Atha’ bin Yasar meriwayatkan bahwa ia pernah menemui Abdullah bin Amr bin Ash seraya berkata:
“Beritahukan kepadaku tentang sifat Rasulullah dalam Kitab taurat.” Ia pun menjawab. “Baik, demi Allah! Beliau disifati dalam Kitab taurat dengan sifat yang termaktub dalam Al-Qur’an, yaitu. ‘Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mngutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan penjaga kaum yang ummiy (tidak bisa baca dan tulis).
Engkau hamba-Ku dan utusan-Ku. Aku memberimu nama al-Mutawakkil. Nabi saw., bukanlah orang yang kasar dan keras, bukan pembawa onar di pasar, bukan yang membalas kejelekan dengan kejelekan, tetapi dengan memberi maaf dan lapang dada. Allah tidak mencabut nyawanya, kecuali setelah meluruskan agama Nabi Ibrahim yang diselewengkan orang Arab, yaitu dengan ucapan La ilaha ilallah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah). Beliau membuka mata yang terpejam dengannya, telinga yang terbumbat, dan hat yang tertutup.”
(HR. Bukhari).
Salamah bin Salamah bin Waqasy meriwayatkan bahwa sebagian sahabat yang ikut Perang Badar berkata:
“Kami pernah memiliki tetangga Yahudi di daerah Bani Abdul Asyhal. Suatu hari ia keluar dari rumahnya untuk mengunjungi kami. Hal itu terjadi sebelum datangnya kenabian. Ia pun berhenti di majelis Abdul Asyhal.”
Salamah melanjutkan:
“Saat itu aku berbicara dengan orang yang sebaya umurnya denganku, yang berbaring di atas selendangnya di halanan rumahku. Ia pun berbicara tentang hari berbangkit, hari kiamat, hari perhitungan, timbangan amal, surga, neraka. Ia menjelaskan bahwa hal-hal tersebut untuk orang-orang musyrik, penyembah berhala, yang tidak meyakini bahwa hari berbangkit akan terjadi setelah kematian mereka. Orang-orang pun mencelanya dengan berkata, “Celakalah engkau, bagaimana mungkin manusia akan dibangkitkan setelah kematian mereka, kemudian dimasukkan surga atau neraka untuk diberi balasan atas perbuatan mereka?” Ia pun menjawab, ‘Ya, demi Dzat yang bersumpah dengannya, sungguh Dia lebih suka jika neraka itu lebih dahsyat panasnya menjaganya di dunia.”
Mereka berkata:
“Celakalah engkau, lalu apa tanda-tandanya?” Ia menjawab “Nabi yang akan diutus dari negeri ini (sambil menunjuk dengan tangannya ke arah Makkah dan Yaman)”.
Mereka berkata: “Kapan engkau melihatnya?” Salamah melanjutkan, “maka ia pun melihat ke arahku aku sendiri yang paling muda usianya – maka ia menjawab. “Orang yang usianya sebaya dengan pemuda ini akan menjumpainya.”
Salamah melanjutkan:
“Demi Allah! Siang dan malam tak henti-hentinya berganti sampai diutusnya Nabi saw., dan beliau hidup di tengah-tengah kami. Kami pun beriman kepadanya, dan rasa dengki dihapus karenanya. Kami pun berkata, “Celakalah engkau, wahai Fulan! Bukankah dirimu termasuk yang engkau sampaikan kepada kami?” Ia menjawab, “Bukan demikian.”
(HR. Bukhari, Ahmad, dan Thabrani).
Ka’ab Akhbar berkata:
“Sungguh aku menemui dalam Kitab taurat, ‘Muhammad Rasulullah tidak aksar dan keras, tidak membuat onar di pasar, tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tetapi pemaaf dan lapang dada. Umatnya adalah orang-orang yang suka memuji Allah dalam setiap kedudukan, selalu bertakbir membesarkan-Nya atas setiap eprtolongan yang diberikan-Nya, selalu membersihkan diri mereka, merapikan barisan mereka dalam shalat dan peperangan, tempat kelahirannya di Makkah, dan kerajaannya di Syam.”
(HR. Darimi).