Ketika Ibunda Nabi saw., melahirkannya, dia mengutus seseorang kepada sang kakek untuk menyampaikan kabar gembira dengan kelahiran cucunya. Sang kakek pun datang dengan muka ebrseri-seri dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah, lalu berdoa kepada Allah dan memanjatkan rasa syukur kepada-Nya. dia memilihkan baginya nama Muhammad kerena nama itu tidaklah terkenal di kalangan bangsa Arab dan mengkhitannya pada hari ke tujuh, sebagaimana biasa dilakukan oleh orang Arab.
Abdul Muthalib menyambut kelahiran cucunya dengan penuh riang gembira. Bahkan, sepertinya dia melihat kelahiran tersebut sebagai ganti atas putranya yang telah wafat. Dia pun mencurahkan seluruh perasannya atas yang telah pergi untuk jabang bayi yang baru datang ini dengan menjaga dan menyayanginya.
Di antara kebetulan yang menarik adalah Abdul Muthalib mendapat ilham untuk menamai cucunya dengan nama Muhammad. Penamaan ini adalah pertolongan yang diberikan oleh Allah SWT. Bangsa Arab belum terbiasa dengan nama ini sehingga mereka pun bertanya-tanya kepadanya, “Mengapa tidak menamainya dengan salah satu nama nenek moyangnya?” Abdul Muthalib pun menjawabnya, “Aku ingin dia dipuji oleh Allah di langit dan dipuji oleh manusia di bumi.” Seakan-akan keinginan ini adalah penerawangan hal gaib karena tidak ada seorang pun yang berhak atas pemberian rasa syukur serta pujian atas apa yang dilakukan dan diberikan seperti halnya Nabi saw.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.s., dia mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:
“Tidaklah kalian heran bagaimana Allah menampik dariku cercaan suku Quraisy dan sumpah serapah mereka?” Mereka mencaci orang yang hina dan mereka melaknat orang yang hina, sedangkan aku adalah Muhammad (yang berarti terpuji).”
(HR. Bukhari).
Realita yang menyakitkan – meskipun di sana terdapat rangkulan sang kakek yang penyayang – tetaplah ada. Sebab. “Muhammad” tetaplah seorang yatim yang lahir ke dunia setelah ayahnya meninggalkan alam fana. Mari kita berandai-andai jika sang ayah ‘Abdullah’ tetap hidup, apa yang akan diperbuat sang ayah terhadap anaknya. Apakah dia akan mendidiknya kemudian memberikannya kenabian? Sama sekali hal tersebut tidak dapat dia lakukan.
Sesungguhnya seorang ayah adalah salah satu faktor yang menentukan masa depan seorang anak dan membawa ke mana arah hidupnya. Seandainya kenabian itu dapat dicari, niscaya kehidupan ayah tidak dapat mendekatkan kepadanya walau sejengkal, bagaimanapun juga kenabian adalah pemilihan.
Dahulu Nabi Ya’qub a.s., hidup dan mendapatkan rezeki. Dia merasakan masa tua, mempunyai pengalaman hidup yang lama, bahkan dia memiliki kenabian. Suatu hari dia melihat ke sebelahnya, tetapi tidak mendapatkan Nabi Yusuf a.s. berada di dekatnya. Dia kehilangannya pada masa-masa yang sangat berbahaya, yaitu masa kecil. Lingkungan yang mengelilingi Nabi Yusuf a.s., adalah rusak, tetapi jiwanya telah matang dengan ketakwaan dan kesucian diri, seperti lampu yang menyala di malam yang gelap gulita. Ketika sang anak berjumpa kembali dengan sang ayah setelah masa yang cukup lama, Nabi Ya’qub melihat anaknya telah menjadi seorang nabi.
Abdullah telah pergi dan meninggalkan anaknya seorang yatim. Hanya saja keadaan yatim ini dapat dikatakan sebagai titik mula untuk sebuah hal yang besar, keadaan yang akan menjadikannya sebagai pemimpin orang-orang pilihan dan terbaik. Tidaklahs eorang ayah, kakek, saudara dekat dan jauh, langit ataupun bumi, melainkan hanya sarana yang dimudahkan oleh Allah untuk menyempurnakan ketentuan-Nya, dan, menyampaikan karunia kepada orang yang dipilih oleh-Nya