Khadijah Menemukan Hal yang Hilang dalam Hidupnya


Dalam lautan kebingungan dan perasaan tidak menentu itulah, datang teman Khadijah – Nafisah binti Munabbih – duduk bersamanya dan bertukar cerita hingga akhirnya Khadijah menyingkap rahasia terpendam dalam rangkaian ceritanya.

Nafisah menenangkan kekhawatiran Khadijah dan perasaannya. Dia juga mengingatkan bahwa Khadijah adalah seorang dari keturunan orang terpandang bernasab mulia, kaya raya, dan cantik jelita. Nafisah mengatakan seperti itu karena bukti yang tampak nyata bahwa banyak pelamar yang datang dari pemimpin-pemimpin Quraisy.

Tidak lama kemudian setelah mendengar cerita Khadijah, Nafisah pun pergi dari sisi Khadijah. Dia mendatangi Nabi saw, dan berbicara kepadanya untuk menikahi Khadijah yang suci. Dia berkata, “Wahai Muhammad, apa yang mencegahmu untuk menikah? Nabi saw, bersabda, “Aku tidak memiliki apa pun untuk menikah.”

Nafisah, “Seandainya engkau dicukupi dan dilamar oleh seorang wanita yang memiliki harta, kecantikan, kemuliaan, dan kafa’ah, apakah engkau akan menerima?”

Beliau menjawab dengan nada penuh tanda tanya, “Siapa?”

Nafisah langsung menjawab, “Khadijah binti Khuwalid.”

Beliau berkata, “Jika dia setuju, aku menerimanya.”

Nafisah pun pergi untuk mengabarkan berita gembira ini kepada Khadijah. Kemudian Nabi saw, memberitahukan kepada para pamannya akan keinginanya untuk menikah dengan Khadijah. Akhirnya, pergilah Abu Thalib, Hamzah, dan yang lainnya ke tempat paman Khadijah ‘Amr ibn Asad – dan melamar putri saudaranya untuk Nabi saw. Mereka juga membawa sejumlah mahar.

Dalam pertemuan tersebut, Abu Thalib berdiri dan membacakan khotbah. Abul Abbas al-Mubarrad menyebutkan bahwa Abu Thalib berkhotbah dengan khotbah penyerahan mahar. Dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita dari keturunan Ibrahim, anak cucu Ismail, keturunan Ma’ad dan Mudar, menjadikan kita penjaga rumah-Nya dan mengurus tanah Haram-Nya. membuatkan untuk kita sebuah rumah yang terjaga, tanah haram yang aman, dan menjadikan kita para pemimpin manusia. Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak sama dengan lelaki mana pun.

Dia lebih baik karena kebaikan dan keutamaan, kemuliaan dan kepintaran, serta kehormatan dan kecerdasan. Meskikpun dia tidak memiliki banyak harta, ketahuilah sesungguhnya harta itu seperti bayangan yang akan hilang, hal penghalang dan barang titipan yang diminta untuk dikembalikan. Muhammad adalah seorang yang sudah kalian ketahui nasabnya. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwalid dengan memberikan apa yang dia miliki sekarang dan yang akan datang dari hartaku sebanyak dua puluh bakrah (gilungan emas).” Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Dan dia telah memberikan mahar untuknya sebanyak dua belas setengah auqiyah emas.”

Kemudian Abu Thalib berkata, “Demi Allah, setelah ini dia mempunyai berita yang besar dan bahaya yang dahsyat, jadi kawinkanlah dia.”

Ketika akad sudah selesai, unta-unta pun disembelih dan dibagikan kepada fakir miskin. Rumah Khadijah pun dibuka untuk sanak saudara.

Dalam riwwayat Ibnu Abbas r.a. Rasulullah saw, menceritakan tentang Khadijah bahwa ayah Khadijah enggan mengawinkan putrinya dengan beliau saw. Kemudian Khadijah membuat makanan dan minuman, lalu mengundang ayahnya dan sejumlah orang dari Quraisy. Mereka pun makan dan minum hingga tak sadarkan diri (mabuk). Khadijah berkata kepada ayahnya, “Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah melamarku, maka kawinkan aku dengannya.” Sang ayah pun mengawinkan Khadijah Khadijah dengan beliau saw.

Khadijah pun memberikan ayahnya minyak wangi dan memakaikan pakaian indah, sebagaimana yang biasa mereka lakukan kepada orang tua ketika anak-anaknya menikah. Ketika sang ayah sadarkan diri, dia melihat dirinya sudah berminyak wangi dan memakai pakaian bagus. Dia bertanya, “Ada apa dengan Muhammad bin Abdullah?” Dia berkata, “Aku menikahkan anak yatimnya Abu Thalib? Tidak, demi Allah.” Khadijah berkata, “Apakah kamu tidak malu? Kamu ingin menjelekkan dirimu di hadapan Quraisy dan mengatakan kepada orang-orang bahwa saat itu aku sedang mabuk?” Khadija terus menerus mengingatkan hal tersebut hingga akhirnya sang ayah pun rela.

Khadijah menjadi seorang istri yang setia dalam cintanya serta seorang ibu yang penuh kasih sayang dan kebaikan.

Khadijah yang suci saat itu berumur empat puluh tahun, usia sempurna seorang wanita. Sedangkan Nabi saw., dalam kesempurnaan umur pemuda yakni dua puluh lima tahun.



Menu