tunjukkan kepadaku.” Aku pun melantunkan satu bait syairnya. Beliau melanjutkan. “Tunjukkan lagi.” Sehingga aku pun melantunkan sampai seratus bait.”
(HR. Muslim).



Menu