Sangat manusiawi jika Rasulullah menawarkan Islam untuk pertama kali kepada orang-orang terdekat, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Beliau mengajak mereka pada Islam dan mengajak setiap orang yang terdapat dalam dirinya tanda kebaikan, yaitu orang yang beliau kenal atau mereka mengenal beliau.
Nabi saw., mengenalkan mereka dengan kecintaan kepada Allah serta perbuatan jujur dan kebaikan. Mereka yang menerima ajakannya adalah orang-orang yang tidak ada sedikit pun keragu-raguan dalam diri mereka akan keagungan, kemuliaan jiwa,d an kebenaran perkataan Rasulullah saw.
Sekelompok orang yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Assbiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam). Yang berada paling depan adalah lingkup keluarga beliau:
1. Istri Nabi saw., Ummul Mukmin Khadijah binti Khuwalid.
2. Budak beliau, Zaid bin Harisah, dan
3. Keponakan beliau, Ali bin Abu Thalib (saat masih kecil dan hidup di bawah penjagaan Rasulullah saw.).
Kemudian Nabi saw., mengajak sahabatnya yang paling terpercaya menjaga rahasianya, yaitu:
“...... sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua ......”
(QS. At-Taubah (9) : 40).
Dialah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang tidak ragu-ragu lagi masuk Islam. Dialah da’i pertama dalam Islam. Berkat keislaman dan dakwahnya, sejumlah orang masuk Islam dan merekalah orang-orang yang masuk Islam pertama kali. Mereka pula yang paling banyak berkorban dan mendapatkan ujian dalam Islam. Semoga Allah memberikan keridhaan-Nya kepada mereka. Mereka adalah:
1. Utsman bin Affan (Dzun Nurain/pemilik dua cahaya karena menikahi dua putri Nabi saw.).
2. Zubair bin al-‘Awwam, yaitu Hawari (orang dekat).
3. Anak bibi Nabi saw., yaitu Safiyyah binti Abdul Muthalib.
4. Abdur Rahman bin ‘Auf.
5. Sa’ad bin Abi Waqqas, paman Nabi saw., dari garis Ibunda, dan
6. Thalhah bin Ubaidillah
Mereka semua masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar. Mereka termasuk ke dalam kelompok al-“asyrah al-mubasysyarin (sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga).
Ketika orang-orag masuk Islam bertambah hingga berjulah tiga puluh (laki-laki dan perempuan), Rasulullah memilih rumah salam seorang dari mereka untuk tempat berkumpul bersama demi kepentingan pengarahan dan pelajaran, yaitu rumah al-‘Aeqam bin Abil Arwam.
Mereka masuk Islam secara diam-diam dan Rasulullah saw., berkumpul bersama mereka untuk memberikan pengarahan tentang urusan agama secara diam-diam juga. Sebab, saat itu dakwah masih secara individu dan rahasia. Wahyu turun berkesinambungan dan makin hanyat setelah turunnya awal Surah al-Muddatstsir.
Ayat-ayat dan potongan surat yang turun pada masa ini memilki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pendek.
2. Memiliki ritme yang menakjubkan.
3. Irama yang tenang dan “menyihir” yang selaras dengan kondisi yang senyap dan sepi.
4. Terkandung di dalamnya penyucian jiwa dan kejelekan mengotorinya dengan hal-hal duniawi.
5. Menceritakan surga dan neraka seakan-akan ada di depan mata mengalir bersama orang-orang mukmin dalam situasi berbeda yang tidak dialami oleh masyarakat manusia pada saat itu.
Dari sini perlu diketahui bahwa metode dakwah Nabi saw., dalam masa ini termasuk dari siyarah syar’iyyah (politik keagamaan) dengan posisinya sebagai seorang imam (pemimpin), bukan termasuk dari tugas tablig (penyampai) wahyu dari Allah dengan posisinya sebagai seorang nabi.
Atas dasar ini, para da’i Islam di setiap zaman boleh berkonsep fleksibel dalam proses dakwah, yaitu dari diam-diam dan terang-terangan, lemah lembut dan keras, dan dikondisikan menurut situasi dan kondisi zaman yang mereka hidup di dalamnya. Ini adalah fleksibilitas yang digariskan oleh syariat Islam yang berdasarkan realita kehidupan Nabi saw. Termasuk konsep atau fase empat di atas, dengan catatan segalanya melihat pada kemaslahatan muslimin dan dakwah Islam.
Para fuqaha berjimak bersama apabila kaum muslimin berjumlah sedikit atau dalam keadaan lemah sekiranya hampir dipastikan mereka akan dibunuh tanpa ada perlawanan dan melukai musuh sedikit pun sekiranya mereka sepakat untuk berperang, harus didahulukan maslahat menjaga nyawa (hifzhun-nafs). Sebab, maslahat yang berhadapan dengannya adalah maslahat menjaga agama (Hifzhud-din), dan ini masih diragukan, bahkan dinafikan.
‘Izzuddin bin Abdussalam menegaskan bahwa haram hukumnya terjun ke dalam jihad yang semacam ini. Dia berkata, “Apabila tidak mungkin terjadi kemenangan atas musuh, maka wajib mengalah. Sebab, kehilangan nyawa disertai kegirangan musuh-musuh Islam dan pastinya akan melukai hati orang-orang Islam. Dan kepastian ini menjadi sebuah mafsadah (mduarat) yang murni, tidak ada maslahat sedikit pun di dalamnya.
Menurut pendapatnya, mendahulukan maslahat nyawa di sini adalah dari perspektif lahirnya saja. Adapun pada rrealitanya dan tujuannya yang lebih jauh adalah pada hakikatnya untuk menjaga agama. Sebab, maslahat agama mengharuska nyawa orang-orang muslim tetap ada supaya mereka bisa maju dan berjuang di aspek-aspek terbuka lainnya. Jika tidak, kematian mereka dianggap sebagai perusakan bagi agama itu sendiri dan membuka peluang bagi pemimpin orang-orang kafir untjuk mendobrak pintu-pintu masuk di hadapan mereka yang dulunya tertutup.
Dengan demikian, wajib gencatan senjata atau dakwah secara diam-diam apabila dkawah secara terang-terangan atau berperang dapat berakibat mudarat. Sebaliknya, tidak boleh berdakwah secara diam-diam apabila secara tearng-terangan bisa dilakukan dan hal tersebut adalah efektif. Tidak boleh gencatan senjata dengan orang-orang zalim dan musuh-musuh dakwah apabila segala unsur kekuatan dan pertahanan tersedia.
Begitu juga, tidak boleh duduk diam atau tidak berjihad memerangi orang-orang kafir di tempat pertahanan mereka apabil asegala sarana dan prasarana untuk itu terpenuhi.